Opini

Komitmen dan Semangat Keagamaan

Kepala Bagian Humas Biro HDI Kemenag  Ubaidillah Marsan (foto: Rusydi)

Kepala Bagian Humas Biro HDI Kemenag Ubaidillah Marsan (foto: Rusydi)

Dalam kehidupan umat beragama di Indonesia, penulis menangkap kesan adanya distingsi antara komitmen keagamaan dan semangat keagamaan. Kesan ini penulis tangkap kala mengikuti kegiatan seperti dialog, workshop, seminar atau pun pertemuan yang difasilitasi Kementerian Agama dan melibatkan para tokoh agama, masyarakat, pemuda maupun mahasiswa.

Kesan tersebut diindikasikan oleh sikap, perilaku yang mewakili apa yang ada dalam pikiran masing-masing umat beragama. Meski dilatarbelakangi oleh agama yang berbeda, orang sepakat bahwa agama menjadi domain masing-masing penganutnya sekaligus sebagai keyakinan yang didasari atas kesadaran masing-masing.

Orang pun yakin bahwa agama yang ia anut sepenuhnya untuk kebaikan dirinya, pemenuhan kebutuhan spiritualnya, sekaligus juga sebagai jalan kebahagiaan di dunia ini dan bekal keselamatan di akhirat kelak. Kesadaran ini selain diyakini sebagai tujuan orang beragama, juga dapat dibahasakan sebagai komitmen keagamaan.

Sementara itu, semangat keagamaan dapat dilihat sebagai bentuk praktik dari masing-masing penganut agama yang melibatkan hubungan orang perorang atau kelompok-kelompok dalam masyarakat dalam bentuk ekspresi keagamaan. Ekspresi ini dalam batas-batas tertentu tampak yang utama dalam setiap aktivitas keseharian masyarakat.

Kerenanya kemudian semangat keagamaan menjadi domain publik dan dalam praktiknya memerlukan toleransi, nilai etis, bahkan regulasi yang disediakan pemerintah guna mengatur lalu lintas ekspresi keberagamaan umat beragama.

Sejauh ini komitmen keagamaan menjadi wilayah aman dalam kehidupan beragama masyarakat di Indonesia dan nyaris tidak memunculkan polemik. Besar kemungkinan ini dikarenakan selain komitmen tersebut hampir sepenuhnya bersifat teologis, ia juga berada dalam wilayah esoteris yang dalam bahasa F. Schoun, S. H. Nasr dan Huston Smith menyebut sebagai wilayah inner metaphisical truth of religion (kebenaran metafisis batiniah agama). Wilayah ini lazim dikenal dalam bahasa keseharian sebagai wilayah internal dari masing-masing umat beragama.

Sebaliknya, semangat keagamaan adalah wilayah eksoteris, domain publik yang melibatkan hampir semua varibel sosial. Karenanya, semangat ini kemudian tidak lagi menjadi persoalan sederhana dan bahkan beberapa di antaranya memuat sensitivitas dan rentan polemik. Karenanya, perlu dijaga oleh masing-masing umat beragama.

Inilah yang menjadi objek pembinaan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama melalui unit-unit kerja yang direpresentasikan oleh masing-masing agama dan Pusat Kerukunan Umat Beragama. Unit-unit kerja ini, selain melakukan pembinaan terhadap umat beragama, juga memastikan agar semangat keagamaan yang diekspresikan oleh sekelompok umat beragama tidak saling bersinggungan dengan kelompok agama lain yang memiliki semangat keagamaan yang sama.

Banyak polemik yang muncul berawal dari sudut pandang semangat keagamaan ini. Dalam batas tertentu, semangat ini juga turut mendistorsi komitmen keagamaan. Beberapa contoh klasik namun tetap aktual muncul dari wilayah ini semisal pendirian rumah ibadah, penyiaran agama dan perkawinan beda agama.

Suatu kenyataan yang hingga kini menjadi bagian dari sejarah keagamaan di belahan dunia manapun adalah ketika agama keluar jauh dari wilayah yang menjadi sumbernya, berlaku semacam adjusment, meski tidak sepenuhnya, yang melibatkan ajaran agama dan dalam konteks tertentu berlaku pula asimilasi budaya di dalamnya.

Dari banyak penuturan sejarah masuknya agama-agama di bumi Nusantara ini, umat beragama kemudian melakukan berbagai upaya mendekatkan masyarakat terhadap pemahaman sumber ajaran agama yang termaktub dalam kitab suci. Upaya ini dilakukan dengan menghasilkan ketersediaan terjemahan kitab suci ke dalam bahasa nasional guna memberikan akses pemahaman umat beragama terhadap suatu ajaran agama yang dianutnya. Persoalannya, bagaimana bila kitab suci disajikan ke dalam bahasa daerah tertentu? Meski bagi sebagian orang ini lazim dilakukan dikarenakan memang berada dalam wilayah semangat keagamaan, namun mengapa kemudian terjadi polemik?

Dalam berbagai forum diskusi terkait hubungan lintas agama, kerap diargumentasikan bahwa bangsa ini heterogen baik dari segi agama, etnis dan bahasa, di samping cakupan wilayah Indonesia yang cukup luas terbentang dari Sabang hingga Merauke. Karenanya, dari toleransi hingga moderasi beragama kemudian menjadi semacam tool dalam setiap kesempatan menghadirkan berbagai elemen masyarakat lintas agama dan para aktor kerukunan guna memperkuat hamoni di seluruh wilayah NKRI.

Hanya saja toleransi dan moderasi beragama bukanlah cek kosong, namun ada prasyarat yang harus dipegang oleh masing-masing umat beragama dikarenakan pertimbangan heterogenitas dan berbagai resiko dari sebuah bangsa yang besar.

Prasyarat itu antara lain adalah kesiapan dari semua umat beragama untuk dapat menyertakan keadilan dan keseimbangan dalam ekspresi keberagamaan masing-masing. Keseimbangan dalam konteks semangat keagamaan hari ini adalah menjaga keseimbangan antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan kenyataaan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan.

Prasyarat lainnya perlu disebutkan di sini juga adalah kehati-hatian dalam mengekspresikan semangat keagamaan masing-masing. Kehati-hatian dalam semangat keagamaan memerlukan keluasan wawasan, semangat kebangsaan dan kesadaran akan adanya keragaman. Melengkapi itu semua adalah pertimbangan-pertimbangan etis yang memang bersumber langsung dari ajaran agama.

Munculnya sejumlah kekhawatiran dari umat beragama sendiri seperti fenomena terjadinya “balapan” mencari pengikut baru yang pernah diungkapkan Azyumardi Azra sebagai sibling rivalry pada beberapa praktik penyiaran agama yang ada, dikarenakan orang memandang bahwa suatu penyiaran agama mengabaikan prasyarat yang sedianya harus menjadi bagian dari komitmen keagamaan semua umat beragama. Merujuk pada kecenderungan semua agama sebagai pembawa “misi” keselamatan, tampaknya prasyarat ini menjadi niscaya diutamakan. Ini penting diingat kembali, dikarenakan terlihat adanya kekhwatiran yang sama di tengah-tengah polemik penyediaan kitab suci ke dalam bahasa daerah belakangan ini.

Kekhawatiran ini dapat dipahami mengingat hal paling menonjol dari hubungan lintas agama di antaranya seperti pernah ditulis Ridwan Lubis adalah masing-masing agama telah memiliki kawasan penganut dan dalam masyarakat telah terbentuk pemahaman yang menarik garis hubungan antara etinisitas dan keberagamaan. Etnisitas pada proses berikutnya meneguhkan keterikatan antara satu wilayah dan bahasa daerahnya dengan dominasi agama tertentu. Dapat dipastikan kondisi ini terbentuk dari proses rentang waktu yang cukup lama dalam sejarah sosial masyarakat lokal sampai ia menjadi bagian dari kultur masyarakat setempat.

Ungkapan masyarakat Minangkabau “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,” adalah contoh kongkrit dari semangat keagamaan masyarakat setempat sekaligus sebagai pembuktian fenomenologisnya.

Sampai di sini tampaknya umat beragama di Indonesia belum saatnya untuk merayakan manisnya idealisme antara komitmen keagamaan dengan semangat keagamaan yang seharusnya berjalan beriringan. Melalui kerjasama antara pemerintah, majelis-majelis agama, para tokoh agama dan tokoh masyarakat serta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) masih menyisakan beberapa kerja penguatan harmoni di antara umat beragama.

Mekanisme kerja dan regulasi pemerintah terkait itu sudah tersedia, namun tidak berlebihan kiranya jika masih memerlukan perhatian bersama mengingat sejarah dan kondisi sosial umat beragama di Indonesia yang unik seunik keragaman agama, etinis, bahasa dan luas wilayah yang tidak lepas dari perhatian masyarakat global hari ini. Sejauh ini polemik apa pun yang melibatkan umat beragama dapat diselesaikan dengan cara bijak, sebagai bagian dari kearifan bangsa yang memang masih lekat dengan budaya religiusitasnya.

Ubaidillah Marsan

Kepala Bagian Humas Biro HDI

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat