Opini

Mengenal Keterbukaan Informasi Publik (#6): Badan Publik

Fungsional Statistisi Ahli Madya Rosidin

Fungsional Statistisi Ahli Madya Rosidin

Keterbukaan informasi di kalangan pemerintah terus bergema setelah dalam kurun delapan tahun terakhir Komisi Informasi Publik (KIP) melakukan evaluasi dan monitoring berkesinambungan. Badan publik sebagai sasarannya menjadi lebih melek, karena hasilnya terpapar di ruang-ruang publik. Secara tidak langsung publik akan menilai sejauh mana kinerja badan publik bersangkutan saat melihat predikat dari KIP yang sekaligus menjadi bahan konfirmasi atas apa yang dirasakan.

Bicara soal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), badan publik memang menjadi sasaran utama. Kemudian untuk memudahkan implementasi dan pengendalian, dalam UU ini badan publik dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah.

Kelompok pertama mencakup lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, dimana sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D). Sedang kelompok kedua adalah organisasi non pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/D, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Mencermati definisi tersebut, jelas bahwa fokus dari implementasi UU KIP adalah adanya transparansi kebijakan publik dan penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN/D, dana masyarakat, dan luar negeri. Jadi sangat wajar jika keterbukaan informasi bagi kementerian menjadi salah satu indikator keberhasilan tata kelola pemerintahan.

Dalam konteks Kementerian Agama (Kemenag), tercatat pada tahun 2022 ini memperoleh alokasi APBN sebesar 66,5 Triliun rupiah. Anggaran tersebut dipakai untuk menjalankan lima program, yakni dukungan manajemen, kerukunan umat beragama dan layanan kehidupan beragama, pendidikan tinggi, peningkatan kualitas pembelajaran dan pengajaran, dan pendidikan anak usia dini dan wajib belajar 12 tahun. Karena itu, kebijakan dan pelaksanaan anggaran yang berdampak terhadap pelayanan publik harus dilaksanakan secara transparan sebagai bagian pertanggungan jawab kepada masyarakat atas penggunaan uang rakyat.

Tidak mungkin dipungkiri, pelaksanaan anggaran dalam tubuh badan publik senantiasa menjadi perhatian masyarakat untuk mengetahui, mengakses dan menggunakan informasi. Terutama alokasi anggaran yang berdampak langsung ke masyarakat seperti bantuan langsung, tunjangan, beasiswa, dan perjalanan. Pelayanan publik juga tidak luput perhatian publik, misalkan penerbitan sertifikasi halal, penerbitan surat nikah, seleksi pegawai dan pejabat, serta kebijakan lainnya.

Melengkapi artikel sebelumnya yang mengulas Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagai aktor utama dalam pelayanan informasi publik. Kini giliran kita ulas badan publik yang notabene rumah di mana PPID itu berada. Secara umum, setidaknya ada empat peran utama dari badan publik dalam implementasi UU KIP, yaitu penyiapan kelembagaan, pemenuhan sumberdaya manusia, memberikan dukungan anggaran dan pengendalian operasional.

Penyiapan Kelembagaan
Tugas pertama yang dimandatkan atas implementasi UU KIP kepada badan publik adalah menunjuk dan menetapkan PPID. PPID merupakan kelembagaan yang dibentuk secara ex-officio melekat pada pejabat yang membidangi informasi publik. Agar PPID dapat bekerja dengan baik, pimpinan badan publik harus memberikan pijakan berupa regulasi pembentukan dan pedoman operasional.

Secara kelembagaan, PPID Kemenag telah diulas tuntas pada artikel sebelumnya. PPID Kemenag ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 657 Tahun 2021. Melalui KMA ini telah dibentuk 1 PPID Utama, 11 PPID Unit Eselon I Pusat, 72 PPID Unit PTKN, 34 PPID Unit Kanwil, 512 PPID Unit Kankemenag, dan 17 PPID Unit Balai.

Bahwa ada unit belum menyadari mandat pembentukan PPID di wilayah kerja mereka, itu persoalan lain. Tapi jelas, perintah itu ada. Namun intinya setelah kelembagaan dibentuk, perlu komitmen dari pimpinan agar penyelenggaraan keterbukaan informasi publik dapat berjalan optimal. Hal ini berlaku untuk lingkup PPID Unit, terlebih PPID Utama.

Pemenuhan Sumberdaya Manusia
Meskipun secara kelembagaan PPID dibentuk melalui ex-officio, namun dalam menjalankan tugasnya tetap memerlukan pemenuhan pegawai sebagai perangkat pelaksana. Pada tahap awal, badan publik dapat menetapkan kompetensi bagi sesorang yang menjabat PPID. Mereka harus memenuhi syarat kemampuan dalam di bidang pengelolaan informasi dan dokumentasi. Proses ini sebagai bagian dari cara badan publik untuk menentukan spesifikasi pegawai yang dapat mengisi posisi dalam kelembagaan PPID.

Dalam pelaksanaan tugas-tugas diperlukan dukungan dan penempatan sumber saya manusia secara memadai, baik kuantitas dan kualitas selaras dengan tingginya beban tugas dan kewenangan. Tugas PPID yang begitu besar, tidak mungkin dipegang hanya oleh seorang pejabat yang ditunjuk sebagai PPID. Posisi ini harus ditopang oleh perangkat kerja dan dibantu oleh pegawai sebagai perangkatnya.

Sebagaimana telah diulas dalam artikel sebelumnya, terdapat sejumlah tugas utama yang menjadi kewenangan PPID yang kemudian diterjemahkan dalam struktur. Pembentukan struktur tersebut dimaksudkan untuk kemudahan membagi habis tugas dan kewenangan. Sehingga pelaksanaan tugas bisa dilakukan lebih optimal dalam mencapai kinerja.

Seandainya dalam struktur PPID ada tiga perangkat pelaksana, maka diperlukan tiga orang diberi peran. Semakin besar beban kerja, semakin banyak pegawai diperlukan. Mereka dapat melaksanakan pekerjaan secara spesifik sesuai keterampilan dan kapasitas. Karena itu, sangat wajar jika dalam pelaksanaan tugas tersebut, PPID dibantu oleh sejumlah pejabat fungsional, seperti pranata humas, arsiparis, pranata komputer, statistisi, dan pejabat fungsional lain yang relevan.

Pemenuhan Anggaran
Sebagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi dalam organ pemerintahan, keterbukaan informasi pun memerlukan dukungan anggaran yang memadai. Anggaran terutama digunakan melaksanakan tugas-tugas sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010. Di sana disebut tugas dan wewenang PPID mencakup penyediaan, penyimpanan, pendokumentasian, dan pengamanan informasi, pelayanan informasi, penyusunan pedoman serta uji konsekuensi.

Ketersediaan dan kecukupan anggaran menjadi keniscayaan bagi PPID dalam menajalankan tugas dan kewenangan. Semakin baik penyediaan ketesediaan anggaran, akan mendukung kinerja PPID ke arah semakin baik. Sebab dengan anggaran, PPID memiliki kemampuan untuk membuat perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan pengembangan atas tugas-tugas dimaksud. PPID dapat menjabarkan tugas dan wewenang untuk kemudian menetapkan rencana aksi yang selanjutnya menjadi landasan bagi PPID untuk membuat kegiatan mendukung capaian kinerja.

Selain dalam mendukung pelaksanaan tugas, badan publik perlu mengalokasikan anggaran untuk keperluan ganti rugi dan pembayaran denda yang terjadi dalam pelayanan. Ganti rugi digunakan untuk membayar kepada orang atau badan hukum perdata atas beban badan publik berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang timbul karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat. Sementara denda dibebankan kepada badan publik, ketika terjadi tindak pidana yang dilakukan PPID saat bertugas dalam pelayanan informasi publik.

Membayar ganti rugi dibebankan atas perbuatan badan publik yang mengakibatkan adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat dilaksanakan berdasarkan tata cara pelaksanaan ganti rugi pada Peradilan Tata Usaha Negara paling banyak lima juta rupiah. Ketika pembayaran ganti rugi tidak dapat dilaksanakan dalam tahun anggaran berjalan, harus dimasukkan dan dilaksanakan dalam tahun anggaran berikutnya.

Tatkala badan publik dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda lima juta rupiah. Informasi publik yang dimaksud mencakup informasi berkala, informasi serta-merta, informasi setiap saat, dan/atau informasi yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai UU KIP.

Dalam hal ini terdapat beban yang timbul akibat tindakan tersebut, badan publik harus menyediakan anggaran untuk membayar denda. Namun ketika dibuktikan tindakan yang dilakukannya di luar tugas pokok dan fungsinya dengan melampaui wewenangnya, maka beban membayar denda dibebankan dan menjadi tanggung jawab secara perorangan kepada PPID dan tidak menjadi beban keuangan badan publik.

Pengendalian Operasional
Di luar fungsi pendukung seperti yang diulas di atas, badan publik juga mempunyai peran dalam mengendalikan operasional pelaksanaan keterbukaan informasi publik yang dijalankan PPID. Peran ini sekaligus sebagai instrumen pengawasan agar PPID dapat menjalankan tugas-tugasnya sesuai standar dan norma serta terhindar dari tindakan pidana.

Pertama, persetujuan klasifikasi informasi. Informasi yang dihasilkan dan dikuasai oleh badan publik harus diklasifikasi berdasarkan ketentuan UU KIP. Setidaknya ada empat jenis, yaitu informasi berkala, informasi setiap saat, dan informasi serta merta. Di luar jenis itu ada informasi dikecualikan yang tidak boleh diakses oleh publik. Dalam hal ini badan publik mempunyai kewenangan memberikan persetujuan terhadap klasifikasi informasi ditetapkan oleh PPID.

Kedua, persetujuan informasi dikecualikan. Selain menyusun informasi publik, dalam kesempatan sama PPID juga bertugas menyusun daftar informasi dikecualikan melalui mekenisme uji konsekuensi, melibatkan pihak-pihak terkait. Proses ini patut dilakukan secara saksama dan penuh ketelitian, sebelum sebuah informasi dinyatakan tertutup. Sebelum informasi ditetapkan, daftar perlu ditashih kepada badan publik untuk mendapatkan persetujuan. Di samping itu, badan publik juga punya kewenangan untuk memberikan persetujuan atas perubahan klasifikasi Informasi yang dikecualikan.

Ketiga, menetapkan jangka waktu pengecualian informasi. Jangka waktu pengecualian merupakan rentang waktu tertentu untuk informasi yang dikecualikan dan tidak dapat diakses publik. Penetapan ini diperlukan karena informasi tidak mungkin selamanya dikecualikan. Setelah masa pengecualian habis, maka informasi tersebut dinyatakan terbuka untuk publik. Durasi jangka waktu pengecualian dari setiap informasi dikecualikan tergantung jenis dan dampaknya sesuai ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2010. Dalam konteks Kemenag, penetapan jangka waktu ini dilakukan oleh Menteri Agama.

Keempat, persetujuan atas pertimbangan tertulis kebijakan PPID. Ada kalanya permintaan informasi publik tidak selamanya terpenuhi melalui portal yang telah disiapkan atau memang tidak berada dalam kekuasaan badan publik. Karena itu, dalam memenuhi hak permohonan informasi publik tersebut, PPID wajib membuat pertimbangan tertulis dengan memperhatikan aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara. Posisi badan publik sendiri juga memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan atas pertimbangan tertulis yang telah disiapkan PPID tersebut. Kemudian badan publik menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak kepada pemohon. Apabila informasi yang diminta tidak dalam kekuasaannya, disebutkan badan publik yang menguasai informasi yang diminta apabila informasi yang diminta.

Artinya bisa dibilang posisi badan publik dalam penyelenggaraan keterbukaan informasi publik menjadi tonggak utama dan penentu keberhasilan. Tanpa dukungan badan publik, PPID hanyalah raga mati tanpa nyawa dan kehidupan. Bersambung…

Fungsional Statistisi Ahli Madya Rosidin


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat