Opini

Mewaspadai Politik Bumi Hangus Keberagaman

Saiful Maarif, Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag

Saiful Maarif, Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag

Saat ini, politik bumi hangus keberagaman tengah berlangsung dengan masif di India. Represi, tindakan kekerasan yang meluas, dan kecenderungan pembiaran konflik rasial membuat penderitaan warga, khususnya muslim India, berada dalam situasi yang mengkhawatirkan.

Tanpa upaya bersama untuk mewaspadai dampak eskalatifnya, pengaruh dan inspirasi negatif dari politik semacam ini sangat terbuka sebagai sebuah kemungkinan. Di luar hambatan India untuk keberhasilan konsolidasi keberagaman pascakemerdekaan mereka, politik bumi hangus terbukti efektif dengan isu segregratif bernuansa agama yang diembuskan demi kepentingan pemilu dan kekuasaan.

Sorotan dunia dan imbauan penghentian atas tindakan represif di India seperti sengaja diabaikan. Ukuran sederhananya adalah pemungggungan dan pengabaian institusi pemerintah India atas komemorasi internasional untuk menghentikan, bahkan memerangi, kebencian terhadap Islam.

Tanggal 15 Maret ditetapkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamophobia. Resolusi PBB ini ditetapkan berdasarkan konsensus 193 anggota badan dunia dan didukung oleh 55 negara. Dengan penetapan ini, Majelis Umum PBB menekankan pentingnya hak atas keyakinan beragama dan berkeyakinan Islam. PBB juga menyeru pentingnya penegakan resolusi PBB 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan.

Namun demikian, beberapa hari kemudian pengadilan di negara bagian Karnataka justru langsung bereaksi frontal dengan mengeluarkan beleid pelarangan pengenaan hijab di kelas-kelas sekolah. Hakim pengadilan setempat menilai bahwa hijab bukanlah bagian dari ekspresi keagamaan Islam. Represi melalui regulasi ini menjadi cermin secara umum penindasan terhadap muslim India hingga kini.

India tengah diguncang oleh penindasan terhadap muslimin dengan latar kepentingan politik yang demikian kuat (Arundhati Roy, 2022). Selaku pengamat sosial dan penulis ternama yang tinggal di India, Arundhati Roy bersaksi, tidak ada komunitas lain di India saat ini yang mendapat perlakuan semengenaskan komunitas muslim India. Semua institusi seolah bersepakat untuk menjadikan muslim India sebagai musuh bersama disertai ekspresi dan tindakan sekeras-kerasnya, di samping tentu saja tindakan diskriminatif.

Misalnya, saat kerusuhan untuk menolak kebijakan rekrutmen tentara di India Utara (16/6/2022) terjadi, para pelaku kerusuhan, yakni para pemuda yang kebanyakan non-muslim, bahkan sampai membakar kantor Bharatiya Janatha Party (BJP). Roy menilai, karena status agama mereka, rumah pribadi, keluarga, hingga rumah ibadah mereka tidak akan dibuldozer pemerintah India. Sebaliknya, rumah ibadah, tempat usaha, dan properti muslim India tengah dihancurkan di berbagai wilayah India dengan alasan dibuat-buat.

Di titik inilah, politik bumi hangus itu terus diekstrapolasi dengan beragam variasi. Upaya ini menjadi efektif dengan bantuan media yang terdiri dari sekitar 400 saluran TV, situs web, dan surat kabar yang tak terhitung jumlahnya. Media ini terus-menerus memompa kefanatikan dan kebencian di kedua sisi Hindu-Muslim.

Akibatnya, mulai muncul perlawanan yang juga mengedepankan pilihan yang sama-sama mengeras. Di tangan kelompok ultranasionalis Hindu, genosida pada muslim terus digelorakan. Menanggapinya, All India Majlis-E-Ittehadul Muslimeen (AIMIM) membenarkan tindakan serupa terhadap umat Hindu.

Dibelah demarkasi tembok tinggi penghinaan dan ancaman pembunuhan dari kedua sisi, sulit menemukan dialog damai, sementara bangunan keberagaman sudah mulai terbakar.

Roy menilai, sejauh ini peluang untuk kembali normal terasa sangat sulit, untuk tidak mengatakannya mustahil. Saat ini di India, bahkan reaksi dan perlawanan muslim atas tindakan represif itu sendiri, betapapun damainya, dianggap sebagai kejahatan keji yang hampir mirip dengan aksi terorisme.

Standar Ganda
Sayangnya, dalam situasi seperti itu solidaritas negara Islam secara global pada muslim India tidak berjalan semestinya. Ahmed T Kuru (2022) menyayangkan, tindakan negara muslim lebih bersifat reaktif. Saat Nupur Sharma, mantan juru bicara BJP, menghina Nabi Muhammad, pemerintahan berbagai negara Islam hingga Amerika, mengecam tindakan tersebut dengan latar masing-masing.

Jika Amerika berkepentingan dengan kedekatan India dan Rusia, protes negara-negara Islam jelas terkait dengan solidaritas iman. Akan tetapi, Kuru menilai, negara-negara pemrotes itu hanya membatasi diri pada tindakan penghinaan Sharma, namun mereka tidak bersuara semestinya terhadap ketimpangan keadilan dan penindasan hak sosial muslim India selama ini. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?

Bahwa tindakan Sharma harus dikecam, itu adalah sebuah keniscayaan karena berupa bentuk penghinaan simbol mendasar keagamaan. Namun, dengan tidak disertai pembelaan terhadap penindasan hak fundamental muslim India, protes negara-negara Islam itu justru menunjukkan standar ganda yang dijalankan negara Islam.

Represi, kekerasan, dan hinaan pada muslim India pada akhirnya terlihat pekat dengan warna politik menjelang pemilu India.

Dalam relasi kepentingan ini, BJP memiliki kepercayaan diri yang tinggi di depan muslim India. Dalam dua pemilihan umum tahun 2014 dan 2019, BJP telah menunjukkan bahwa mereka tidak perlu suara dari 200 jutaan penduduk Muslim India yang kuat untuk memenangkan parlemen. Mereka sudah mendapatkan sepenuhnya dari internal Hindu.

Di titik ini, Roy dan Kuru sepaham, dunia tengah melihat Muslim India yang tengah berada dalam situasi kehilangan hak dasar mereka, dengan politik bumi hangus sebagai perantinya. Dengan politik ini, muslim India menjadi tidak penting lagi, hingga mudah ditekan dan disalahgunakan sesuai kepentingan penguasa.

Di sisi lain, rezim India seperti sadar, negara-negara Islam tetangganya tidak akan berani bersuara lantang tentang represi terhadap Muslim India karena menyadari tindakan mereka sendiri. Penindasan Ahmadiyah, Syiah, dan Hindu oleh pemerintah Pakistan mudah ditemukan. Hal sama terjadi di Iran dengan penindasan terhadap minoritas Turki-Azerbaijan, Balochistan, dan Kurdi.

Jika hal demikian adalah berupa kecerdikan rezim India dalam mengolah isu sektarian menuju tampuk kekuasaan, namun risiko ke depannya jelas mengintai.

Pada komunitas warga Hindu, tumbuh sayap kanan baru yang agresif yang menunjukkan kegelisahan yang nyata. Entitas ini akan semakin sulit dikendalikan oleh pemerintah Narendra Modi, karena mereka adalah basis dukungan inti BJP.

Secara eksternal, kekerasan yang terjadi dan dibiarkan akan menghambat jejaring diplomasi dan politik luar negeri India serta mengancam kelangsungan kepentingan dan misi ekonomi mereka.

Saiful Maarif, Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag

Artikel ini sudah ditayangkan Koran Sindo, 23/6/2022


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua