Opini

LHS dan Moderasi Beragama

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (foto: Uud/MCH2019)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (foto: Uud/MCH2019)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Beragama Kementerian Agama. Pada saat yang sama, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Internasional (The Internasional Year of Moderation).

Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa LHS merupakan ikon dari gerakan moderasi beragama di Indonesia saat ini. Meski atas perintah Presiden Jokowi, tetapi LHS melangkah dengan cepat dan konkrit untuk menyebarluaskan "paham" moderasi beragama ini. Selama empat tahun belakangan, LHS cukup serius menyuarakan pentingnya moderasi beragama di Indonesia.

Sebagai Menteri Agama, LHS memerintahkan untuk menjadikan jargon moderasi beragama sebagai ruh dan kata kunci yang harus menjiwai seluruh program pelayanan agama dan keagamaan di kementerian yang dipimpinnya.

LHS menyerukan agar moderasi beragama menjadi arus utama dalam corak keberagamaan masyarakat Indonesia. Alasannya jelas, dan tepat, bahwa beragama secara moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama di Indonesia, dan lebih cocok untuk kontur masyarakat kita yang majemuk. Beragama secara moderat adalah model beragama yang telah lama dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang.

Apalagi belakangan ini, keragaman Indonesia sedang diuji, dimana sikap keberagamaan yang ekstrem diekspresikan oleh sekelompok orang atas nama agama, tidak hanya di media sosial, tapi juga di jalanan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan dunia sedang menghadapi tantangan adanya kelompok masyarakat yang bersikap eksklusif, eskplosif, serta intoleran dengan mengatasnamakan agama.

Maka, menurut LHS, moderasi beragama harus diejawantahkan dan bahkan dilembagakan dalam sistem dan struktur kerja satker-satker di Kementerian Agama agar ruhnya tidak melekat pada diri seorang Menteri Agama belaka, karena sepanjang keberadaannya, Kementerian Agama akan terus mendapatkan amanah untuk mengelola kehidupan keagamaan di Indonesia.

Maka, untuk saat ini dan ke depannya, gerakan moderasi beragama yang diusung oleh Menag LHS menemukan momentumnya. Framming moderasi beragama penting dalam mengelola kehidupan beragama pada masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural.

Untuk mendukung program itu, LHS pun menginstruksikan penulisan buku Moderasi Beragama sebagai pedoman bagi satker pada Kementerian Agama untuk memasarkan gagasan ini di tengah masyarakat. Bagi Kementerian Agama, moderasi beragama kian penting untuk dipromosikan karena Kementerian Agama memiliki misi agar agama dipahami dan diamalkan oleh seluruh bangsa dengan paham dan bentuk pengamalan yang moderat.

Mengapa Harus Moderat?
Menurut LHS, moderasi beragama adalah sebuah jalan tengah dalam keberagaman agama di Indonesia. Moderasi artinya moderat, lawan dari ekstrem. Menurut LHS, dalam memahami teks agama saat ini terjadi kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub ekstrem. Satu kutub terlalu mendewakan teks tanpa memperhatikan sama sekali kemampuan akal/nalar.

Teks kitab suci dipahami lalu kemudian diamalkan tanpa memahami konteks. Beberapa kalangan menyebut kutub ini sebagai golongan konservatif. Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya, yang sering disebut kelompok liberal, terlalu mendewakan akal pikiran sehingga mengabaikan teks itu sendiri.

"Jadi terlalu liberal dalam memahami nilai-nilai ajaran agama juga sama ekstremnya," tulis LHS dalam pengantar buku Moderasi Beragama yang ditulis oleh tim dari Convey-PPIM UIN Jakarta dan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Menariknya, ternyata semua agama yang diakui di Indonesia juga mengenal ajaran moderasi beragama. Dalam Islam misalnya, terdapat konsep washatiyah, maka dalam tradisi Kristen ada konsep "golden main". Agama Buddha juga mengajarkan konsep jalan tengah, dikenal dengan Majjima Patipada. Demikian halnya dalam tradisi Agama Konghucu ada konsep Chung Yung. (Moderasi Beragama, Convey-PPIM UIN Jakarta dan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama).

Semua istilah itu mengacu pada satu titik makna yang sama, yakni bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, dan tidak berlebih-lebihan, merupakan sikap beragama yang paling ideal.

Dalam agama Katolik, meski tidak akrab dengan istilah moderat, tapi agama Katolik terbuka dengan perbedaan, tidak mengklaim sebagai yang paling benar, yang sesungguhnya hal ini merupakan ciri dan karakteristik agama yang moderat.

Moderasi agama di kalangan umat Hindu sudah terjadi sejak waktu yang tidak bisa dihitung lamanya. Saking panjangnya waktu sehingga tidak semua moderasi itu bisa dilacak keberadaannya. Yang jelas, umat Hindu selalu mengadaptasi ajaran-ajaran agamanya sebagai bentuk moderasi.

Program Bimas Islam Dalam Bingkai Moderasi Beragama

Untuk melaksanakan instruksi Menag LHS agar menjadikan jargon moderasi beragama sebagai ruh dan kata kunci yang menjiwai seluruh program pelayanan agama dan keagamaan, Ditjen Bimas Islam pun telah menetapkan program-program yang dibingkai oleh moderasi beragama.

Terdapat lima unit eselon 2 pada Ditjen Bimas Islam yang siap melaksanakan program moderasi beragama yang dimulai pada tahun 2019, seperti coaching clinic penulisan naskah Islam Moderat, bina moderasi Islam bagi generasi milenial, diseminasi naskah/buku Moderasi Islam, konsinyering moderasi Islam bagi penerbit, lomba karya tulis ilmiah bagi penghulu dengan uang salah satu temanya adalah moderasi beragama, pengembangan literasi zakat wakaf, pembuatan film dokumenter seni budaya Islam dalam perspektif Islam moderat, penguatan kader mubaligh nasional dan masih banyak kegiatan lainnya yang arahnya pada penyebarluasan moderasi beragama ini.

Kita berharap moderasi beragama adalah solusi dari ekspresi keberagamaan yang problematik selama ini. Karenanya, moderasi beragama tidak berhenti pada saat LHS menjabat sebagai Menteri Agama, tetapi moderasi beragama dilembagakan secara permanen sehingga ia selalu ada ketika dibutuhkan. Semoga!

Insan Khoirul Qolbi (Penulis adalah Pelaksana pada Ditjen Bimas Islam)

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat