Opini

Ketahanan Keluarga dan Program Bimbingan Perkawinan

Sesditjen Bimas Islam M Fuad Nasar

Sesditjen Bimas Islam M Fuad Nasar

H.S.M. Nasaruddin Latif, marriage counsellor dan pelopor pembentukan badan penasihatan perkawinan dalam tulisannya Kepentingan Nasehat Perkawinan Di Indonesia (Majalah Islam KIBLAT No 8, September Ke-II Tahun XV/1967) mengungkapkan, “Pernikahan dan kehidupan keluarga adalah persoalan penting yang tidak boleh diabaikan dalam masyarakat. Pernikahan, rumah tangga dan keluarga adalah lembaga masyarakat tempat kita membina dan membentuk dasar kehidupan nasional yang sehat untuk sekarang dan yang akan datang. Memang ada ahli sosiologi yang berpendapat lambat laun lembaga pernikahan akan hilang dari masyarakat. Tetapi kita sebagai muslim tidak berkeyakinan demikian. Sebab kita yakin selama di Indonesia masih ada keimanan kepada Tuhan dan agama pasti lembaga pernikahan akan tetap ada dalam masyarakat Indonesia sampai akhir zaman. Saya berharap, Badan Penasehat Perkawinan makin bertambah maju dan masyarakat menginsafi kepentingan dan kegunaannya.”

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat dan merupakan entitas sosial yang membentuk kehidupan suatu bangsa. Berbagai istilah yang dikenal di masyarakat seperti; keluarga sakinah, keluarga sejahtera dan bahagia, keluarga harmonis, keluarga berkualitas dan sebagainya menggambarkan nilai-nilai yang harus dijaga di dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Modul Pembangunan Ketahanan Keluarga (2016) disusun oleh tim Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengelaborasi konsep ketahanan keluarga sebagai kemampuan untuk menghadapi perubahan-perubahan, masalah dan tantangan sehingga keluarga dapat berjalan terus mencapai kesejahteraannya. Selain itu ketahanan keluarga juga bermakna kemampuan keluarga untuk menangkal atau melindungi diri dari berbagai permasalahan atau ancaman kehidupan baik yang datang dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar keluarga seperti lingkungan, komunitas, masyarakat, maupun negara.

Setidaknya terdapat 5 indikasi tingkat ketahanan keluarga yang dirangkum dalam modul tersebut yaitu: (1) adanya sikap saling melayani sebagai tanda kemuliaan; (2) adanya keakraban antara suami dan istri menuju kualitas perkawinan yang baik; (3) adanya orang tua yang mengajar dan melatih anak-anaknya dengan berbagai tantangan kreatif, pelatihan yang konsisten, dan mengembangkan keterampilan; (4) adanya suami dan istri yang memimpin seluruh anggota keluarganya dengan penuh kasih sayang; dan (5) adanya anak-anak yang menaati dan menghormati orang tuanya.

Kenapa ketahanan keluarga menjadi isu penting karena generasi mendatang lahir dan dibesarkan dari lingkungan keluarga yang ada di waktu sekarang. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga harmonis dan bahagia berbeda perkembangan mental dan kepribadiannya dengan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berantakan atau broken home. Ketenangan dan kebahagiaan di dalam keluarga menentukan pembawaan dan kepercayaan diri seseorang dalam pekerjaan dan menghadapi masyarakat. Kekacauan dalam keluarga merupakan penyebab stress terbesar dalam kehidupan manusia.

Oleh karena itu ketahanan keluarga dalam makna seutuhnya tidak hanya dilihat dari definisi keluarga menurut undang-undang yakni sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Ketahanan keluarga di negara kita yang berdasarkan Pancasila perlu dihubungkan dengan keseluruhan upaya untuk menjaga nilai sakral pernikahan menurut ajaran agama dan menyelamatkan keluarga dari musibah perceraian dengan segala akibatnya.

Mencermati tingginya angka perceraian belakangan ini rata-rata per tahun menembus angka 23 persen dan perkawinan anak rata-rata 50.000 anak menikah dini per tahun, Ketua Umum Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4 Pusat) Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, menyimpulkan Indonesia menghadapi “darurat perceraian”. Imam Besar Masjid Istiqlal itu mengatakan bangsa yang kuat tidak bisa dibangun di atas keluarga yang rapuh dan berantakan.

Kelahiran badan penasihatan perkawinan lebih dari setengah abad yang lampau dilatarbelakangi tingginya angka perceraian. Statistik talak dan cerai di Indonesia tahun 1950-an mencapai 500.000 per tahun atau rata-rata 55 persen dari jumlah pernikahan tiap tahun. Setiap perceraian apalagi perceraian sewenang-wenang menimbulkan akibat yang merugikan perempuan dan anak-anak. Kementerian Agama waktu itu mengeluarkan aturan bagi suami-isteri yang dilanda perselisihan dan hendak cerai diwajibkan terlebih dahulu konsultasi pada Seksi Penasihat Perkawinan pada Kantor Urusan Agama untuk diberi nasihat dan sedapat mungkin didamaikan. Upaya lainnya ialah memberikan penasihatan perkawinan kepada calon pengantin. Usaha Kementerian Agama bersama para penasihat perkawinan (marriage counsellor) di masa itu berhasil menurunkan angka perceraian secara signifikan.

Melonjaknya angka perceraian belakangan ini menunjukkan kegagalan penyelesaian perselisihan rumah tangga. Perceraian mencerminkan pandangan masyarakat terhadap nilai sakral pernikahan yang berubah. Perceraian berdampak terhadap anak dan timbulnya kemiskinan baru pada sebagian lapisan masyarakat.

Menurut tinjauan sosiologi, pergeseran pola hidup masyarakat dari struktur kekeluargaan extended family (keluarga besar) kepada struktur nuclear family (keluarga kecil), keluarga konjugal atau keluarga inti ditengarai menjadi faktor yang ikut mempengaruhi ketahanan keluarga di era modern.

William J. Goode seperti dikutip T.O. Ihromi dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004) menggambarkan keluarga konjugal semakin mandiri melakukan perannya terlepas dari kerabat pihak suami atau istri. Secara ekonomi keluarga konjugal berdiri sendiri, memiliki tempat tinggal sendiri dan tidak bersatu dengan kerabat. Secara psikologis keluarga konjugal semakin otonom, dimana hubungan emosional suami dan istri menjadi lebih sentral. Kerabat tidak lagi menjadi penyangga kehidupan pasangan suami-istri. Keluarga konjugal relatif lebih mudah pecah ketika terjadi konflik antara suami-istri karena sedikitnya tekanan kerabat yang mengharuskan mereka bersatu dan mempertahankan keutuhan perkawinan.

Konsultan dan Penasihat Perkawinan BP4 Pusat Hj. Zubaidah Muchtar dalam kumpulan bukunya Kapita Selekta Cinta Perkawinan dan Keluarga (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018) menyebut berbagai faktor penyebab perselisihan dan perceraian yang banyak ditemukan, di antaranya: (1) masalah moral-akhlak, seperti tak ada kejujuran, judi, minuman keras dan perzinaan, narkoba, perselingkuhan, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual), KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), dan lain-lain. (2) Gangguan pihak ketiga, seperti mertua, ipar, pembantu rumah tangga, anak tiri, ibu tiri/ayah tiri, dan lain-lain, mungkin juga rekan kerja. (3) Ekonomi rumah tangga, suami tak bertanggungjawab dalam nafkah, tidak adanya keterbukaan antara suami dan istri dalam hal keuangan. (4) Tidak ada restu orangtua dalam pernikahan. (5) Perbedaan dalam agama dan ideologi. (6) Perpoligamian illegal atau nikah siri. (7) Masalah pembagian harta gono-gini/harta waris. (8) Perbedaan usia yang sangat jauh antara suami dan istri, tidak memperoleh keturunan dalam pernikahan, dan sebagainya.

Perubahan masyarakat mempengaruhi tren kasus dan penanganan terhadap perselisihan dalam perkawinan dan rumah tangga. Kalau di masa lalu keluarga dekat, kerabat, tetangga dan sahabat turut merasa bertanggungjawab terhadap keberlangsungan perkawinan yang menghadapi masalah. Tetapi di era post-modern sikap tidak peduli terhadap urusan privasi orang lain semakin banyak ditemukan, malahan sebagian orang tidak mau persoalan rumah tangganya dicampuri oleh pihak ketiga, kecuali mungkin oleh penasihat perkawinan yang profesional.

Kementerian Agama sejak lama mengantisipasi dampak perubahan sosial yang terjadi dengan membentuk organisasi BP4 sejak dekade 1950-an. BP4 kini merupakan organisasi yang bersifat sosial keagamaan sebagai mitra Kementerian Agama dan instansi lain dalam upaya meningkatkan kualitas perkawinan umat Islam dan ketahanan keluarga Indonesia.

Ketahanan keluarga muslim sebagai populasi yang jumlahnya terbanyak, selama ini mendominasi jumlah perceraian di negara kita sehingga memerlukan penanganan serius. Prosedur Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk bagi warga negara yang beragama Islam mengikuti hukum agama dan perundang-undangan negara. Fenomena sosial, seperti maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan yang melibatkan anak, perselingkuhan, pernikahan anak di bawah umur, pernikahan yang tidak tercatat, perceraian dan sebagainya menyadarkan publik tentang urgensi penguatan ketahanan keluarga dan pembinaan perkawinan melalui pendekatan agama dan hukum.

Kerapuhan perkawinan dan ketahanan keluarga yang tercermin antara lain dari tingginya angka perceraian mengharuskan Kementerian Agama bersama mitra BP4 dan organisasi lain yang sejenis semakin menggiatkan bimbingan perkawinan bagi calon pengantin, mengembangkan layanan penasihatan dan konseling keluarga serta mediasi terhadap suami-istri yang mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama.

Pemerintah dengan dukungan organisasi keagamaan, da’i dan tokoh agama serta media massa harus lebih proaktif dalam menyuarakan dan mengkampanyekan pentingnya menghormati nilai sakral pernikahan. Walaupun semua orang bisa menikah, namun belum tentu memiliki bekal yang memadai untuk membangun keluarga sakinah, sejahtera dan bahagia.

Setiap calon pengantin dan pasangan suami istri yang telah menikah dan berumah tangga perlu memahami bahwa pernikahan adalah bagian dari ibadah. Pernikahan bukan sekadar perjanjian antara dua orang manusia yang memenuhi persyaratan untuk membentuk sebuah keluarga, tapi bagian dari ketakwaan kepada Allah. Karena itu masalah ketahanan keluarga dan kebahagiaan dalam rumah tangga serta perkawinan yang bertanggungjawab perlu banyak disampaikan di forum-forum dakwah dan kegiatan keagamaan.

Dalam rangka mengurangi potensi perceraian dan meningkatkan ketahanan keluarga, Kementerian Agama meluncurkan program Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Para remaja usia nikah dan calon pengantin perlu dibekali dengan pemahaman awal tentang keluarga dan bimbingan perkawinan calon pengantin. Masyarakat juga perlu mengenal dengan baik fungsi penasihatan perkawinan dan konseling keluarga yang difasilitasi oleh organisasi profesional seperti BP4 dan lembaga sejenisnya.

Momen yang tepat untuk melakukan revitalisasi BP4 adalah sekarang karena paralel dengan revitalisasi KUA sebagai program prioritas Kementerian Agama. Kementerian Agama dan BP4 perlu meningkatkan sinergi dan kolaborasi untuk memperbaiki dan membangun ketahanan keluarga Indonesia demi masa depan bangsa dan negara. Wallahu a’lam bisshawab.

M. Fuad Nasar (Sesditjen Bimas Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua