Opini

Korona dan Solidaritas Bangsa

Amsal Bakhtiar

Amsal Bakhtiar

Ketika wabah Korona, yang kemudian dikenal dengan Covid-19 muncul di Wuhan China pada akhir Desember 2019, dunia digemparkan oleh dahsyatnya penyebaran virus mematikan itu. Pada bulan Januari dan Februari penyebaran Covid-19 sudah menjangkiti hampir 100 negara dan pada akhir Maret 203 negara sudah terinfeksi, termasuk Indonesia.

Seiring adanya kasus positif Covid-19 di Depok, pemerintah membentuk Gugus Tugas Khusus untuk melakukan penanganan. Pemerintah menunjuk Achmad Yurianto sebagai juru bicara Covid-19 dan Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai Ketua Penanggulangan wabah Covid-19. Setiap hari juru bicara mengumumkan informasi terbaru tentang perkembangan Covid-19, yang cenderung meningkat. Media massa dan sosial tidak ketinggalan meramaikan bencana Covid-19 dengan beragam versi. Media cetak dan elektronik lebih bertanggung jawab memberitakan kasus Covid-19 dibandingkan dengan media sosial yang cenderung tidak dapat dikontrol. Berita yang dimuat di media sosial belum tentu dapat dipertanggungjawabkan karena banyak kepentingan yang ikut dalam berita tersebut. Simpang siurnya berita tentang virus yang mematikan sangat meresahkan masyarakat kendati pemerintah selalu mengimbau agar masyarakat tidak panik dan tetap tinggal di rumah, menjauhi kerumunan, dan menjaga kebersihan diri. Namun, imbauan tersebut ada yang dipatuhi dan tidak sedikit juga yang melanggar.

Perdebatan antara para pengamat dan ahli kemudian bermunculan tentang bagaimana cara yang efektif untuk menanggulangi Covid-19. Ada yang mengusulkan agar lockdown total, seperti di Wuhan dan ada yang berpandangan bahwa lockdown belum diperlukan cukup menjaga jarak, tidak berkerumun dan menjaga kebersihan diri, terutama tangan. Namun, akibat yang lebih dahsyat dari virus itu sendiri adalah pelemahan ekonomi rakyat, terutama rakyat kecil, yang kalau tidak bekerja tidak akan dapat penghasilan. Contohnya, tukang ojek online yang sangat mengandalkan penumpang, begitu juga pekerja harian lepas, dan banyak lagi yang lain. Tentu mereka sangat terdampak dalam mencari nafkah sehari-hari. Belum lagi mahasiswa di kampus-kampus yang tidak bisa pulang karena kehabisan biaya hidup, kalau pun punya uang tidak banyak warung murah yang buka.

Dampak ekonomi inilah yang perlu diperhatikan oleh semua pihak agar tidak terjadi kekacauan sosial (social unrest) di negara yang tercinta ini. Dalam keadaan tersebut, munculnya solidaritas bangsa tentu sangat membanggakan, seperti donasi sosial yang menyediakan nasi bungkus gratis bagi tukang ojek, Warung Tegal (Warteg) memberikan makan siang bagi para kaum miskin dan pengumpulan dana di kampus untuk membantu mahasiswa yang kesulitan mendapatkan makanan. Saya termasuk mendapatkan permintaan untuk menyumbang di berbagai lembaga donasi, terutama di lingkungan kampus. Ada sekitar 3 lembaga di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang meminta sumbangan untuk membantu mahasiswa. Ada juga donasi “AYO # SALINGJAGA DENGAN BERDONASI untuk Bantu Kebutuhan Ekonomi Warga Rentan Corona,” yang antara lain dipelopori oleh Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama 2014-2019. Kabarnya sudah lebih dari 300 donatur menyumbangkan dana untuk lembaga ini. Bahkan ada beberapa buruh yang menyumbang secara langsung ke lembaga ini. Semua itu adalah bukti respons cepat dan tanggap terhadap persoalan bangsa yang sedang membutuhkan bantuan.

Saya berpikir sederhana saja, yaitu harus menyumbang semampu saya karena bangsa dan negara sedang “sakit” dan perlu ditolong segera. Ini adalah kesempatan emas untuk membantu negara yang sedang kesulitan. Sebab, selama 30 tahun menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya hidup dan dihidupkan bahkan diberi fasilitas oleh negara. Karena itu, saatnya sekarang saya yang membantu bangsa dan negara yang sedang sakit. Tentu kita harus berterima kasih kepada lembaga-lembaga itu yang telah bersedia mengelola dan menyalurkan dana tersebut kepada yang berhak.

Ada teman saya seorang dosen yang baru sembuh dari sakit berat ikut menyumbang pada lembaga donasi di kampus padahal dia masih sangat membutuhkan dana untuk pengobatan diri sendiri. Saya sangat terenyuh menyaksikan kuatnya solidaritas teman tersebut dan banyak lagi contoh yang seperti ini. Inilah saatnya, urat nadi solidaritas harus ditanamkan, terutama kepada para pejabat tinggi negara dan konglomerat yang notabene harus membalas budi bangsa yang sedang sakit dan memerlukan uluran tangan dari berbagai pihak. Bangsa ini sedang berpacu dengan waktu sebelum penyebarannya meledak, yang tentu golongan yang selama ini menikmati berbagai kemudahan dari negara harus terdepan menjadi pahlawan Covid-19.

Kita sangat malu rasanya dengan para tenaga medis yang terdepan berjuang dan mengorbankan diri mereka untuk membantu para penderita Covid-19. Mereka adalah pahlawan bangsa yang satu sisi sangat dihormati atas pengabdiannya, tetapi satu sisi lain dijauhi oleh masyarakat karena takut tertular Covid-19. Bahkan ada tenaga medis yang diminta pindah oleh pemilik kos karena takut tertular. Artinya, perjuangan mereka tidak hanya fisik dan kompetensi, tetapi juga tekanan mental termasuk tidak bertemu keluarga berminggu-minggu. Tentu rasa empati bangsa ini harus dibangun untuk semua pihak yang sedang berjuang menyelamatkan bangsa dan rakyat yang kehilangan pendapatan karena tidak boleh keluar rumah.

Atas dasar itu, imbauan kepada semua lapisan masyarakat untuk memberikan infak dan sedekah kepada anak bangsa yang memerlukan uluran tangan harus segera dilakukan. Kalau solidaritas ini dimiliki oleh semua lapisan bangsa, terutama para konglomerat, pejabat di berbagai tingkatan, maka tentu kesulitan yang dihadapi oleh bangsa sekarang akan dapat diatasi. Solidaritas dari semua lapisan sangat diperlukan sekarang karena dengan sikap itulah bangsa ini akan tetap bersatu dan mampu mengatasi persoalan menghadapi musibah Covid-19.

Implementasi sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia sedang diuji dengan wabah Covid-19, apakah bangsa Indonesia mampu membuktikan dirinya sebagai Pancasilais sejati atau tidak. Sebab, kalau sekedar menghafal dan mengkampanyekan ideologi Pancasila sangat mudah, tetapi ujian yang terberat adalah pada tataran pelaksanaannya. Pancasila mengetuk hati nurani yang terdalam dari mulai dari para pemimpin, konglomerat, dan kalangan profesional serta semua lapisan masyarakat bersatu untuk menyumbangkan apa saja yang mereka miliki. Hal ini juga yang ditekankan oleh juru bicara Covid-19 Achmad Yurianto yang mengetuk rasa kepedulian orang kaya agar memperhatikan masyarakat miskin secara konkret, contohnya berikan bonus gaji dan lauk pauk kepada sopir dan pembantu rumah tangga agar mereka tetap tinggal di rumah. Dengan demikian mereka terhindar dari paparan Covid-19 dan sekaligus tidak menyebarkan kepada orang lain.

Semoga tulisan mengetuk hati nurani para orang kaya karena negara dan bangsa sedang memerlukan uluran tangan mereka. Contohlah bangsa Jerman dan Turki dengan sukarela para orang kaya membelikan kebutuhan pokok bagi kaum miskin dan meletakkan di tempat-tempat umum yang mudah dijangkau mereka. Sebab, kita sadar sumbangan dan bantuan dari para pegawai negeri dan dosen sangat terbatas dan tidak memberi dampak yang signifikan bagi penanggulangan Covid-19 secara lebih menyeluruh dan tuntas. Atas dasar itu, ternyata Covid-19 menuntut kita harus menjaga jarak secara fisik, tetapi merekatkan dan mendekatkan persatuan kita secara non-fisik, yaitu terbangunnya solidaritas kebangsaan, semoga.

Amsal Bakhtiar (Profesor Filsafat Islam pada Pascasarjana UIN Jakarta)

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat