Hindu

Mengendalikan Sapta Timira 

Pinandita Dr. I Made Jiwa Astika, M.MT (Rohaniwan Hindu)

Pinandita Dr. I Made Jiwa Astika, M.MT (Rohaniwan Hindu)

Manusia sebagai makhluk ciptaan Ide Sangyang Widhi Wasa yang memiliki sabde bayu dan idep merupakan makhluk pada tingkat tertinggi dalam kehidupan. Kemampuan berfikir yang dimiliki manusia dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan lingkungan agar kehidupan bisa berkelanjutan dan tercipta kesejahteraan serta kedamaian.

Manusia dalam setiap gerak, tindakan, menimbang- nimbang dan akhirnya memilih antara yang baik dan buruk, antara yang benar dan salah. Manusia dituntut mammpu menguasai indria. Bila indra tidak mampu dikendalikan, ibarat kusir menunggangi kuda liar, binal yang tidak dapat di kendalikan sehingga jatuh.

Dalam Kitab Sarasamuccaya, sloka 2 dijelaskan: Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe. Asubhesu samavistam subhesvevavakarayet. Artinya: Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun perbuatan buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan buruk itu; demikianlah guna (pahalanya) menjadi manusia.

Dari sloka Sarasamuccaya ini sangatlah jelas bahwa setiap manusia berpotensi melakukan perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Jika kita ingin mendapatkan suatu keharmonisan dalam kehidupan, maka harus selalu mengutamakan perbuatan-perbuatan yang baik dalam suatu kehidupan dan menggunakan atau memfungsikan sabda, bayu, dan idep yang ada di dalam diri dengan baik.

Sifat sifat buruk dalam diri manusia seperti yang terdapat dalam Sapta Timira. Sapta Timira adalah tujuh sifat kegelapan yang ada dalam diri manusia. Manusia memiliki hubungan dengan sifat sapta timira, Panca yama bratha, Panca Nyama Brata, dan Dasa Yama Bratha.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita bayangkan bahwa kehidupan manusia adalah sesuatu yang sangat aneh dan misteri yang sulit dijangkau oleh pikiran manusia. Segala keinginannya agar dapat terpenuhi dan bila tidak dilandasi dengan Dharma, di situlah sifat-sifat buruk atau sifat kegelapan yang akan muncul pada diri manusia yang disebut dengan Sapta timira.

Kata Sapta Timira berasal dari bahasa sansekerta dari kata “sapta”yang berarti tujuh, dan “timira” yang berarti gelap, suram (awidya). Sapta Timira berarti “tujuh kegelapan” adalah tujuh unsur atau sifat yang menyebabkan pikiran orang jadi gelap. Ketujuh unsur kegelapan tersebut ada pada setiap diri manusia. Sifat awidya yang ada pada diri manusia apabila tidak dikendalikan akan menimbulkan berbagai macam tindakan kejam, seperti marah, kejam, dengki, iri hati, suka memfitnah, merampok, dan yang lainnya. Semua sifat dan tindakan itu adalah bertentangan dengan agama yang disebut sifat prilaku Adharma Sapta Timira atau tujuh kegelapan.

Adapun yang dimaksud dengan tujuh kegelapan ialah tujuh hal yang menyebabkan pikiran orang menjadi gelap. Kegelapan pikiran ini dapat menimbulkan tingkah laku yang jelek dan menyimpang dari ajaran agama.

1. Surupa

Surupa artinya kecantikan atau ketampanan. Kecantikan dan ketampanan ini dibawa sejak lahir, merupakan anugerah Hyang Widhi Wasa. Bagi orang yang memiliki semua ini, boleh merasa beruntung, namun janganlah takabur atas kecantikan dan ketampanan yang dimiliki itu. Karena semua sifatnya maya dan tidak kekal. Ketampanan yang dimiliki seharusnya disertai dengan keluhuran budi pekerti. Kalau tidak demikian, tidak akan ada nilainya semua itu. Hendaknya Surupa itu tidak dibiarkan sebagai biang keladi menuju pada kehancuran.

Sarasamuscaya 21 menjelaskan, Surupatamatmagunam ca vistaram kulanvayam, Drvyasamred dhisancayam, naro hi sarvam labhate, Yathakretam sadasubhenatmakrtena karmana. (Maka orang yang melakukan perbuatan baik, kelahirannya dari sorga kelak menjadi orang yang rupawan, gunawan, muliawan, hartawan, dan berkekuasaan; buah hasil perbuatan baik, didapat olehnya).

Maka karena berbuat baiklah ia mendapatkan kerupawanan. Namun ketika itu diliputi kegelapan tamasikam, maka tentunya tidak mendapatkan karma baik dan menuju surgawi. Dan itu mengakibatkan ia menurun derajatnya di masa mendatang.

Ketika kegelapan karena ketampanan itu ada, bahkan bisa digunakan untuk mencela yang tidak sempurna seperti dirinya sendiri, hal itu berasal dari pikiran yang mengandung sifat kesombongan dan jauh dari perilaku seseorang yang sadhu.

2. Dhana

Dhana artinya kekayaan. Kekayaan memang sangat berguna bagi siapa pun, dan setiap orang menginginkan hal itu. Kekayaan itu disebut artha. Dan bentuk artha itu ada tiga macam yang disebut dengan Tri Bhoga, yaitu: bhoga, upabhoga, dan pari bhoga.

Kekayaan ini sangat besar gunanya dan sangat besar juga godaannya. Oleh karenanya bagi orang yang memiliki kekayaan hendaknya dapat menggunakan kekayaan itu dengan tepat sesuai dengan ajaran agama Hindu. Kekayaan harus diperoleh berdasarkan petunjuk agama dan dipergunakan sesuai dengan perintah agama.Tetapi sering kali kekayaan itu menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Karena pengaruh kekayaan orang sering menjadi sombong, angkuh, menghina orang lain, mengumbar hawa nafsu dan sering menjadikan lupa diri. Sebenarnya kekayaan itu tidak bersifat kekal.

Sarasamuscaya 267 menjelaskan: Jatasya hi kule mukhye paravittesu grdhyatah lobhasca Prajnamahanti prajna hanti hata sriyam. (Biarpun orang keturunan mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain, maka hilanglah kearifannya karena kelobhaannya; apabila telah hilang kearifannya itu, itulah yang menyebabkan hilangnya kemuliaannya, keindahannya, dan seluruh kemegahannya).

Maka tentu saja, bahwa karma buruk akan selalu mengikuti keadharmaan, di mana dharma akan selalu dijalani dengan kegelapan yang nyata dan menutup mata hati akan kebertuhanan dan berkemanusiaan.

3. Guṇa

Guna artinya kepandaian. Kepandaian dicari oleh setiap orang, dan semua orang ingin menjadi pandai. Karena kepandaian dapat meringankan seseorang dalam menghadapi suka duka kehidupan di dunia ini. Dan kepandaian juga dapat membahayakan orang, bila digunakan untuk kejahatan.

Sering juga, kepandaian itu dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang dilarang oleh ajaran agama, misalnya menipu, memperalat orang, memfitnah, mengacau, membuat isu-isu, dan korupsi. Oleh karena itu, kepandaian harus diimbangi oleh ajaran agama. Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:171).

Sarasamuscya 113 menjelaskan, Apramayam ca vedanam sastranam catilanghanam, Sarvatra canavasthanamrtannacanamatmanah. (Lagi pula, jika tidak memercayai ajaran suci weda pun tidak menaati akan ajaran dharmasastra serta tidak mengikuti ketentuan-ketentuan ajaran agama, pasti setelah meninggal dunia akan kembali berulang-ulang hidup sengsara).

Walaupun dengan kepintran dan kecerdasan yang tinggi, tapi tanpa menyadari akan sebuah keyakinan dan susila yang baik, maka itu seperti padi yang tidak berisi.

4. Kulina

Kulina artinya keturunan. Keturunan memang mempunyai arti yang penting. Orang dipandang terhormat disegani, dapat dipercaya, karena dikenal berasal dari keturunan orang-orang berjasa, baik budi, dan karyanya dapat dinikmati oleh banyak orang. Orang tuanya yang berjasa dan terhormat, tapi sampai keturunannya pun ikut menjadi terhormat.

Seringkali dari adanya keturunan ini, orang merasa bangga akan dirinya. Sebab, ia merasa keturunan orang-orang terhormat Dengan kebanggaan itu, lalu ia menjadi orang yang merasa berderajat tinggi, sombong, dan angkuh, sehingga kemudian menghina orang lain. Oleh karena itu Kulina atau keturunan yang terhormat itu bukan untuk menghina, merendahkan, dan menghancurkan orang lain.

Sarasamuscya 63 menjelaskan, Arjavam cancramsyam ca damaccendriyanigrahah, Esa sadharano dharmascaturpvarnye bravinmanuh. (Inilah prilaku empat golongan yg patut dilaksanakan: arjawa jujur dan terus terang, anrcangsya tidak mementingkan diri sendiri, dama yaiti menasehati diri sendiri, indriyanigraha mengekang hawa nafsu).

Keempat itulah yang harus dibiasakan oleh empat itu seperti sabda bhatara manu. Maka dalam beberapa bagian penggolongan itu yang baik berasal dari keturunan atau dari kecintaan akan ilahi, maka tentu saja kegelapan karena keturunan adalah yang menjadikan manusia lupa akan kebenaran itu sendiri.

5. Yowana

Yowana artinya masa muda. Masa muda atau masa remaja ini penuh dengan kegairahan hidup, masa gemilang penuh dengan kreatif. Masa ini sebenarnya merupakan kesempatan untuk berbuat banyak dalam menimba berbagai ilmu untuk bekal di kemudian hari. Tetapi masa muda ini juga penuh tantangan, seperti tidak tetap pendirian, goyah, emosi dan belum ada keseimbangan pikiran, sehingga belum tahu ke mana kah arah hidupnya kelak.

Kitab Sarasamuccaya memberikan pedoman sebagai berikut: "Yuwaiwa dharmmam anwicched Yuwā wittam yuwa çrutam, tiryyag bhawati wai dharbha utpatan na ca widdyati".

Dengan memperhatikan petikan sloka di atas dapat diambil intinya bahwa masa muda harus diisi dengan hal-hal yang baik. Masa inilah masa menuntut ilmu, bekerja keras, menciptakan sesuatu yang berguna dan beraktivitas yang baik. Kalau masa muda ini disalahgunakan, atau dimanfaatkan untuk merusak dan merugikan orang lain, maka masa muda yang demikian disebut dengan Yowana. Hal ini perlu dihindari.

6. Sura

Sura artinya minuman keras. Minuman itu kalau diminum melebihi batas akan membuat orang mabuk. Kemabukan membuat orang kehilangan kesadaran, dan akhirnya akan membuat malapetaka. Hal ini harus dijauhi.

Sarasamuscya 325 mengatakan, Samklistakarmanamatipramadam bhuyo nrtam cadr dabhaktinam ca, vicitaragam bahumayinam ca naitan niseveta naradhaman sat. (Inilah orang yang tidak layak dijadikan kawan bergaul, orang yang selalu mengusahakan kesedihan terhadap orang lain, serta buruk laku, yang sangat alpa, yang kata-katanya bohong dusta, orangnya terikat hstinya kepada minuman keras, keenam orang yang sangat keji itulah yang dihindarkan).

7. Kasuran

Kasuran artinya keberanian. Setiap orang perlu memiliki keberanian. Tanpa keberanian orang akan selalu merasa takut. Keberanian di sini dipergunakan untuk dapat mengatasi berbagai masalah dan liku-liku kehidupan. Keberanian yang dilakukan tanpa didasari oleh Dharma, maka keberanian itu akan menjurus kepada perbuatan kejam dan sadis. Keberanian yang demikian itu disebut dengan Kasuran. Hal yang demikian perlu dihindari, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:173).

Sarasamuscya 149 menjelaskan, Ye dhananyapakarthashantii narah svabalamasritah, Na hared dharmakamam ca pramusanti na samsayah. (Jika ada orang yang merampas kekayaan orang lain dengan berpegang pada kekuatannya dan punya pengikut banyak, malahan bukan hanya kekayaan hasil curiannya saja yang terampas darinya, tetapi juga dharma artha kamanya itu turut sirna atas karena perbuatannya).

Menghindari Dampak Negatif Sapta Timira

Agar kita terhindar dari kemabukan atau kegelapan, hendaknya kita selalu berusaha untuk mengendalikan diri dan berdisiplin sehingga mendatangkan keselamatan dan kesejahtraan. Hindu mengajarkan tentang Panca Yama Bratha atau lima cara untuk mengendalikan diri:

a. Ahimsa: tidak menyiksa

b. Brahma cari: tidak melakukan hubungan badan selama masa menuntut ilmu

c. Satya: menepati janji

d. Awyawaharika: melakukan usaha berdasarkan ketulusan

e. Asteya: tidak curang dan tidak mencuri

Ada juga Panca Nyama Brata atau lima macam disiplin dalam memupuk kebiasaan yang baik:

a. Akroda : tidak di kuasai oleh kemarah

b. Guru susrusa :artinya selalu hormat, tekun melaksanakan tuntunan guru

c. Sauca: artinya suci lahir batin

d. Aharalagawa :selalu mengatur jenis dan waktu makan tidak berlebihan.

e. Apramada: artinya taat, tidak sombong mempelajari ajaran suci agama tentang Dasa Yama Bratha atau sepuluh macam disiplin pelaksanaan kesusilan.

Jadi, untuk mencapai kesejahteraan dan keharmonisan dalam kehidupan, hendaknya kita sadar tentang keutamaan terlahir sebagai manusia dan kesadaran sebagai manusia yang memiliki kelebihan dari makhluk lainnya, yaitu: Sabda, Bayu, dan Idep. Untuk itu, marilah bersama-sama menumbuhkan dan mengembangkan perilaku yang baik dalam kehidupan kita. Caranya, dengan mengendalikan Sapta Timira.

Pinandita Dr. I Made Jiwa Astika, M.MT (Rohaniwan Hindu)


Fotografer: Istimewa

Hindu Lainnya Lihat Semua

I Gusti Agung Istri Purwati, S.Sos, M.Fil.H (Penyuluh Agama Hindu Kankemenag Badung, Bali)
Mengatasi Stres

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua