Daerah

M Zain: Penerjemahan Alquran ke Dalam Bahasa Daerah  Dorong Literasi Keagamaan Masyarakat Meningkat

Kapuslitbang Lektur M Zain (tengah). foto: humas

Kapuslitbang Lektur M Zain (tengah). foto: humas

Jakarta (Kemenag) -- Kementerian Agama (Kemenag) melalui Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat terus mendorong peningkatan literasi keagamaan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui penerjemahan Alquran ke dalam bahasa daerah.

“Hingga saat ini, Alquran telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa daerah, ditambah satu terjemahan ke dalam bahasa Mandar yang sedang dilakukan oleh tim Balai Litbang Agama Makassar,” ujar Kapus Puslitbang Lektur Muhammad Zain di Jakarta, Senin (19/09).

“Menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa daerah memiliki tujuan sangat penting. Sebagaimana pesan leluhur kita agar selalu mendekatkan Alquran kepada umat. Bahasa daerah adalah gerbangnya, sebab bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang memiliki cita rasa berbeda dengan bahasa Indonesia saat dibaca,” kata Zain.

Selain itu, lanjutnya, tentu karena tidak semua orang daerah paham dengan bahasa Indonesia. Dengan bahasa ibu, mudah-mudahan masyarakat akan semakin dekat dan lebih bisa memahami Alquran.

Dari sisi proses, ia menjelaskan, penerjemahan Alquran dilakukan dalam kurun waktu dua tahun. Diawali dengan membuat nota kesepahaman (MoU) yang melibatkan pihak kampus atau lembaga yang akan melakukan penerjemahan Alquran, setelah itu dilanjutkan dengan proses penerjemahan selama satu tahun.

“Tahap berikutnya adalah validasi terjemahan Alquran dengan menghadirkan berbagai pakar termasuk pakar bahasa, pakar tafsir Alquran, dan budayawan untuk bersama-sama melakukan pencermatan dan mengoreksi substansi terjemahan tersebut,” ucap Zain.

Zain menambahkan, proses penerjemahan Alquran ke dalam bahasa daerah merujuk ke tafsir-tafsir mu'tabar seperti tafsir al-Tabari, tafsir al-Qurthubi, tafsir al-Jalalain, tafsir Ibnu Katsir, dan tafsir klasik lainnya.

“Tentu tafsir ulama kontemporer juga menjadi referensi, seperti Tafsir Al-Azhar Buya Hamka, Tafsir dan Terjemahnya Kementerian Agama, Tafsir al- Furqan, A.Hassan, Tafsir al- Mishbah Prof Quraish Shihab. Setelah membaca tafsir-tafsir tersebut hingga menemukan makna yang tepat dari sebuah ayat Alquran, baru disesuaikan dengan bahasa daerah. Artinya, penerjemahan tidak sekedar mengalihbahasakan dari Indonesia ke bahasa daerah,” tambahnya.

Mengapa demikian, sambung Zain, karena kosa kata bahasa Arab sangat kaya, perlu merujuk ke tafsir dalam mencari setiap padanan kata, disamping harus pula mengikuti standar operasional prosedur Kemenag dalam menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa daerah.

Menurutnya, menerjemahkan Alquran ke bahasa daerah merupakan program prioritas juga sebagai upaya Kemenag melestarikan bahasa daerah, jika tidak, maka akan punah.

Ia mengungkapkan, hilangnya bahasa bukan sekedar hilangnya kata, tetapi hilangnya nilai-nilai yang terkandung dalam kata itu.

“Ke depan, diharapkan Alquran terjemahan bahasa daerah bisa dibuat versi digitalnya sehingga jangkauannya semakin luas, tentu ini bagian dari solusi atas terbatasnya distribusi versi cetakan. Semua ini bagian dari upaya kita untuk terus meningkatkan literasi keagamaan masyarakat,” imbuhnya

Zain menjelaskan, hingga saat ini telah diterjemahkaan Alquran dalam bahasa Aceh, Batak Angkola, Minang, Palembang dan Sunda. Selain itu terjemahan dalam bahasa Jawa Banyumasan, Osing atau Jawa Banyuwangi, Dayak, Bugis, Madura, Sasak, Kaili, Mongondow, Melayu, Ambon dan lain-lain. “Semoga ini terus berlanjut,” tandasnya.

Daerah Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua