Nasional

Kisah Guru Tunanetra Merajut Asa dari Ruang Gelap Kehidupan

Kota Bandung hari itu terasa lebih sejuk, seiring siraman rintik hujan yang membasahi bumi Kota Kembang. Di tengah hiruk pikuk kesibukan kota, nampak seorang tunanetra sedang asik dan terampil mengoperasikan laptop pribadinya, sambil membimbing teman-teman sejawatnya yang juga sebagian besar tunanetra.

Zainul Muttaqin namanya, akrab disapa Zainul. Ayah dua orang anak ini berprofesi sebagai Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Luar Biasa (SLB)-A Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) Surabaya. Bukan secara kebetulan Zainul hadir di Kota Bandung. Dia didaulat untuk menjadi narasumber pada kegiatan Peningkatan Kompetensi ICT Guru PAI SMALB yang diselenggarakan Direktorat PAI, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama.

Tentu tidak sembarang Direktorat PAI memilih Zainul sebagai pembicara. Pria kelahiran Ponorogo, 26 Januari 1970 ini dinilai cukup mumpuni oleh Forum Komunikasi Guru (FKG) PAI SLB untuk menyampaikan materi seputar teknologi informasi dan komunikasi kepada para Guru PAI berkebutuhan khusus, terutama penyandang tunanetra.

Zainul merupakan peraih gelar Magister Pendidikan Kebutuhan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dengan beasiswa dari Braillo Norway. Ia juga memiliki gelar Master of Art di bidang pendidikan dari London Metropolitan University dengan beasiswa Ford Foundation. Dirinya pernah pula menjadi Finalis Guru SDLB/SMPLB Berprestasi Tahun 2016 Kota Surabaya. Sungguh prestasi yang sangat luar biasa, bahkan untuk ukuran orang normal sekalipun.

Selama tiga hari, 1 - 3 April 2021, bertempat di Hotel Golden Flower Bandung, Jawa Barat, Zainul dengan sabar mendampingi para peserta kegiatan Peningkatan Kompetensi ICT Guru PAI SMALB. Tahap demi tahap ia paparkan tentang cara membuat akun gmail sekaligus ragam pemanfaatannya demi menunjang proses pembelajaran. Peserta yang mayoritas adalah Guru PAI berkebutuhan khusus itu terlihat begitu antusias mengikuti apa yang dijelaskan oleh Zainul.

Di sela-sela aktivitasnya sebagai pemateri, Zainul berkenan berbagi kisah dengan kami (panitia-red) tentang suka dukanya selama menjadi Guru PAI. Lulus dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada 1997, cita-citanya untuk menjadi guru agama tidak begitu saja ia dapatkan dengan mudah.

Zainul sempat bekerja di perusahaan ekspedisi PT JNE yang berlokasi di Jakarta. Pekerjaan tersebut ia lakoni selama 4 tahun sebelum akhirnya lolos seleksi CPNS Tahun 2002 Kementerian Agama melalui formasi Guru PAI.

Baginya, yang paling berkesan selama bertugas sebagai Guru PAI adalah ketika mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada peserta didik tunanetra hingga mereka mampu membacanya dengan baik dan benar serta mengamalkan isi kandungannya.

"Yang paling berkesan bagi saya pertama adalah mengajarkan Al-Qur’an Braille kepada para murid dan kedua mengajarkan nilai-nilai akhlak, sehingga pada akhirnya murid-murid saya mampu membaca Alquran dengan baik dan benar serta bersungguh-sungguh mengamalkan akhlak yang baik. Bagi saya ini merupakan kepuasan batin yang amat luar biasa," ujarnya.

Zainulpun merasa bangga bahwa di antara murid-muridnya ada yang memiliki hafalan lebih dari 1 juz. Menurutnya, hal ini merupakan tren positif yang sedang menggejala di kalangan peserta didik tunanetra.

"Anak-anak itu banyak yang ingin menjadi hafiz, dan ini buat saya suatu perkembangan yang menggembirakan. Murid saya setidaknya ada dua orang yang sudah memiliki hafalan lebih dari 1 juz. Jadi, di samping mereka belajar membaca sesuai kaidah ilmu tajwid, mereka juga berusaha untuk menghafalkannya", terangnya.

Namun demikian, seringkali kenyataan hidup tak selamanya ditaburi sesuatu yang menyenangkan. Raut wajah Zainul berubah getir, nafasnya menghela berat saat menceritakan kondisi keluarga murid-muridnya.

"Murid-murid saya kebanyakan dari keluarga pra sejahtera atau tidak mampu, dan umumnya kalangan tunanetra seperti itu. Ditambah yang menyandang tunanetra bukan hanya satu dua orang, ada yang hampir satu keluarga menyandang tunanetra semuanya. Ini keadaan yang harus saya hadapi, tidak bisa saya meminta lebih dari mereka. Semisal pembelajaran jarak jauh seperti sekarang ini, satu rumah hanya ada satu telepon seluler, sehingga saya harus maklum dengan kondisi murid-murid saya," cerita Zainul.

Persoalan lain yang memicu keprihatinannya adalah pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille yang belum tuntas. Masih banyak penyandang tunanetra yang belum mampu membaca Al-Qur’an Braille. "Angka yang saya dapat dari sebuah penelitian, tunanetra muslim di Indonesia ini tidak lebih dari 5% yang mampu membaca Al-Qur’an Braille. Darurat buta huruf Al-Qur’an Braille istilahnya, dan ini harus menjadi keprihatinan kita bersama," ungkapnya.

Zainul berharap pemerintah khususnya Kementerian Agama, dapat lebih memberikan perhatian terhadap pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille, karena institusi pemerintah dengan jaringannyalah yang mampu mengoptimalkan sumber daya untuk pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille.

"Saya berterima kasih kepada Kementerian Agama yang sudah banyak mengangkat CPNS Guru PAI untuk SLB. Saya juga pernah mengikuti kegiatan Lajnah Pentashih Alquran dalam rangka Penyusunan Modul Penulisan Al-Qur’an Braille. Lebih dari itu, saya berharap Kementerian Agama dapat mengambil peran dalam pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille. Pemerintah dengan segala jaringannyalah yang mampu menggerakkan segala sumber daya demi pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille ini," tukas Zainul.

Bertugas mengajar peserta didik berkebutuhan khusus, dimana dirinya juga tergolong orang berkebutuhan khusus, tidak menyurutkan langkah Zainul untuk mengabdi sepenuh hati. Langkahnya mantap untuk selalu merajut asa di tengah ruang gelap yang menjadi takdir kehidupannya.

"Pegangan saya dua, pertama saya yakin bahwa Allah tidak membebani di luar kesanggupan kita. Kedua, saya yakin bahwa Allah memberikan segala kemampuan kepada kita untuk menghadapi masalah, jadi satu paket. Selama saya bertawakal, insya Allah akan selalu ada jalan untuk memecahkan masalah yang terjadi," tutupnya.

Apriyadi Wardoyo (Bekerja pada Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua