Opini

Kisah Nabi Musa dan Babi

Abdurrasyid Ridha

Abdurrasyid Ridha

Kisah Nabi Musa dan babi menjadi bahasan di media sosial karena dikaitkan dengan dugaan penghinaan kepada Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin. Tulisan ini mencoba untuk mengurai riwayat kisah tersebut.

Setelah ditelusuri, riwayat paling awal tentang kisah Nabi Musa dan babi bersumber dari kitab Quut al-Quluub fi Mu’amalah al-Mahbub wa Washf al-Murid ila Maqam at-Tauhid, atau yang sering disingkat Quut al-Quluub. Kitab yang berisi tentang ajaran tasawuf tersebut merupakan buah karya tokoh sufi bernama Abu Thalib al-Makki (w.386 H).

Dari kitab tersebut, kisah Nabi Musa dan babi ini kemudian dikutip beberapa kitab lain, seperti Ihya al-Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Hayat al-Hayawan al-Kubra karya Kamaludin Muhammad bin Musa ad-Damiri (w. 808 H), dan Bariqah Mahmudiyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah karya Muhammad bin Bir Ali bin Iskandar ar-Rumi al-Birkiwi (w. 981 H).

Berikut ini adalah terjemahan dari riwayat tersebut sebagaimana yang disebut dalam Quut al-Quluub:

Dari Utbah bin Waqid, dari Utsman bin Abi Sulaiman, ia menuturkan bahwa ada seorang lelaki (sebut saja namanya Fulan) yang bekerja membantu Nabi Musa. Ia pun banyak menimba ilmu dari Nabi Musa, hingga ia menjadi kaya dan banyak hartanya. Si Fulan lantas menghilang sekian lama. Nabi Musa bertanya-tanya tentang keberadaannya. Beliau tidak mengetahui kabar berita Si Fulan sedikit pun. Hingga suatu hari, seorang lelaki datang bersama seekor babi untuk menemui Nabi Musa. Tangan lelaki itu menghela seutas tali hitam yang terikat di leher sang babi.

Nabi Musa bertanya kepada lelaki itu, “Apakah Anda mengenal si Fulan” Lelaki itu menjawab, “Ya, dia adalah babi ini!” Nabi Musa lantas berdoa, “Ya Tuhan, aku memohon kepada-Mu untuk mengembalikan babi ini kepada keadaannya semula, agar aku bisa bertanya atas musibah yang menimpanya ini.” Allah pun menurunkan wahyu-Nya kepada Musa, “Ya, Musa, walaupun kau berdoa kepada-Ku sebagaimana Adam berdoa, apalagi doa orang yang lebih rendah dari padanya, Aku tidak akan mengabulkan doamu. Namun Aku tetap memberitahukanmu mengapa Aku mengutuknya menjadi babi. Hal itu karena ia mencari dunia dengan (menjual) agama!”

Riwayat itu disampaikan oleh Muhammad bin Ali bin Athiyyah atau yang dikenal dengan nama Abu Thalib al-Makki. Kisah tersebut bukanlah berasal dari sabda Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Abu Thalib sendiri menyebutkan bahwa ia mendapatkan riwayat tersebut dari Utbah bin Waqid. Namun Utbah bin Waqid sendiri tidak ditemukan dalam kitab-kitab biografi para perawi. Memang banyak nama Utbah ditemukan dalam kitab-kitab Rijaal al-Hadiits, namun sejauh ini penulis tidak menemukan nama Utbah bin Waqid. Dalam biografi Abu Thalib al-Makki sendiri, tidak ditemukan informasi bahwa ia pernah memiliki guru bernama Utbah bin Waqid.

Sedangkan Utsman bin Abi Sulaiman memang ditemukan dalam kitab-kitab biografi perawi. Namun ia tidak disebutkan memiliki murid yang bernama Utbah bin Waqid. Utsman bin Abi Sulaiman sendiri disebut sebagai perawi yang bisa dipercaya (tsiqqah) oleh para ahli hadits sebagaimana ditegaskan oleh Abu Hatim dalam karyanya al-Jarh wa at-Ta’dil. Dengan demikian, dilihat dari aspek sanad, riwayat tentang kisah Nabi Musa ini memang bermasalah. Ada rantai yang terputus, baik antara Abu Thalib al-Makki dengan Utbah bin Waqid, maupun antara Utbah bin Waqid dengan Utsman bin Abi Sulaiman.

Kisah di atas berisi tentang peristiwa yang diklaim dilakukan oleh Nabi Musa. Dalam kajian ilmu tafsir, sebagaimana dijelaskan oleh Husein az-Zahabi dalam at-Tafsir wal Mufassirun, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa atau konsep keagamaan pada masa Nabi Musa dan Nabi Isa termasuk dalam kategori riwayat Israilliyat. Riwayat Israilliyat ini merupakan tradisi lisan dalam masyarakat Yahudi dan Nasrani yang kemudian masuk dalam khazanah peradaban Islam. Riwayat-riwayat tersebut sulit diverifikasi kebenarannya. Meski demikian, bukan berarti kita boleh langsung memvonisnya sebagai berita bohong.

Nabi Muhammad sendiri memberikan arahan bagaimana sikap umat Islam terhadap riwayat Israilliyat. Dalam sebuah hadis riwayat dari Abu Hurairah, ia berkata, “Para Ahli Kitab membaca Kitab Taurat dengan bahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk orang-orang Islam.” Rasulullah SAW pun menimpali: “Jangan kalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula kalian mendustakan mereka. Katakan saja kepada mereka: ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami’”. (Shahih Bukhari, Hadits No. 4215).

Dalam hadis lain, Nabi juga memberikan arahan bahwa boleh kita menyampaikan kisah Israiliyyat, tapi tidak boleh menganggap kisah itu sebagai hadis yang berasal dari beliau. Hal itu disampaikan dalam sabda Nabi SAW, “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israel. Hal itu tidaklah berdosa. Namun barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah ia bertempat di neraka!” (Shahih Bukhari, Hadits No. 3274)

Menurut sejarawan Ibnu al-Qaysarani (w. 507 H) dalam al-Ansab al-Muttafaqah, Abu Thalib al-Makki adalah seorang lelaki saleh yang tekun beribadah dan memiliki beberapa karya tulis. Gelar nama al-Makki di belakang namanya bukanlah menunjukkan bahwa ia penduduk Mekkah. Namun ia adalah penduduk gunung yang kemudian tumbuh besar di Mekkah. Setelah wafat Abu al-Hasan bin Salim, seorang tokoh ulama di Bashrah, Abu Thalib pun masuk Bashrah dan mengutip banyak pendapat Abu al-Hasan. Ia lantas menetap di Baghdad dan mendirikan majelis taklim yang dihadiri banyak orang. Salah satu pendapatnya yang kontroversial adalah bahwa tidak ada yang lebih berbahaya bagi para makhluk daripada Sang Khalik. Setelah pendapat itu menyebar di tengah masyarakat, orang-orang pun menudingnya mengajarkan bid’ah. Masyarakat lantas mengasingkan dan melarangnya untuk berbicara di depan umum. Sedangkan menurut al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitab Tarikh Baghdad, Abu Thalib menyebutkan dalam kitabnya Quut al-Quluub beberapa hal yang mungkar terkait dengan sifat-sifat Allah.

Terlepas dari tudingan miring terhadap Abu Thalib al-Makki di atas, beliau tetaplah seorang tokoh ulama yang harus dihormati. Karya beliau Quut al-Quluub sampai hari ini merupakan salah satu rujukan awal ajaran tasawuf. Ketika menyitir riwayat tentang Nabi Musa dan babi, beliau sedang membahas tentang ajaran tasawuf mengenai pentingnya zuhud, terutama bagi para ulama. Namun, bukan berarti kita boleh menelan mentah-mentah riwayat tersebut. Karena riwayat-riwayat Israiliyyat tersebut memang sulit untuk diverifikasi kebenarannya. Wallahu a’lam.

Abdurrasyid Ridha (Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Gabuswetan Indramayu)

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat