Daerah

Menag Minta Para Kepala Daerah Jelaskan Masalah Ahmadiyah

Jakarta,9/7(Pinmas)--Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni meminta para pimpinan daerah untuk memberikan penjelasan tentang masalah Ahmadiyah. Upaya tersebut untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang ini. "Dalam waktu dekat ini kita akan buat surat edaran ke para gubernur, walikota, kakanwil. Kita akan memberikan penjelasan kepada mereka bagiamana cara-cara yang akan dilakukan dalam menghadapi masalah ini," papar Maftuh pada acara sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang peringatan dan perintah kepada anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan masyarakat dihadapan tokoh Ormas Islam tingkat pusat,di operation room, Departemen Agama, Jakarta, Rabu (9/7).

Menag juga menyatakan, bahwa SKB tersebut bukanlah bentuk intervensi pemerintah terhadap keyakinan warga masyarakat. "Bagi pemerintah, masalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia mempunyai dua sisi," ujarnya. Sisi pertama lanjutnya, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, warga JAI adalah korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat. "Kedua sisi ini harus ditangani pemerintah," tandas Menag. SKB yang ditandatangani Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung itu berisi 6 butir yang intinya terbagi atas dua bagian.

Pertama, memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. "Bagi pelanggarnya dapat dikenai sanksi hukum termasuk badan hukum dan organisasinya," kata Maftuh seraya menambahkan sanksi yang dimaksud tercantum dalam pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Menjawab dampak pasca dikeluarkan SKB itu, menurut Menag, sekarang mulai reda aksi protes masyarakat, disamping itu penganut Ahmadiyah juga mengikuti aturan yang ada di SKB itu, "Menurut saya sudah lebih baik, seperti di NTB," ujarnya.

Pada bagian lain Menag memaparkan, penolakan umat Islam terhadap Ahmadiyah telah terjadi sejak tahun 1930-an. Kemudian penolakan pun terjadi baik dalam bentuk keberatan maupun perusakan bangunan rumah, masjid dan mushalla milik Ahmadiyah di berbagai daerah, antara lain di Sumatera Timur (1953), Medan (1964), Cianjur (1968), Kuningan (1969), Nusa Tenggara Barat (1976), Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Surabaya dan Parung Bogor (1981), serta Riau, Palembang, Sumatera Barat dan Jakarta (1990). Akhir-akhir ini penolakan tersebut muncul kembali di sejumlah daerah, seperti Nusa Tenggara Barat (2002), Parung, Bogor (2006, Kuningan, Majalengka, dan Sukabumi (2008).

Semua penolakan itu hanya ditujukan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang mengusung faham bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi. Sikap penolakan juga dilakukan dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan MUI pada tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah Qodian adalah jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan, dan pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah Qodian dan Lahore adalah sesat dan menyesatkan. Fatwa yang sama juga dikeluarkan MUI Aceh, MUI Sumatera Utara, MUI Riau, PBNU, Muhammadiyah dan beberapa organisasi Islam lainnya. Pula aliran Ahmadiyah di beberapa negara juga telah dilarang dikembangkan seperti di Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, Kerajaan Arab Saudi, dan oleh organisasi Islam internasional, Rabithah Alam Islami.

"Intinya adalah bahwa ada dua sisi, ada yang harus diluruskan, dengan cara pembinaan, kalau tidak kena sanksi. Masyarakat juga harus dijelaskan, karena bagiamana pun Ahmadiyah punya hak sebagai warganegara yang punya untuk dilindungi. Di satu sisi penyebab, disisi lain menjadi korban dari pada sebab yang dilakukan," jelas menteri Maftuh. (ks)

Daerah Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua