Nasional

Kilas Balik 2022, Ulama PBNU Sebut Penggunaan Nilai Manfaat Dana Haji Harus Berkeadilan dan Proporsional

Mudzakarah Perhajian 2022 di Pesantren Situbondo

Mudzakarah Perhajian 2022 di Pesantren Situbondo

Jakarta (Kemenag) --- Pemerintah dalam rapat kerja dengan Komisi DPR mengusulkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1443 H/2022 M per jemaah sebesar Rp98.893.909,11. Biaya ini terbagi dalam dua komposisi.

Pertama, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jemaah 1444 H/2023 M sebesar Rp69.193.733,60 (70%). Kedua, nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp29.700.175,11 (30%).

Bipih yang diusulkan pemerintah tahun ini naik dibanding 2022. Saat itu, rata-rata BPIH per jemaah sebesar Rp98.379.021,09, dengan komposisi: 1) Bipih yang dibayar jemaah Rp39.886.009,00 (40,54%) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp58.493.012,09 (59,46%).

“Usulan ini atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji. Formulasi ini juga telah melalui proses kajian,” tegas Menag di DPR, Kamis (19/1/2023).

Kebijakan formulasi komponen BPIH tersebut, ujar Menag, diambil dalam rangka menyeimbangkan antara besaran beban jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat BPIH di masa yang akan datang. Menurut Menag, pembebanan Bipih harus menjaga prinsip istitha’ah dan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun berikutnya.

“Itu usulan pemerintah. Menurut kami, itu yang paling logis untuk menjaga supaya yang ada di BPKH itu tidak tergerus, ya dengan komposisi seperti itu. Jadi dana manfaat itu dikurangi, tinggal 30%, sementara yang 70% menjadi tanggung jawab jemaah,” urai Menag.

“Selain untuk menjaga itu (BPKH), yang kedua ini juga soal istitha'ah, kemampuan menjalankan ibadah. Kan, ada syarat jika mampu. Haji itu jika mampu. Kemampuan ini harus terukur, kami mengukurnya dengan nilai segitu,” sambung Gus Men, panggilan akrabnya.

Berkeadilan dan Proporsional

Rais Syuriah PBNU yang juga Wakil Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo KH Afifuddin Muhajir menggarisbawahi pentingnya mendistribusikan nilai manfaat dana haji secara proporsional. Hal itu didasarkan pada kemaslahatan dan keadilan.

Penegasan ini disampaikan Kyai Afifuddin saat menjadi pembicara pada Mudzakarah Perhajian Indonesia di Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo. Mudzakarah ini mengangkat tema "Bipih dan Keberlangsungan Pembiayaan Haji".

Mudzakarah dihadiri para ulama yang tergabung dalam konsultan ibadah haji 2022, para akademisi, termasuk pakar keuangan dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hadir juga para Kepala Kanwil dan Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Provinsi.

Menurut Kyai Afifuddin, haji hanya wajib bagi orang yang memiliki kemampuan membayar secara sempurna Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang ditetapkan pemerintah. Namun, penetapan BPIH harus atas dasar keadilan bagi kedua pihak, pemerintah dan jemaah.

"Penentuan BPIH harus berdasarkan kemaslahatan dan keadilan dua belah pihak. Tidak merugikan negara dan tidak merugikan calon jemaah. Bagaimana jemaah tidak diberatkan dan bagaimana negara tidak rugi," terangnya di Situbondo, Selasa (29/11/2022).

"Tidak harus untung, yang penting tidak rugi," sambungnya.

Lantas, bagaimana jika BPIH itu dikelola pemerintah? Ulama ahli Ushul Fiqh ini menjelaskan bahwa jika BPIH dikelola, maka harus ada pembagian keuntungan. Bisa saja, pemerintah membuat kebijakan dengan menerima setoran pembayaran yang tidak sepenuhnya dari jemaah.

Misalnya, kata Kyai Afifuddin, jika BPIH 100juta, negara punya toleransi jemaah menyetor sebagian (sekian persen) dari jumlah itu. "Yang penting jangan terlalu kecil. Dasarnya kesepakatan dan keadilan negara," sebutnya.

"Pada dasarnya, negara tidak punya kewajiban mensubdisi jemaah. Yang penting, pemerintah memberi kemudahan kepada jemaah agar bisa berhaji dengan baik," sambungnya

Terkait istithaah, Kyai Afifuddin menjelaskan bahwa itu didefinisikan sebagai orang yang memiliki segala yang dibutuhkan untuk perjalanan haji dan itu lebih dari yang dibutuhkan untuk nafkah keluarga yang menjadi tanggungannya. Jemaah tersebut juga tidak punya utang, baik kepada Allah maupun manusia.

"Ada orang berangkat haji meninggalkan utang. Padahal sebelum berangkat haji, harusnya utang dilunasi dulu. Sekarang banyak orang haji dengan berutang, meski hajinya tetap sah," ujarnya.

"Salah satu bentuk utang adalah dana talangan haji," sambungnya.

Hal senada disampaikan oleh Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr Abdul Moqsith Ghozali. Menurutnya, kewajiban berhaji adalah kewajiban individual. Pemerintah bertugas sebagai fasilitator, sementara kehadiran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) membantu meringankan jemaah agar tidak terlalu mahal.

Sehubungan dengan kenaikan biaya haji yang sangat signifikan pada 2022, Moqsith memandang perlunya menaikkan biaya haji secara bertahap. Hal itu penting dilakukan demi keberlangsungan pembiayaan ibadah haji.

Menurutnya, tahun 2022, rata-rata biaya haji mencapai 97,7juta, sementara yang dibayar jemaah pada kisaran 39,8juta. Sisanya diambilkan dari nilai manfaat dana optimalisasi. "Jika pola ini dipertahankan, nilai manfaat dana optimalisasi haji bisa habis pada 2027," terangnya.

"Usul, kenaikan biaya haji dilakukan secara bertahap," tandasnya.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua