Opini

Memahami 'Keanehan' Nalar Santri

Nalar kaum santri akhir-akhir banyak disoroti. Ada yang kagum, tapi banyak juga yang gak paham lalu "menyerang" nalar santri. Mereka yang mengagumi nalar santri umumnya tidak menyangka bahwa komunitas yang hidup di luar arus kebudayaan besar modernitas itu (sub-culture) pemikirannya lebih inklusif. Sementara yang tidak paham dan lalu menyerang pada umumnya menganggap nalar santri di luar kewajaran pemikiran biasa.

Kenapa terjadi demikian? Ada 2 pendekatan untuk memahami fenomena itu. Pertama, santri dan kiai untuk menjaga kelangsungan (sustainable) pesantren telah memposisikan diri hidup di luar kebiasaan masyarakat. Seperti dalam tampilan dan gaya hidupnya. Tetapi kedudukannya dalam sub-culture arus besar masyarakat itu bukan karena ingin berkarakter eksklusif. Mereka hanya ingin berproses menjadi pribadi yang humanis--atau dalam agama disebut insan kamil- yang rame ing gawe, sepi ing pamrih.

Santri-kiai sudah melampaui sifat-sifat dan kepribadian penganut agama umumnya (ahl al-din). Seseorang yang baru sampai level ahl al-din biasanya lebih berpikir formalis dan bersikap fanatik. Diibaratkan penyayang tanaman, ahl al-din cenderung pada rerimbunan dahan dan batang tanaman.

Sementara santri-kiai berpikir --dengan khususiyah (sub-culture)nya: untuk apa memelihara tanaman kalau tidak ada buahnya? Dengan demikian, penampilan, gaya hidup, dan nalar santri-kiai yang tidak seperti umumnya masyarakat semata-mata karena lebih fokus kepada manfaat (tsamrah/buah) daripada sekedar rupa dan bentuknya semata.

Kedua, santri-kiai terikat dalam model jaringan patron-klien. Tapi bukan dipahami sebagai hubungan pemanfaatan, melainkan untuk memperkuat jaringan. Santri berkhidmat kepada kiai semata-mata untuk menjaga kelangsungan tradisi. Diibaratkan pohon kurma, bisa jadi ditanam lalu tumbuh berkembang sendiri. Akan tetapi sampai kapanpun pohon kurma yang ditanam hanya sebatang tak akan berbuah terkecuali jika ditanam di antara pohon kurma yang lain.

Seseorang bisa saja belajar, berpendapat atas nama pribadi tanpa guru dan kiai. Hanya saja penggunanya tak akan sama dibandingkan dengan santri yang berguru sebab hubungan santri-kiai itu seperti barisan pohoh yang saling melengkapi. Patron-klien itu seperti perkawinan silang dan penyerbukan antar pohon kurma sampai berbuah. Buah itu dalam pesantren disebut ilmu yang barokah --lebih dalam maknanya dibandingkan dengan ilmu yang manfaat.

Barokah berarti makin bertambah kegunaannya (ziyadat al-khair). Sedangkan manfaat sebatas hanya berguna yang ditentukan dengan takaran dan cadangan sumbernya. Jika cadangannya habis maka kegunaannya pun habis. Sementara barokah, seperti pohon: sekalipun batangnya sudah kering tapi karena berbuah, bijinya melahirkan tunas baru yang tumbuh dan berbuah, begitu seterusnya.

Jadi, nalar santri-kiai sangat sustainable dibandingkan cendekiawan lainnya. Apalagi dalam membangun intelektualisme pesantren terdapat jaringan keulaman dan sanad keilmuan. Hal itu berarti di balik kuatnya mata rantai keulaman pesantren terdapat dinamisasi nalar berpikir santri-kiai. Kebetulan, tidak semua khalayak paham sehingga mereka punya kesimpulan: nalar santri itu aneh!

M. Ishom el-Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Kolom Lainnya Lihat Semua