Opini

Meneguhkan Ekstrakurikuler Keagamaan Pada Lembaga Pendidikan

Ida Farida

Ida Farida

Tragedi hilangnya nyawa seorang bocah pada 6 Maret 2020 oleh remaja belasan tahun di Jakarta sungguh mengiris perasaan. Terlepas dari kemungkinan kelainan dan masalah mental serta kejiwaan, perilaku tersebut mengoyak rasa kemanusiaan dan nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan pada siswa. Kejadian tersebut mengingatkan semua pihak bahwa banyak yang harus dilakukan dalam pendidikan untuk memperkuat mental dan karakter anak agar siap menjalani kehidupan sosial dengan panduan nilai dan norma keagamaan.

Peristiwa tersebut secara mendasar menunjukkan adanya masalah dalam pola pengasuhan, komunikasi dalam keluarga, dan kualitas waktu anak. Ketiga hal ini, dimulai dari ranah keluarga, membangun ruang terdekat anak dalam mengembangkan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan.

Dengan intensitas, tanggung jawab, dan beban rumah tangga yang ditanggung, kerap kali orang tua menemui masalah dalam menjalankan pola pengasuhan (parenting) pada anak. Beban keluarga yang sering kali tidak mudah dihadapi kerap menjadi kendala utama bagi orang tua untuk memberikan pengasuhan yang optimal bagi anak. Hal ini berimbas pada pola komunikasi yang mestinya terbangun dengan baik antara orang tua dan anak.

Tiadanya kesempatan yang bisa dengan sadar dan sengaja dibangun untuk berkomunikasi secara mendalam dengan anak, berakibat tidak terciptanya hubungan yang saling mendukung dan memahami satu sama lain. Akibat lebih lanjut, anak bisa menjadi terasing dalam keluarganya yang adalah dunia terkecil dan terdekatnya. Anak termotivasi untuk menciptakan sendiri dunianya, ruang impulsif yang serba atas nama kehendak dan imajinasinya.

Pada situasi demikian, anak dihadapkan pada berbagai pilihan yang paling dekat dan mudah dalam kesehariannya. Dunia digital telah diketahui luas sebagai pihak yang patut dirujuk untuk hal ini. Our Lives Online: Use of Social Media by Children and Adolescents in East Asia – Opportunities, Risks, and Harms, sebuah data Unicef yang dirilis pada akhir Februari 2020, memberi petunjuk penting terkait hal ini.

Dunia digital yang telah jauh berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari menjadi induk dari berkembangnya teknologi informasi, salah satunya adalah media sosial. Laporan Unicef berdasar studi yang dilakukan di Indonesia, Malaysia, Kamboja, dan Thailand pada tahun 2019 mengonfirmasi beberapa hal utama terkait fenomena ini.

Pertama, dari rerata jumlah populasi responden yang disurvey dan kepemilikan telepon pintar, penggunaan media sosial oleh anak Indonesia menempati ranking tertinggi (90,7%), disusul Thailand (90,1%), Malaysia (87,8%), dan terakhir Kamboja (48%). Hal ini menunjukkan betapa intensitas dan kualitas waktu penggunaan media sosial yang demikian tinggi pada anak Indonesia. Kedua, tingkat penggunaan media sosial dan internet yang demikian tinggi menempatkan anak dalam situasi kerawanan yang juga tinggi.

Informasi yang membuncah dan keterbukaan data serta privasi yang mudah diakses oleh pihak manapun membuka kemungkinan anak menjadi asing pada lingkungan sendiri dan rentan dimanfaatkan aksi kejahatan. Dalam konteks ini, anak bisa mengalami apa yang disebut Larry Rosen dalam iDisorder (2012) sebagai kondisi Schizo-disorders; anak berkemungkinan menjadi tidak terkendali dan memiliki kecenderungan yang tidak normal.

Kondisi muram seperti ini tentu perlu direspon bersama. Laporan Unicef dan tragedi berdarah di atas bisa jadi tidak memiliki keterkaitan langsung, bisa jadi pula bukan media sosial sebagai faktor tunggal penyebab terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kedua hal ini disatukan oleh fakta bahwa perkembangan sosial budaya terkini makin menempatkan anak dalam posisi yang demikian rawan.

Di samping itu, tantangan pengasuhan anak makin menguat karena keluarga sebagai satuan masyarakat terkecil kerap kali tidak mampu memberi dukungan signifikan terhadap perkembangan mental dan karakter mereka. Dalam kaitan ini, lembaga pendidikan dapat memainkan peran penting dengan penguatan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan, disamping aktifitas lain yang terkait. Pilihan ini menjadi logis karena anak membutuhkan bimbingan dan laku teladan dari sekolah untuk menguatkan proses sosial dan keseharian mereka.

Meneguhkan Ekstrakurikuler Keagamaan
Pembentukan karakter anak sejatinya adalah sebuah pola melingkar yang saling berkaitan. Bermula dari lingkungan rumah, pembentukan karakter anak berlanjut ke lingkungan sekolah, dan kembali ke ranah keluarga. Sekolah pada dasarnya merupakan tempat siswa mendapatkan pelajaran secara formal maupun informal dan pelajaran dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pendidikan agama.

Dalam praktiknya, pendidikan agama dikemas melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Hal senada juga termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, bahwa setiap satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.

Pendidikan Agama adalah pendidikan yang bertujuan memberikan bekal kemampuan kognitif keagamaan, diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta kesalehan sosial bagi pemeluknya.

Secara umum tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan ini seiring dengan upaya membangun karakter siswa menjadi generasi berakhlak insan kamil.

Proses pembelajaran Agama Islam di sekolah bukan hanya sebatas transfer pengetahuan dari guru kepada peserta didik saja. Lebih jauh, Pendidikan Agama Islam harus bisa menjadikan setiap peserta didik mampu mengimplementasikan nilai-nilai agama ke dalam perilaku kehidupan sehari-hari secara holistik.

Kegiatan pembelajaran Agama di sekolah berbatas waktu. Hal ini menjadi salah satu kendala yang dihadapi para guru dalam memberikan pelajaran, sehingga diperlukan model-model pendampingan dan pembelajaran di luar proses pembelajaran resmi di kelas (intrakurikuler).

Kegiatan ekstrakurikuler menjadi salah satu cara yang tepat untuk menjadi solusi permasalahan di atas. Kegiatan ekstrakurikuler ini diisi oleh kegiatan-kegiatan keagamaan yang diharapkan dapat menumbuhkan karakter positif peserta didik.

Sebagai garda terdepan dalam mendampingi peserta didik dalam kegiatan ekstrakurikuler, Guru Pendidikan Agama Islam seyogianya mendapat dukungan dari semua pihak yang memiliki kepentingan di lingkungan sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut harus menjadi bagian dalam kegiatan tahunan sekolah, sehingga guru PAI dapat menyiapkan program kegiatan secara utuh hingga dapat terukur hasilnya.

Permendikbud Nomor 62 Tahun 2014 tentang Kegiatan Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar dan Menengah menjelaskan bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan kurikuler yang dilakukan oleh peserta didik di luar jam belajar kegiatan intrakurikuler dan kegiatan kokurikuler. Kegiatan Ekstrakurikuler diselenggarakan dengan tujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan kemandirian peserta didik.

Ekstrakurikuler Keagamaan (Islam) dapat dikategorikan ke dalam kegiatan ekstrakurikuler pilihan yang dapat diselenggarakan oleh sekolah untuk menambah pemantapan dan pemahaman keagamaan peserta didik. Banyak kegiatan yang bisa dilaksanakan dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Keagamaan dalam konteks mencari dan mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan siswa, misal nasyid, hadroh, rebana, seni kaligrafi, tilawah, jurnalistik, dan TBTQ (Tuntas Baca Tulis Qur’an), dan lain sebagainya.

Kendala Teknis dan Harapan
Dengan posisi dan peran strategisnya, sepatutnya pendidikan agama mendapat porsi yang signifikan dalam realisasinya. Namun, waktu tatap muka menjadi kendala jika hanya mengandalkan waktu pembelajaran intrakurikuler. Dalam seminggu, guru PAI hanya memiliki jam tatap muka sebanyak tiga kali. Kondisi ini tentu tidak ideal dengan target pembelajaran dan penguasaan materi yang digariskan.

Selain kurangnya waktu pengajaran di intrakurikuler, sering kali guru PAI juga mengeluhkan kurangnya dukungan dari berbagai pihak terkait dalam upaya mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan.

Untuk itu, dibutuhkan kebijakan bersama antara Kementerian Agama, Kemendikbud, dan Kemendagri sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas keberlangsungan pendidikan dan pendidikan agama di sekolah. Dukungan dan terobosan kebijakan tersebut menjadi penting karena pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan membutuhkan berbagai dukungan sarana dan regulasi terkait.

Sekilas, berbagai pilihan aktifitas ekstrakurikuler pilihan di atas sudah biasa terdengar dan lazim dijalankan. Makna terdalam dari aktifitas berkesenian Islam seperti ini adalah pada bagaimana aktifitas seni tersebut dijalankan dengan sepenuh hati dan menghayati nilai instrinsik yang terdapat di dalamnya. Ismail Raji Al-Faruqi dalam the Cultural Atlas of Islam (1963) meyakini bahwa kreasi dan ekspresi artistik Islam mampu menghantarkan pelakunya pada keyakinan akan Allah Yang Maha Kuasa.

Pemahaman ini penting dijalankan agar komitmen dasar untuk meneguhkan ekstrakurikuler keagamaan Islam sebagai bagian penting dari upaya membangun dan menguatkan mental dan karakter siswa dapat berjalan optimal.

Salah satu pesan penting ekstrakurikuler keagamaan yang dijalankan adalah pemahaman islam rahmatan lil alamin. Dengan menerapkan pemahaman Islam rahmatan lil'alamin dalam pemikiran dan prilaku peserta didik, diharapkan peserta didik dapat berinteraksi dan bersosialisasi di masyarakat dengan ramah, penuh kasih dan toleran. Siswa juga diharapkan mampu bertindak bijak dalam menyikapi situasi serta kondisi sosial yang berkembang.

Ida Farida, Kasi Kesiswaan PAI pada Subdit SMP/SMPLB Dit PAI Ditjen Pendidikan Islam

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat