Opini

Mencegah Badai Keluarga Indonesia

Thobib Al-Asyhar

Thobib Al-Asyhar

Sejarah perjalanan umat manusia telah mencatat bahwa keluarga adalah pilar peradaban. Munculnya peradaban unggul dan maju dapat dipastikan karena peran para tokoh-tokoh hebat yang dilahirkan dari keluarga-keluarga hebat. Dibalik para tokoh hebat didukung penuh oleh keluarga-keluarga yang hebat.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) dalam pengantar buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) menyebutkan bahwa kekuatan sebuah bangsa sangat dipengaruhi oleh ketahanan keluarga. Masa depan bangsa sesungguhnya dibangun di atas kekuatan fondasi keluarga. Melalui institusi keluarga, pembangunan manusia yang sesungguhnya dilakukan. Sehingga pembangunan keluarga yang kokoh dan tangguh menjadi kebutuhan mendasar suatu negara.

Penekanan yang disampaikan oleh Menag LHS tersebut menegaskan bahwa kemuliaan dan kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh nilai-nilai yang dibangun dan ditegakkan oleh keluarga. Karena secara sosial, keluarga adalah entitas paling kecil yang menjadi cerminan nyata dari potret negara dan bangsa. Ibarat sebuah bangunan, keluarga adalah tiang-tiang penyangga yang tanpanya bangunan tidak pernah ada.

Sosiolog Indonesia terkemuka, Robert MZ. Lawang, mendefinisikan keluarga sebagai kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; yang membentuk satu rumah tangga; yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan melalui peran-perannya sendiri sebagai anggota keluarga; dan yang mempertahankan kebudayaan masyarakat yang berlaku umum atau bahkan menciptakan kebudayaan sendiri.

Dari definisi tersebut, setidaknya ada empat karakteristik universal keluarga yang tercermin dari definisi di atas. Pertama, keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Kedua, mereka hidup bersama dalam satu rumah yang membentuk apa yang disebut rumah tangga. Ketiga, mereka adalah satu kesatuan yang saling berinteraksi dan berkomunikasi. Keempat, mempertahankan kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang luas atau mereka menciptakan kebudayaan sendiri.

Melihat dari uraian tersebut, jelas sekali bahwa posisi keluarga bagi bangsa ini menjadi poin pokok berkembangnya kebudayaan bangsa yang tidak boleh diremehkan atau dipandang sebelah mata. Pada saat yang sama fakta menunjukkan bahwa keluarga Indonesia terdapat indikasi mulai goyah karena tingginya angka perceraian. Ini artinya, kita sedang menghadapi tantangan yang maha berat karena peradaban bangsa kita sedang dalam ancaman besar.

Berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, tingkat perceraian keluarga Indonesia dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pasca reformasi politik di Indonesia tahun 1998, tingkat perceraian keluarga Indonesia terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Data perceraian tahun 2016 misalnya, angka perceraian mencapai 19,9% dari 1,8 juta peristiwa. Sementara data 2017, angkanya mencapai 18,8% dari 1,9 juta peristiwa. Meski tidak bisa dikorelasikan secara langsung antara jumlah nikah dengan jumlah cerai karena disparitas waktu pada tahun yang sama, tetapi dapat dijadikan perbandingan kasar untuk menguji ketahanan keluarga Indonesia.

Jika merujuk data 2017, maka ada lebih 357 ribu pasang keluarga yang bercerai tahun itu. Jumlah yang tidak bisa terbilang sedikit. Dari jumlah itu bisa dipastikan menyimpan masalah sosial yang tinggi. Apalagi terpapar bukti bahwa perceraian terjadi lebih banyak pada usia perkawinan di bawah 5 tahun.

Perceraian yang terjadi dibawah 5 tahun usia perkawinan jelas memiliki kerentanan masalah yang cukup serius. Pertama, hampir bisa dipastikan keluarga tersebut memiliki anak Balita yang masih sangat membutuhkan perhatian dan dukungan ekonomi keluarga. Kedua, perceraian jelas berdampak secara psikologis bagi anggota keluarga, sehingga pasangan dalam menghadapi masalah rentan menimbulkan masalah sosial baru. Ketiga, munculnya problem kemiskinan baru mengingat masyarakat Indonesia menganut sistem sosial paternalistik, yaitu ketergantungan keluarga (isteri) kepada laki-laki (suami).

Muncul beberapa analisis kenapa perceraian meningkat, diantaranya adalah kekurang-matangan psikologis pasangan, meningkatnya kesadaran hukum perempuan dan hak-hak publik, pengaruh lingkungan sosial yang semakin permisif, dan lain-lain. Berdasarkan data yang ada, faktor penyebab perceraian diantaranya adalah masalah ekonomi, perselingkuhan (ketidaksetiaan), problem kesehatan, perbedaan prinsip dalam pengelolaan keluarga, kesenjangan sosial, bahkan perbedaan dalam pilihan politik.

Pada saat yang sama, fungsi badan-badan penasihatan (konseling) keluarga khususnya BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan) tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Jika dulu BP4 pernah menjadi bagian di bawah koordinasi Kementerian Agama dapat berjalan bagus seiring dengan tugas pembinaan keluarga sakinah, kini BP4 yang menjadi lembaga independen nampak melemah karena minimnya dukungan sumber daya, baik SDM maupun pendanaan.

Ditambah lagi peran Peradilan Agama yang kini di bawah Mahkamah Agung (MA) menganut prinsip umum peradilan bahwa perkara yang diajukan ke pengadilan tidak boleh ditolak. Artinya, setiap orang yang mengajukan perkara untuk bercerai harus diproses sesuai dengan hukum acara di Indonesia, meskipun ada tahap-tahap mediasi antara kedua belah pihak. Namun, jika perkara telah masuk pengadilan, maka mayoritas diputus dengan hasil akhir perceraian. Inilah yang sering menjadi keluhan dari berbagai pihak dan dianggap sebagai salah satu pintu meningkatnya angka perceraian.

Lalu apa yang bisa dilakukan dalam menghadapi fenomena itu? Kita tidak boleh saling menyalahkan karena resiko terlalu berat jika tidak ada upaya penanggulangan secara tersistem dan berkelanjutan. Kontribusi nyata dari semua pihak untuk mencegah meningkatnya keruntuhan keluarga Indonesia menjadi keniscayaan, baik dari pemerintah (Kementerian Agama), kalangan ulama (tokoh agama), pengelola media, pemilik provider jaringan internet, guru, dosen, pejabat, figur publik, masyarakat, termasuk pasangan dalam keluarga itu sendiri.

Bimbingan Perkawinan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Kementerian Agama menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara pasangan calon pengantin dengan keberhasilan membangun rumah tangga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tingkat kesiapan pasangan menjadi faktor utama yang akan menentukan sebuah rumah tangga sukses menggapai tujuan mulianya atau mengarah pada gerbang perpecahan.

Tidak hanya itu, kesiapan pasangan mengarungi rumah tangga ini ternyata juga turut mempengaruhi sikap dan perilaku pasangan saat rumah tangga mereka terpaksa harus berakhir dengan perceraian, setidaknya mengurangi terjadinya kekerasan pasca perceraian. Pada situasi kritis sekalipun, dengan kematangan psikologis, mereka akan menjadi lebih bijak, tidak terbawa oleh arus emosi, sehingga dapat menyelamatkan kebaikan keluarga, meminimalisir kehancuran, dan mewujudkan kemaslahatan bagi anggota keluarga lainnya.

Lalu apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama sebagai pihak yang memiliki tugas dalam pembinaan keluarga sakinah? Tugas-tugas layanan dalam bidang pernikahan melalui KUA harus dibarengi dengan tugas-tugas pembinaan keluarga yang "dibentuk" agar lestari dan bahagia (sakinah mawaddah wa rahmah). Ini merupakan konsekuensi dari tugas layanan administrasi nikah agar pernikahan dapat mencapai pada tujuan yang diharapkan.

Selama ini, Kementerian Agama melalui KUA memang telah melaksanakan tugas melekat dalam bentuk Suscatin (Kursus Calon Pengantin), yaitu program pembekalan singkat kepada calon pengantin yang ingin melangsungkan pernikahan. Sistemnya bersifat penasihatan dalam durasi singkat yang dilakukan oleh penghulu/Kepala KUA tentang fikih munakahat, hak dan kewajiban suami dan isteri kepada calon pengantin.

Namun demikian, seiring dengan makin meningkatnya angka perceraian dari waktu ke waktu, Kementerian Agama lalu melakukan evaluasi efektifitas program tersebut. Satu kesimpulan besarnya, bahwa pelaksanaan Suscatin dinilai berjalan kurang efektif karena terlalu singkat dan kurang menyentuh aspek paling mendasar, yaitu terbangunnya kesadaran calon pengantin akan esensi rumah tangga. Bahkan dalam pelaksanaannya pun sangat fleksibel dan karenanya perlu dilakukan penguatan.

Satu gagasan besar yang akan menggantikan Suscatin adalah program Bimbingan Perkawinan (Binwin) sekaligus dijadikan program nasional penanggulangan angka perceraian dan pembentukan keluarga sakinah dalam rangka membangun SDM unggul dan berkualitas sesuai dengan nilai-nilai Nawa Cita. Ini juga berkesesuaian dengan pembangunan berkelanjutan PBB SDGs (Sustainable Development Goals).

Lalu apa yang dimaksud dengan Program Binwin? Yaitu program bimbingan pra nikah yang dilaksanakan secara nasional nasional sebagai bagian dari upaya Pemerintah bersama dengan stake-holders untuk mempersiapkan calon pengantin melalui program bimbingan perkawinan terstruktur melalui KUA. Jika Suscatin dilaksanakan dalam bentuk pembekalan singkat, maka sejak tahun 2017 telah dilakukan proyek percontohan program Binwin di 16 kota dengan sistem kelas dan modul yang telah disiapkan dengan baik.

Program Binwin ini merupakan bagian dari program prioritas pemerintah yang dikoordinasikan oleh KSP (Kantor Staf Presiden) dan Bappenas. Program Binwin dilaksanakan oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota melalui KUA Kecamatan dalam bentuk kelas pelatihan pembekalan selama 16 jam (dua hari) yang diisi oleh para instruktur terlatih, baik dari internal Kementerian Agama atau unsur masyarakat.

Program Binwin memang belum berjalan secara nasional karena masih mencari format yang efektif, baik dari siapa yang harus atau dapat menyelenggarakan, bagaimana skema pembiayaannya, dan bagaimana sifatnya (mandatory atau voluntary). Hal ini sedang dirumuskan agar tidak menjadi kendala serius mengingat secara teknis adminiatrasi kependudukan, pernikahan harus dilakukan secara ketat dan program ini agar tidak menjadi beban berat bagi calon pasangan yang akan menikah.

Menilik dari modul yang yang telah disusun oleh para ahli di bidangnya, pelaksanaan Binwin dikemas dalam 2 modul besar, yaitu: Modul 1 berisi tentang (1) bagaimana mempersiapkan perkawinan yang kokoh menuju keluarga sakinah; (2) mengelola dinamika perkawinan dan keluarga; (3) memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara modul 2 berisi tentang: (1) menjaga kesehatan reproduksi keluarga; (2) menyiapkan generasi berkualitas; dan (3) refleksi dan evaluasi.

Melihat dari konten modul 1 secara garis umum berisi tentang pengembangan wawasan yang berhubungan dengan internasilasi nilai-nilai perkawinan, pengetahuan praksis terhadap pengelolaan konflik, dan bagaimana calon pasangan memiliki pengetahuan dan kesadaran untuk mencukupi standar minimal kebutuhan sebuah keluarga.

Sedangkan pada modul 2 menitikberatkan pada upaya penjagaan kesehatan reproduksi, khususnya pengetahuan bagi pihak perempuan (isteri) dan hak-haknya agar bisa dipahami oleh pasangannya. Juga pemahaman tentang pentingnya keluarga menjadi bengkel generasi penerus yang kuat, bukan sekedar tempat berkembangbiaknya manusia melalui kelahiran. Ditutup dengan evaluasi dan refleksi agar setiap calon pasangan menikah betul-betul memiliki pemahaman yang utuh tentang urgensi keluarga melalui lembaga perkawinan.

Selain upaya tersebut, Kementerian Agama juga menyediakan buku bacaan mandiri bagi pasangan yang secara teknis sulit untuk diikuti oleh calon pengantin. Tentu bukan hanya ini saja yang telah dilakukan oleh Kementerian Agama dalam upayanya menanggulangi berbagai indikator mulai runtuhnya pilar peradaban bangsa bernama keluarga. Ada program kemitraan lain dalam pembinaan pra nikah bagi anak-anak remaja usia nikah yang perlu mengetahui hakikat perkawinan.

Namun demikian, upaya penanggulangan kasus perceraian dan pembinaan keluarga sakinah bukan hanya menjadi tugas pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, tetapi menjadi tugas semua pihak, semua kita yang menjadi bagian dari bangsa ini (ulama, tokoh masyarakat, guru, dosen, pengelola media, para publik figur, dan individu-individu secara umum). Saatnya kita melakukan bersama, bertindak bersama untuk menjaga keluarga masing-masing dari kehancuran sebelum benar-benar dihantam badai modernisme yang tak bertepi. Wallahu a'lam.

Thobib Al-Asyhar

Pengajar pada Sekolah Kajian Stratejik dam Global Universitas Indonesia, Penulis Buku, Kabag Ortala, Kepegawaian, dan Hukum Ditjen Bimas Islam

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat