Opini

Mengupas Sisi Hukum Sengketa Lahan Kampus UIII 

Ibnu Anwaruddin

Ibnu Anwaruddin

Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) memasuki babak baru pascaputusan sela PTUN Bandung yang dibacakan pada 23 April 2020. Secara umum, putusan tersebut menegaskan nilai dan semangat dasar Kementerian Agama untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam bidang pendidikan dengan menjunjung tinggi koridor hukum.

UIII dirancang dan dibangun dengan semangat kosmopolit dan berdimensi internasional. Pembangunannya dirasa mendesak dan perlu segera diwujudkan agar segera memberi kontribusi pada upaya membangun peradaban Islam yang moderat di level Internasional.

Meski bernilai urgen, sejauh ini masih ada kendala teknis dalam pembebasan sebagian lahan seluas 142 ha di Cisalak, Depok. Kementerian Agama berkomitmen tinggi untuk menempuh sengketa tersebut dalam koridor hukum hingga berkekuatan hukum tetap.

Kementerian Agama kembali memenangkan gugatan perkara Nomor 137/G/2020/PTUN-BDG pada putusan sela PTUN Bandung, 23 April 2020. Majelis Hakim mengabulkan eksepsi Kuasa Hukum Kementerian Agama dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard/NO).

Kasus sengketa lahan eks LPP RRI yang saat ini diperuntukkan pembangunan kampus UIII di Cisalak Depok terjadi untuk kesekian kalinya. Setidaknya pernah ada 4 gugatan dari beberapa pihak yang telah diputus melalui PTUN Bandung, PN Cibinong, PN Depok, dan PT Bandung. Tercatat gugatan Badan Musyawarah Penghuni Tanah Verpoonding Seluruh Indonesia (BMPTVSI) ke PTUN Bandung saat ini adalah yang kelima kalinya.

Dari 142 ha lahan kampus UIII, sebanyak 326 warga yang mengatasnamakan anggota BMPTVSI mengaku telah menghuni dan menduduki lahan seluas 35 ha sejak jauh hari sebelum UIII dibangun. Entah apa dasar mereka menggugat, yang jelas mereka mengaku sebagai penggarap yang mengklaim memiliki hak menempati dan menggarap lahan yang telah berstatus sebagai tanah negara di bawah penguasaan Departemen Penerangan RI sejak tahun 1980.

Pembangunan kampus UIII merupakan Proyek Strategis Nasional. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Sebagai proyek strategis, tidak boleh ada satu hambatanpun yang dapat menunda pembangunan kampus tersebut. Oleh karenanya, melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor.900/Kep.572-Pemksm/2019, Kementerian Agama telah memberikan santunan kepada sejumlah warga masyarakat yang terdampak, untuk kelancaran pembangunan UIII.

Pemberian santunan tersebut bukanlah sebagai bentuk pengakuan hak oleh negara atas kepemilikan masyarakat di atas lahan kampus UIII. Santunan diberikan sebagai tindaklanjut Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional. Santunan diberikan untuk melakukan pemindahan masyarakat yang menghuni tanah negara. Sedang negara memerlukan lahan tersebut untuk percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Masyarakat yang diberi santunan adalah yang dinilai memenuhi syarat. Setidak-tidaknya telah menghuni dan memanfaatkan tanah secara fisik paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan secara terus-menerus memanfaatkan tanah dengan itikad baik.

Asal Muasal Lahan UIII

Sejumlah masyarakat yang mengatasnamakan BMPTVSI rupanya tidak bersedia menerima santunan yang diberikan negara. Mereka justru berupaya mengganggu pelaksanaan pembangunan kampus UIII. Tak hanya melalui intimidasi dan ancaman terhadap pekerja konstruksi di lokasi pembangunan, BMPTVSI juga menggugat Kementerian Agama melalui gugatan Tata Usaha Negara Nomor.137/G/PTUN-BDG pada akhir 2020 lalu. Gugatan tersebut telah diputus dalam putusan sela oleh Majelis Hakim pada 23 April 2020. Eksepsi dari kuasa hukum Kementerian Agama dikabulkan, gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima.

Hakim menyatakan Penggugat telah salah alamat dalam mengajukan gugatan dengan mempersoalkan status pemilikan lahan eks LPP RRI ke Pangadilan Tata Usaha Negara. Semestinya, pengajuan sengketa kepemilikan merupakan ranah keperdataan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan umum. Penggugat harus terlebih dahulu membuktikan alas hak kepemilikannya, agar memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk dapat mengajukan gugatan.

Rupanya, BMPTVSI belum menyerah, mereka banding terhadap putusan PTUN Bandung yang dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard/NO. Sebuah langkah yang dipaksakan, mengingat terhadap putusan NO, hampir tidak pernah ada yang dikabulkan di negeri ini. Andai menggugat secara perdata ke pengadilan negeri, BMPTVSI pun akan kesulitan membuktikan alas haknya. Mereka tidak punya cukup bukti untuk menguatkan dalil bahwa dirinya memiliki hak atas lahan eks RRI tersebut. Setidaknya itu tergambar lewat alat bukti yang mereka sampaikan di hadapan sidang PTUN beberapa waktu lalu.

Alasan BMPTVSI mem-PTUN-kan keabsahan Sertifikat Hak Pakai Nomor 00002/Cisalak/2018 seluas 1.425.889 M2 an. Kementerian Agama sungguh tidak relevan. Sertifikat Hak Pakai Nomor 00002/Cisalak/2018 an. Kementerian Agama bukanlah sertifikat baru, melainkan pecahan dari Sertifikat Hak Pakai Nomor 00001/Cisalak tanggal 8 Maret 2007 seluas 1.877.360 M2 an. Departemen Penerangan Cq. Direktorat Radio.

Lahan kampus yang mengusung misi memajukan Islam Indonesia sebagai salah satu bagian peradaban dunia ini diperoleh melalui alih guna aset Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI). Pengalihan aset negara tersebut tercatat dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh Direktur Utama LPP RRI, M. Rohanudin dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin , pada 17 Mei 2017 lalu. Setelah dilakukan serah terima, LPP RI dan Kementerian Agama mengurus pemecahan Sertifikat Hak Pakai Nomor 00001/Cisalak tanggal 8 Maret 2007 seluas 1.877.360 M2 an. Departemen Penerangan Cq. Direktorat Radio sehingga terbit Sertifikat Hak Pakai Nomor: 00002/Cisalak tanggal 6 Juni 2018 seluas 1.425.889 M2 an. Kementerian Agama.

Sertifikat Kemenag Sah dan Berkekuatan Hukum

Jauh hari sebelum BMPTVSI mengajukan gugatan kepada Kementerian Agama, sekelompok masyarakat yang mengaku sebagai ahli waris dari Samuel De Meyyer dan Gerald Hugo Faber, menggugat Departemen Penerangan Cq. Direktorat Radio di Pengadilan Negeri Depok. Dalam gugatan Nomor.133/Pdt.G/2009/PN-DPK, Majelis Hakim memutuskan bahwa Departemen Penerangan Cq. Direktorat Radio sebagai pemilik sah aset yang berlokasi di Jl. Raya Bogor, Cisalak, Sukmajaya, Depok. Putusan PN Depok lantas dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dalam perkara Nomor.99/PDT/2012/PT-BDG. Majelis menyatakan sertifikat No.0001/Cisalak Tahun 2007 seluas 1.877.360 M2 an. Departemen Penerangan Cq. Direktorat Radio sah dan berkekuatan hukum.

Pakar hukum pertanahan dari Universitas Indonesia Prof. Ari Sukanti Hutagalung, mengatakan, asal-usul tanah eks LPP RRI tersebut merupakan bekas tanah Eigendom Verponding Nomor 448 Afscricft 279 WL atas nama Samuel De Meyyer Faber. Meski demikian, Eigendom Verponding tersebut tidak memiliki kekuatan hukum karena belum pernah didaftarkan di kantor pendaftaran tanah. Itu artinya, sejak tanggal 28 September 1980 tanah tersebut langsung dikuasai oleh negara. Setelah dikuasai negara, pemerintah melalui Menteri Agraria melimpahkan pemanfaatannya kepada LPP RRI. Hal itu dikemukakan dalam keterangannya selaku ahli dalam sidang gugatan ahli waris Samuel De Meyyer dan Gerald Tugo Faber pada 2007 silam.

Keterangan Guru Besar UI tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa orang-orang Indonesia yang berkewarganegaraan Indonesia tunggal dan mempunyai hak eigendom dalam waktu 6 bulan sejak tanggal 24 September 1960 wajib menegaskan kewarganegaraannya dan mendaftarkan eigendomnya ke kantor pendaftaran tanah. Bagi yang tidak melakukannya, maka tanah bekas eigendom dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan dengan jangka waktu 20 tahun.

Untuk membatasi jangka waktu keberlakuan hak-hak atas tanah bekas hak barat, Presiden Suharto mengeluarkan Keppres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Konversi Hak-Hak Barat. Dalam pasal 1 Kepres tersebut disebutkan bahwa tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai asal konversi hak barat jangka waktunya berakhir tanggal 24 September 1980. Pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan, tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Dalam persidangan di PN Depok terbukti bahwa ahli waris Samuel De Meyyer maupun Gerald Tugo Faber tidak pernah mendaftarkan eigendomnya ke kantor pendaftaran tanah. Dari fakta tersebut, secara otomatis sejak tanggal 24 September 1980 tanah bekas eigendom di Cisalak, Depok tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dan status eigendom verponding 448 Afscricft 279 WL tersebut telah lampau waktu (rechtswerwerking). Sebagai akibatnya, ahli waris Penggugat Gerald Tugo Faber dan Samuel De Meyyer tidak mempunyai hak kepemilikan atas tanah Cisalak Depok.

Putusan Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung hendaknya dapat menjadi dasar semua pihak bersikap proporsional dalam merespon dinamika hukum sengketa lahan kampus UIII. Harus diakui, polemik status lahan eks LPP RRI telah berakhir, dan Sertifikat Hak Pakai yang dimiliki Kementerian Agama merupakan bukti kepemilikan yang sah, tidak layak dipersoalkan dari sisi hukum apapun. Putusan pengadilan tersebut juga telah inkracht sejak tahun 2012 lalu. Artinya, terkait sengketa kepemilikan berdasarkan asal hak barat (eigendom verponding) harus sudah diakhiri. Hal ini dibuktikan dari ditolaknya pihak yang mengaku ahli waris Samuel De Meyyer dan Gerald Hugo Faber yang mencoba masuk sebagai pihak intervensi dalam sidang di PTUN Bandung beberapa waktu lalu, oleh Majelis Hakim.

Sementara itu terkait gugatan BMPTVSI ataupun pihak lain yang mencoba mencari celah dengan memanfaatkan ketidakfahaman masyarakat atas status lahan tersebut harus pula disudahi. Jangan sampai masyarakat yang seharusnya bisa menerima santunan berdasarkan Kepres 32 Tahun 2018 dari pemerintah pada akhirnya harus kehilangan haknya karena pengaruh segelintir orang yang berusaha mencari keuntungan atas sengketa lahan kampus UIII.

Adalah hak warga negara untuk menggugat secara hukum, namun putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap juga wajib dijunjung tinggi dan semua pihak wajib melaksanakannya secara professional dan proporsional.

Ibnu Anwaruddin (Tim Hukum Kemenag atas Sengketa Lahan UIII, Kepala Sub Bagian Hukum Ditjen Pendidikan Islam)

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua