Opini

Membumikan Budaya Berkelanjutan dalam Pendidikan 

Saiful Maarif

Saiful Maarif

Problem lingkungan hidup terasa makin serius. Banjir besar di Jakarta dan sekitarnya pada awal tahun 2020 ini menandai pengelolaan lingkungan yang bermasalah. Terlepas dari problem alam yang mewarnai, kesadaran untuk menghargai lingkungan masih menemui berbagai kendala serius. Salah satu pihak yang perlu mengambil peran adalah dunia pendidikan.

Pada dunia pendidikan, kesadaran untuk menumbuhkembangkan budaya berkelanjutan (circular culture) penting untuk dibumikan, bukan sekedar pengenalan dan hafalan konsep semata. Misalnya, problem penggunaan plastik adalah salah satu masalah lingkungan yang terkait budaya karena terkait dengan hajat hidup sehari-hari. Saat ini kita bukan hanya masih sebagai pengguna plastik, tapi juga selaku pengimpornya. Kasus penggunaan sampah plastik di Sidoarjo belum lama ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es.

Di luar itu, degradasi lingkungan mendapat sorotan tajam dari banyak pihak. Para aktivis lingkungan bahkan menilai kerusakan lingkungan di Indonesia sudah sampai tahap memprihatinkan. Sengkarut industri ekstraktif dalam bidang minerba, sawit, kehutanan dan lainnya, terkait erat dengan penurunan kualitas sumber daya alam. Tak lain, tindakan ini karena orang dan dunia industri cenderung bersikap linear dalam menjalankan ekonomi dan bisnis. Sikap linear menempatkan pemanfaatan sumber daya alam dalam relasi ambil-pakai-buang sebagai sampah.

Pada saat yang sama, alam semakin kepayahan dalam menerima buangan sampah. Para ahli lingkungan menyebutkan, saat ini ada sekitar 150 juta ton sampah plastik di lautan dunia. Jika ini dibiarkan, pada 2050 sampah-sampah tersebut akan berjumlah lebih banyak dari ikan. Sebelum sampai tahun itu, apa sebenarnya yang kita makan sebagai ikan laut dengan kondisi resiko paparan plastik demikian besar?

Sejauh ini, sektor daur ulang atas problem sampah dinilai masih banyak menemui kendala. Diyakini secara luas, sampah plastik yang terdapat di lapangan menyisakan 80% di antaranya yang tidak bisa didaur ulang. Dalam kondisi demikian, dukungan pemerintah juga terkendala dalam penganggaran dan pembiayaan pengelolaan sampah. Bank Dunia mencatat, alokasi APBD sebesar 5-6 dollar per kapita per tahun, jauh dari patok duga (benchmark) internasional sebesar 15-20 dollar (per kapita per tahun).

Sebagai bagian dari solusi atas problem lingkungan hidup, pemerintah telah menjalankan program ekonomi berkelanjutan (circular economy). Secara mendasar, ekonomi berkelanjutan berangkat dari ide untuk mengurangi jumlah sumber daya alam yang diekstraksi dari bumi dan menggunakan sumber daya alam itu secara lebih efisien. Langkah yang ditempuh adalah dengan mengelola sumber daya alam itu dengan lingkaran produksi agar bertahan lebih lama. Jika dilihat lebih jauh, ekonomi berkelanjutan (circular economy) menawarkan gambaran dan keyakinan baru dalam beberapa hal.

Pertama, ekonomi berkelanjutan mengingatkan kembali bahwa alam sudah penuh dengan sampah, maka pendekatan berkelanjutan sangat diperlukan. Pendekatan ini menempatkan apa yang menjadi barang gunaan dapat dipergunakan kembali.

Disadari, pada akhirnya barang gunaan tetap akan menjadi sisa setelah masa guna pakai yang berulang karena penyusutan daya dukung untuk pemakaian dan sebagainya. Langkah ini seperti upaya memberi nafas yang lebih panjang bagi alam untuk tidak langsung dibebani sampah.

Kedua, ekonomi sirkular memberi skala baru dalam pemanfaatan barang yang menjadi sampah atau sisa. Ekonomi berkerlanjutan diyakini bukan hanya memberi nilai kapital pada sampah dan barang buangan, tapi akan membuka lapangan pekerjaan baru terkait perspektif 5R (Reduce, Reuse, Recycle, Recovery, dan Repair).

Dalam the ecology of commerce (2003), Paul Walken menekankan pentingnya kesadaran korporasi tentang kesadaran lingkungan. Profit perusahaan tentu saja penting, tapi yang lebih fundamental adalah penghargaan terhadap lingkungan. Tak ada artinya segala keuntungan tersebut tanpa adanya penghargaan terhadap lingkungan.

Ketiga, ekonomi berkelanjutan mengedepankan efekifitas dan efisiensi dalam konsumsi barang gunaan. Dengan daya dukung alam yang makin menipis terhadap sampah, efektifitas barang gunaan menjadi bagian yang harus diperhatikan sepenuhnya. Ekonomi berkelanjutan mendedah kesadaran bersama bahwa sudah saatnya mengurangi penggunaan barang yang pada akhirnya akan menjadi sampah sepenuhnya.

Ekonomi berkelanjutan terkait dengan cara pandang melihat dan mengelola alam. Dengan asumsi demikian, memandang dan mengelola alam bukan hanya ranah dunia industri, tapi juga individu. Dalam konteks ini, pelibatan dunia pendidikan menjadi penting.

Dengan menyentuh ranah budaya, ekonomi berkelanjutan terkait erat dengan dunia pendidikan. Pada ranah pendidikan, kesadaran siswa dapat dipupuk dari dini agar memiliki karakter yang kuat dalam menyadari makna penting budaya berkelanjutan dalam mengelola alam pada keseharian mereka.

Pada ranah pendidikan, perspektif keekonomian dan budaya berkelanjutan harus ditumbuhkembangkan sebelum alam dan lingkungan hidup tak mampu lagi memberi kompromi dalam bentuk dukungan alami yang diberikan selama ini.

Dengan misi sepenting ini, dukungan terhadap dunia pendidikan harus diberikan maksimal. Kesadaran tentang budaya berkelanjutan tidak lagi bisa dicukupkan dengan regulasi yang tidak berjalan optimal atau tidak integratif. Regulasi tentang budaya lingkungan tidak lagi cukup dengan mengandalkan Program Adiwiyata dari Kemen KLH dan Permendikbud tentang Pendidikan Karakter.

Pada para siswa perlu terus ditanamkan kesadaran untuk berpikir dan mengembangkan budaya berkelanjutan dan dimulai dari hal-hal kecil, misalnya pemberian tugas kriya yang mengedepankan fungsi bahan gunaan dan hasil yang bisa dipakai berulang. Pada pola pikir siswa juga penting ditanamkan dan dipraktekkan pengelolaan sampah yang bisa didaur ulang dan menjalankan prinsip go green dalam keseharian mereka. Pengetahuan yang diitanamkan di sekolah dan praktek yang telah dijalankan sehari-hari diharapkan mampu mewarnai diri dan lingkungan begitu mereka berkumpul dan bersosialisasi dengan warga.

Lebih jauh, kurikulum perlu disesuaikan untuk merespon perkembangan ekonomi berkelanjutan dengan jalan membangun semangat dan desain pemelajaran yang mengarah pada pemanfaatan ulang barang dan produk yang hendak dikreasi. Perlu ditanamkan kesadaran pada siswa bahwa era sirkular akan datang tanpa bisa dihindari.

Contohnya, Teresa Domenech, dewan direktur UCL’s Circular Economy Lab London, belum lama menyatakan bahwa pada saatnya bisa jadi upgrade smartphone bukan dengan cara membeli unit baru smartphone, melainkan berdasarkan sewa pada penyedia jasa. Hal ini dilakukan untuk mengurangi menurunnya kualitas lingkungan karena menumpuknya sampah gawai di berbagai belahan dunia.

Dalam ranah pendidikan, kita mengenal Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). PLH diletakkan sebagai bagian dari Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.

Selain itu, penghargaan terhadap pendidikan lingkungan setidaknya “menginduk” pada Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang menjadi bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Pada kelanjutan periode ke-2, Presiden Jokowi menempatkan perhatian pada pemanfaatan Sumber Daya Alam yang berkesinambungan pada urutan ke-5.

Kondisi dimana falsafah lingkungan hidup tidak cukup lantang disuarakan dan PLH yang tidak fleksibel dan adaptif, tidak cukup menjadi energi besar untuk menyikapi tantangan lingkungan dan perubahan iklim yang demikian masif. Dunia pendidikan harus sadar, terus terbuka, dan adaptif terhadap perkembangan lingkungan hidup beserta berbagai tantangan di dalamnya, bukan hanya bagian kebijakan yang cenderung bersifat sementara. Wallahu a’lam

Saiful Maarif
Bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua