Opini

LHS, Moderasi Beragama, dan Soft Diplomacy

Gong moderasi beragama telah ditabuh Menag Lukman Hakim Saifuddi (LHS). Kemenag melaunching buku berjudul sama (Moderasi Beragama), pada 8 Oktober 2019 di Jakarta. Applause panjang dan meriah diberikan oleh banyak pihak atas terbitnya buku ini.

Melalui momentum itu, Kementerian Agama di bawah kepemimpinan LHS seakan ingin menegaskan bahwa Indonesia seharusnya speak-out dan speak-up tentang Moderasi Beragama sesering mungkin, kapan pun, dan di mana pun.

Selama kepemimpinannya, LHS memang menyuarakan dengan lantang perlunya semua pihak mempraktikkan moderasi beragama. Moderasi beragama adalah pilar penting dari identitas kebangsaan yang harus dijaga. NKRI tidak akan pernah ada tanpa moderasi beragama. Founding father kita berjuang dengan darah dan keringat berdasarkan spirit moderasi.

Munculnya gagasan yang digaungkan LHS tersebut sebenarnya tidak datang tiba-tiba, tetapi melalui proses dialektika yang panjang, diskusi, studi komparasi, kontemplasi, interaksi, internalisasi, dan lain-lain. Hingga pada titik kulminasinya, ide moderasi beragama yang diusung LHS dijadikan landasan teknokratik Bappenas setelah melalui proses yang rumit dalam RPJMN 2020-2024. Artinya, kosep moderasi beragama menjadi pijakan mendasar bagi pembangunan nasional, dan ini baru kali pertama dalam sejarah.

Atas fenomena itu lalu oleh sebagian orang, LHS dijuluki sebagai "Bapak Moderasi Beragama". Ini senyawa dengan julukan yang dilekatkan pada Gus Dur sebagai "Bapak Pluralisme". Tentu bukan hal yang mengherankan karena di dalam diri LHS mengalir deras darah moderasi dari ayahanda, KH Saifuddin Zuhri, sekaligus sebagai pengagum sosok dan pengamal ajaran Gus Dur. Menurutnya, saat dunia luar sudah mengakui "kehebatan" Indonesia dalam pengamalan ajaran agama dengan corak jalan tengah (wasathiyah), kenapa kita mesti ragu-ragu atau malu-malu mendeklarasikannya dengan tegas, terang, dan berkesinambungan.

Bagi LHS, menyikapi hidup ini membutuhkan cara-cara moderat. Kita tidak bisa "hidup nyaman" jika memilih salah satu dari dua kutub ekstrim. Moderasi adalah keniscayaan hidup sebagai fitrah manusia. Tidak ada agama yang mengajarkan hidup secara berlebihan. Manusia dicipta oleh Tuhan sengaja ditempatkan pada "porsi tengah" antara kutub malaikat dengan kutub iblis. Itulah kenapa Tuhan memilih manusia sebagai khalifah di bumi.

Soft Diplomacy

Banyak cara bagi sebuah negara dalam menjalin kerja sama bilateral maupun multilateral, baik melalui hard diplomacy maupun soft diplomacy. Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan. Hanya saja, pendekatan hard diplomacy lebih banyak melahirkan efek negatif bagi tatanan dunia.

Sejarah telah mencatat terhadap dampak hard diplomacy bagi kemanusiaan. Perang dunia I dan II, perang Teluk I dan II, perang kontra terorisme pimpinan Amerika pasca pengeboman gedung WTC, dan lain-lain adalah bukti bahwa hard diplomacy telah memakan banyak korban. Bahkan yang jauh lebih penting, bahwa pendekatan itu hampir bisa dibilang telah melenceng dari tujuan utama ber-diplomacy. Berapa banyak manusia mati sia-sia, berapa banyak harta dan kekayaan alam rusak atau hancur, dan berapa banyak efek dari cara ini telah menimbulkan persepsi dan keyakinan yang diwujudkan dalam bentuk dendam yang tak berkesudahan.

Kini, tatanan dunia telah berubah sangat cepat. Banyak negara mulai sadar tidak lagi memamerkan kekuatan militernya untuk mempengaruhi negara lain untuk mencapai tujuan nasionalnya. Tidak terkecuali Amerika yang belakangan ini mulai mengurangi cara-cara kekerasan. Ketegangan dengan Korea Utara akhir-akhir ini mulai mencair. Donald Tramp dan Kim Jong Un setidaknya sudah dua kali bertemu. Demikian juga halnya, Amerika nampak tidak mau ambil risiko dengan hard diplomacy saat menghadapi Iran yang dianggap berulah.

Fakta ini menunjukkan adanya tata dunia baru. Cara-cara penyelesaian militer (hard diplomacy) mulai ditinggalkan, atau setidaknya dikurangi. Para pemimpin dunia nampak mulai jenuh dengan model pendekatan kuno yang dampaknya bisa berujud perang fisik yang memakan banyak korban. Perang fisik adalah cara-cara jadul (old) yang menimbulkan trauma mendalam dalam jangka panjang bagi banyak pihak.

Kini muncul kecenderungan umum melalui pendekatan baru, yakni soft diplomacy. Apa yang dimaksud dengan soft diplomacy atau soft power? Joseph S. Nye Jr. dalam bukunya yang berjudul: Soft Power (The mean to Success in World Politics) menyebutkan:

"Soft power is the ability to get what you want through attraction rather than coercion or payment. It arises from the culture, political ideals, and policies." (soft power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan melalui daya tarik tanpa paksaan atau pembayaran. Hal tersebut muncul dari (keunggulan) budaya, cita-cita politik, dan kebijakan sebuah negara).

Dewasa ini banyak negara berlomba menancapkan pengaruhnya di negara lain dengan mengandalkan budaya, ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi-nya. Sebagai contoh adalah Amerika Serikat. Selain terkenal dengan kekuatan militernya yang hebat dan senjata yang canggih, AS juga dikenal dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Salah satu bentuknya melalui industri film yang merajai dunia, yakni Hollywood.

Film-film produksi Hollywood menjadi media efektif untuk menyebarkan pengaruh Amerika di dunia. Film-film berjudul seperti Rambo dan semacamnya, misalnya, telah berhasil membangun citra kehebatan Amerika di mata publik internasional. Selain AS, ada juga Jepang, Korea Selatan, China, dan lain-lain yang saat ini sedang gencar-gencarnya "menjual" produk-produk budayanya. Sementara kita justru hanya sebagai "konsumen" atau penikmat budaya mereka.

Cara ini memang terbilang lebih efektif untuk menancapkan pengaruh suatu negara ke negara lain. Tentu, sebagai negara berdaulat yang memiliki karakteristik budaya dengan nilai-nilai luhur, seharusnya kita juga mampu "menancapkan" pengaruhnya di level dunia. Indonesia adalah negara besar dengan sejarah panjang yang sarat akan keunggulan nilai-nilainya (full-values). Indonesia juga sebagai bangsa yang kaya akan wisdom yang bisa ditularkan melalui soft diplomacy (soft power) untuk memantapkan posisinya di kancah dunia.

Dalam konteks hubungan internasional jelas terbuka lebar bagi Indonesia untuk menggunakan trend diplomasi terkini. Pembahasan soft power telah mengantarkan diskursus tentang soft diplomacy di tingkat internasional. Hal ini dapat menjadi sebuah penanda atau momentum bergesernya kecenderungan masyarakat internasional untuk optimalisasi upaya diplomasi sebagai pencegahan terhadap penyelesaian konflik internasional atau penyebaran pengaruh negara.

Di sinilah idealitas konsep "Moderasi Beragama" yang dipraktikkan Indonesia dengan segudang kekhasannya dapat dijadikan media soft diplomacy di tataran dunia. Jika kita lihat, banyak negara dengan mayoritas berpenduduk muslim menghadapi kendala serius dalam mengelola keragaman warganya. Mereka rata-rata "gagal" dalam mendialogkan antara urusan negara dengan agama. Sementara Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim dengan jumlah terbesar di dunia telah berhasil tegak berdiri melalui bangunan nation-state yang dipayungi Pancasila dan UUD 1945.

Konsep Moderasi Beragama yang diusung Menag LHS telah mendapat sambutan "wow" dari banyak kalangan. Tak terkecuali dari kalangan atau kelompok kanan sekalipun. Mereka melihat bahwa konsep moderasi beragama LHS betul-betul dibutuhkan oleh bangsa ini. Lalu apa buktinya Moderasi Beragama bisa menjadi media efektif untuk diplomasi di dunia internasional?

Pertama, kondisi sosial politik internasional pasca pengeboman gedung WTC di NY dan perang panjang melawan gerakan terorisme hingga saat ini belum berakhir. Bahkan program-program deradikalisasi yang digaungkan oleh kekuatan negara di dunia tidak betul-betul tuntas atau habis.

Program deradikalisasi justru membuat arus balik dengan munculnya gerakan-gerakan radikal baru secara sporadis dan latin. Apalagi dengan kecanggihan teknologi informasi seperti saat ini, dimana penyebaran paham radikalisme justru terus tumbuh bak jamur di musim hujan. Lalu muncullah kesimpulan jika narasi-narasi deradikalisasi perlu diubah menjadi narasi-narasi moderasi beragama yang lebih positif.

Secara psikologis, gerakan deradikalisasi memang berpotensi menimbulkan perlawanan karena polanya berbentuk "judgemental" terhadap kelompok-kelompok tertentu yang akhirnya menimbulkan warisan dendam yang tak berkesudahan. Apalagi jika pendekatannya keamanan yang lebih banyak represif. Sementara konsep Moderasi Beragama lebih memuliakan sesama meski beragam dengan menggelorakan pendekatan jalan tengah. Pola ini dapat diusung untuk kepentingan diplomasi antar negara dan terbukti efektif dalam membangun relasi dengan negara lain.

Kedua, belakangan ini Kementerian Luar Negeri telah menjadikan Moderasi Beragama sebagai salah satu pendekatan penting dalam membangun hubungan Indonesia dengan negara lain, khususnya di negara di kawasan Timur Tengah. Dalam lingkup negara di kawasan ASEAN, selama ini telah terjalin hubungan yang dekat antara Indonesia dengan para anggota. Beberapa negara bisa disebut seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Philipina banyak yang mengirimkan warga negaranya belajar di lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya pesantren dan perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Juga di antara negara ASEAN telah terjalin kerjasama dalam bentuk pengiriman muballigh, dosen, guru agama Islam, qari-qariah, dan lain-lain. Bahkan presiden Philipina, Duterte, telah meminta Indonesia agar dapat membantu Philipina dalam mengembangkan pendidikan Islam dengan konsep Islam Wasathiyah. Mereka sangat berharap kepada Indonesia dapat memberikan kontribusi positif bagi warga negara muslim di negara tersebut sehingga dapat meminimalisir gerakan Islam garis kanan yang sering memicu kekerasan. Bahkab saat ini sedang disusun MoU Indonesia-Philipina, yang sedang ditangani oleh Ditjen Pendidikan Islam bersama dengan Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri.

Ketiga, negara-negara di kawasan Timur Tengah sangat tertarik dengan konsep moderasi beragama Indonesia, sebut saja seperti Irak, Mesir, dan Suriah. Juga negara Asia Selatan, Afganistan, yang beberapa kali perwakilan ulamanya datang ke Indonesia untuk belajar kepada negeri ini bagaimana mengelola negara agar rukun, damai, dan tetap bersatu dalam perbedaan. Tidak kurang negeri beruang putih, Rusia, juga mengakui keunggulan pola keberagamaan Indonesia. Mereka kagum kepada Indonesia yang mampu menyandingkan demokrasi dengan agama.

Pada akhir September 2019 ini juga kerjasama bilateral antara Indonesia dengan Tunisia telah terjalin, dimana salah satu isu pentingnya adalah promosi moderasi beragama. Kedua negara sepakat masing-masing akan mengirimkan expert bidang agama. Yang sudah lama terjalin kerjasama terkait isu ini adalah Indonesia dengan Mesir, Indonesia dengan Emirat Arab, dan lain-lain.

Poin pokok dari artikel ini adalah bahwa isu Moderasi Beragama dapat dijadikan "senjata" diplomasi tingkat dunia dimana Indonesia menawarkan daya tarik budaya dan wisdom yang sarat nilai-nilai luhur. Dengan Moderasi Beragama Indonesia telah menjadi negeri yang rukun, damai, dan harmonis. Saatnya kita meneguhkan tekad cara beragama secara adil dan berimbang untuk tatanan dunia yang lebih baik. Wallahu a'lam.

Thobib Al-Asyhar (Kabag Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Agama, Dosen pada Studi Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia).

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan