Nasional

MELY G TAN: UU ANTI DISKRIMINASI AGAMA DAN GENDER PERLU DIPIKIRKAN

Jakarta, 15/02 (Pikda) - Pakar ilmu-ilmu sosial yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mely G. Tan mengatakan, DPR perlu memikirkan pembuatan undang-undang anti diskriminasi agama dan gender kalau UU anti diskriminasi ras dan etnis dirasa belum cukup. "DPR perlu mengklarifikasi apakah masalah anti diskriminasi agama dan gender perlu juga dimasukkan dalam penyusunan UU anti diskriminasi ras dan gender," katanya, di Gedung DPR, Rabu.Berbicara di depan anggota Pansus RUU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis, Mely mengatakan UU anti diskriminasi terhadap kelompok minoritas juga perlu dipikirkan. "Apakah diperlukan UU yang memayungi semua masalah itu, DPR perlu mengklarifikasi atau memastikannya," katanya.Menurut Mely, yang terpenting dalam pembuatan UU adalah penerimaan masyarakat. "Hanya buang-buang dana jika UU itu tak diterima oleh masyarakat," katanya.Ketika ditanya salah seorang anggota Pansus mengenai penggunaan istilah "Cina" dan "Tionghoa", Mely mengatakan kedua kata itu tidak menjadi masalah bagi dirinya. "Untuk saya pribadi, terserah. Pakai `Cina`, `Tionghoa` boleh, asal tidak ada pemaksaan. Jangan untuk maki-makian," katanya.Mely mengatakan, untuk generasi yang lebih muda, yang hidup di masa rezim Soeharto dan hanya mengenal kata "Cina", penggunaan kata "Tionghoa" tidak lazim. "Mereka tahunya `Cina`," katanya.Penggunaan istilah "pribumi" dan "non-pribumi", menurut Mely, tetap bisa digunakan untuk kepentingan penelitian. "Sampai sekarang sebagai peneliti saya menggunakan istilah `pribumi` -`nonpribumi`," katanya.Mely mengatakan, konflik etnis yang terjadi sesudah reformasi terjadi antara sesama "pribumi", yaitu etnis Madura melawan "Dayak"."Ini karena soal perasaan ketidakadilan," katanya.Dalam kesempatan tersebut, hadir juga sebagai narasumber pakar hukum Loeby Luqman. Dia mengatakan sejak dulu sudah ada kesepakatan bahwa yang ada hanya satu bangsa yaitu Indonesia. " Ini yang kita pegang," katanya.Meskipun ada satu bangsa, bahasa dan tanah air yaitu Indonesia, tapi dalam kehidupan sehari-hari terdapat perbedaan budaya, katanya.Menurut dia, pelanggaraan atas UU anti diskriminasi etnis dan ras tak perlu dikenai sanksi pidana. "Sanksi pidana diberikan kalau tindakan yang lain-lain tidak bisa lagi dilakukan," katanya.Menurut dia, mereka yang masuk dalam golongan eksklusif dan suka melakukan tindakan eksklusif sebaiknya diberi arahan untuk tidak melakukan tindakan seperti itu.UU anti diskriminasi etnis dan ras tak perlu diperluas dengan memasukkan masalah anti diskriminasi gender dan agama. "Biarkan UU itu soal ras dan etnis saja," katanya.Soal anti diskriminasi gender, katanya, bisa saja masuk dalam UU hak asasi manusia.Loeby mengatakan saat ini belum ada sinkronikasi hukum sehingga meskikup KUHP sudah mengatur soal penyiksaan, Departemen Luar Negeri juga membuat UU anti penyiksaan sebagai pelaksanaan atas diratifikasinya Konvensi Internasional mengenai Anti Penyiksaan.(Ant/myd)
Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua