Opini

Mengurai Problematika Hukum Perkawinan Di Bawah Umur di Indonesia

Insan Khoirul Qolbi

Insan Khoirul Qolbi

Belakangan ini kembali muncul pemberitaan perkawinan anak atau kawin di bawah umur atau pernikahan dini. Terbaru adalah pernikahan pasangan berusia 14 dan 16 tahun yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Viral di media, seolah Kementerian Agama adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya pernikahan tersebut karena dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Padahal, penghulu tetap memproses dan mencatatkan pernikahan mereka karena semua persyaratan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah sudah terpenuhi.

UU Perkawinan vs Aturan Lain

UU Perkawinan sebenarnya tidak mengenal adanya perkawinan anak atau pernikahan dewasa. UU Perkawinan hanya memberi batasan minimal usia ideal bagi warga negara untuk menikah, yaitu setelah berumur 21 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, UU Perkawinan membolehkan laki-laki berumur di bawah 19 tahun dan perempuan di bawah 16 tahun untuk menikah, selagi mendapat dispensasi dari pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama.

Di sisi lain, ada sejumlah regulasi yang mendefenisikan anak dengan batasan usia di bawah 18 tahun. Sebut saja UU Perlindingan Anak, UU Kesehatan, UU Pendidikan Nasional dan sekitar 20 regulasi lainnya, semua mendefiniskan anak dalam pengertian tersebut. Dengan demikian, peristiwa menikah di bawah 18 tahun disebut sebagai perkawinan anak.

Tulisan ini mencoba untuk mendudukkan persoalan hukum perkawinan di bawah umur di Indonesia dan mengapa sejumlah pihak mengecam praktik pernikahan anak, serta bagaimana mengharmonisasi regulasi terkait pernikahan di bawah umur tersebut.

Pernikahan dini sejatinya sudah banyak terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 menyebut 25,71% perempuan berusia 20-24 tahun menikah saat umurnya kurang dari 18 tahun. Artinya, 1 dari 4 perempuan Indonesia menikah di usia anak.

Perkawinan anak itu merata hampir di semua provinsi. Sebanyak 23 provinsi dari 34 provinsi memiliki prevalensi pernikahan anak lebih tinggi dari prevalensi nasional. Prevalensi pernikahan anak tertinggi ada di Kalimantan Selatan, yaitu sebanyak 4 dari 10 perempuan dan terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta 1 dari 10 perempuan. (Harian Kompas, 29 April 2018).

Untuk daerah Sulawesi Selatan, menurut data dari Bidang Urais dan Binsyar Kanwil Kemenag Provinsi Sulawesi Selatan, pada tahun 2017 angka pernikahan di bawah umur lebih 500 kali dari total 75.000 peristiwa nikah. Angka tertinggi di Kota Makassar, Kab. Gowa, dan Kab. Bulukumba. (Hasil wawancara dengan Kasi Kepenghuluan Kanwil Kemenag Prov. Sulawesi Selatan).

Menikah Di Bawah Umur, Seberapa Berisiko?

Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menggelar sidang gugatan judicial review tentang batasan usia menikah. Saat ini, MK juga menerima gugatan yang sama. Gugatan pemohon terkait Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengajukan gugatan karena menilai batas usia minimal perempuan menikah dalam UU Perkawinan rentan terhadap kesehatan reproduksi dan tingkat kemiskinan.

YKP berpandangan organ reproduksi perempuan usia tersebut belum siap. Hal itu lalu dikaitkan dengan angka kematian ibu melahirkan yang sangat tinggi. YKP menjadikan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."

Majelis Hakim MK menolak gugatan tersebut. Majelis beralasan penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang, sehingga batasan umur tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang.

Selanjutnya, menurut Majelis, penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan telah sesuai dengan nilai-nilai agama. Sesuai hukum agama, memang tidak

ditentukan sampai pada batas minimal berapa sesorang diizinkan melakukan perkawinan. Dalam hukum agama misalnya Islam, hanya diatur dalam soal baligh, di mana seorang mulai dibebani atau ditaklif dengan beberapa hukum syara'.

Dalam ilmu hukum, terdapat asas lex specialist derogat legi generali, yaitu adanya aturan khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Dalam perkawinan di Indonesia, maka yang menjadi aturan khususnya adalah UU Perkawinan. Sehingga ketika dihadapkan dengan aturan yang bersifat umum, maka kedudukan UU Perkawinan lebih kuat untuk dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan perkawinan. Apalagi dalam aturan yang bersifat umum tersebut tidak ada satu pasal pun yang secara tegas melarang perkawinan anak.

Perlukah Revisi UU Perkawinan dan Penerbitan PERPPU?

Meski MK sudah pernah menolak judicial review terhadap Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan mengenai batas usia perkawinan, masih ada ruang bagi DPR RI sebagai lembaga negara pembentuk undang-undang untuk melakukan revisi terhadap UU Perkawinan tersebut.

Hanya saja, penulis tidak melihat urgensi amandemen terhadap UU Perkawinan tersebut. Selain karena sudah dikuatkan oleh lembaga penafsir tunggal undang-undang, inisiatif ini rentan ditolak masyarakat, utamanya umat Islam.

Alasan lainnya, jika dibaca secara utuh, UU Perkawinan menghendaki batas usia perkawinan adalah 21 tahun (Pasal 6). Hanya saja, karena alasan tertentu, diberikan solusi bagi pasangan yang hendak menikah di bawah umur 21 tahun, misalnya menghindari perzinahan.

Di sini, orang tua dan keluarga dituntut lebih banyak berperan mendorong putra-putrinya menikah setelah menginjak usia ideal. Seandainya terpaksa harus menikah di bawah umur, maka selain izin orang tua, juga harus mendapat dispensasi pengadilan.

Sama halnya revisi, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) oleh Presiden tentang pembatasan usia menikah juga tidak perlu dilakukan. Sebab, menurut penulis tidak ada kegentingan yang memaksa.

Dalam sidang perkara a quo di MK, para pemohon tidak dapat memberikan bukti dampak buruk dari perkawinan anak. Pemohon hanya menyodorkan data praktik perkawinan anak di berbagai daerah. Sehingga menurut Majelis, belum terlihat korelasi yang tegas antara tuntutan para pemohon dengan dampak buruk yang terjadi.

Tawaran Solusi

Alternatif yang bisa dilakukan tanpa merevisi UU Perkawinan dan menerbitkan PERPPU adalah dengan memperkuat fungsi-fungsi kementerian dan kelembagaan dengan menerbitkan aturan teknis untuk mempersulit terjadinya perkawinan di bawah umur. Tentang ini, perlu segera dilakukan pertemuan antara Kementerian Agama, Makamah Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Komisi Negara yang membidangi perlindungan anak. Tujuannya, mencari solusi kebijakan yang bersifat nasional atas permasalahan terjadinya pernikahan dini di Indonesia tanpa harus merevisi UU Perkawinan atau menerbitkan PERPPU.

Ada sejumlah langkah yang hemat penulis bisa dilakukan pemerintah. Pertama, Kementerian Dalam Negeri dapat membuat surat edaran kepada seluruh Kelurahan/Kantor Desa untuk tidak menerbitkan N1, N2, dan N4 kepada warga yang akan menikah di bawah umur.

Kedua, Mahkamah Agung agar mengeluarkan surat edaran kepada seluruh PA di seluruh Indonesia untuk tidak mempermudah keluarnya surat dispensasi kepada catin yang akan menikah apabila belum cukup umur.

Ketiga, apabila poin 1 dan 2 di atas tidak dapat dilakukan, maka perlu pengaturan lebih lanjut bahwa catin di bawah umur sebelum dilaksanakan akad nikah harus mengikuti bimbingan konseling khusus atau tes psikologis dari instansi terkait selain mengikuti kegiatan bimbingan perkawinan (bimwin) di KUA. Apabila dalam konseling khusus dan tes psikologis catin dinyatakan tidak lulus, maka KUA tidak boleh mencatatkan pernikahannya.

Upaya lain yang tidak kalah penting adalah melakukan pendewasaan perkawinan. Proses pendewasaan tersebut tidak selalu terkait dengan usia. Calon pengantin usia muda di Sulsel yang sempat penulis temui di kampungnya, menunjukkan bahwa dia sudah memiliki mental dan kedewasaan untuk menikah, meski umurnya baru 14 tahun. Dia mengetahui betul baik buruknya menikah di usia muda. Mereka juga berkomitmen untuk tidak memiliki anak terlebih dahulu dan terus melanjutkan pendidikannya.

Wallahu a'lam bisshawab.


Insan Khoirul Qolbi

Penulis adalah pelaksana pada Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Kolom Lainnya Lihat Semua