Opini

Mudik 2022, Menembus Lorong Pandemi untuk Saling Menyembuhkan

Suasana kemacetan mudik 2022 (Foto: istimewa)

Suasana kemacetan mudik 2022 (Foto: istimewa)

Akhirnya mudik juga. Itu cetusan kerinduan umat Islam. Bukan tanpa alasan. Dua tahun sudah kita diterpa pandemi. Pandemi yang sudah dua tahun menerpa kehidupan kita, tidak hanya memorak-porandakan kehidupan perekonomian, juga mendisrupsi tradisi kehidupan keagamaan kita. Secara khusus bagi umat muslim, pandemi mendisrupsi salah satu tradisi terbesarnya yakni, mudik untuk berlebaran.

Mudik Lebaran bukan sekadar pulang kampung karena setiap kita punya udik. Mudik juga bukan sekadar menebus rindu dengan keluarga di kampung halaman, setelah dua tahun rebahan dalam keringat dan air mata. Mudik lebaran juga bukan sekadar sukacita mengakhiri ibadah Ramadan. Bahaya terbesar dari kehidupan keagamaan adalah ketika ia kehilangan perspektif sosial. Mudik Lebaran dengan demikian menjadi momentum untuk merengkuh serta menghadirkan kembali nilai dan relevansi universal agama: menjumpai yang lain, berkumpul, dan bersilaturahmi.

Dua tahun memendam rindu untuk mudik. Tahun ini kerinduan untuk lebaran di kampung halaman bakal dituntaskan. Maka wajar ketika Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi bahwa mudik dibolehkan kembali, sujud syukur menggema di seluruh langit Indonesia sebagai tahun kebangkitan. Berbagai persiapan pun dilakukan. Mulai dengan mencari oleh-oleh, membetulkan onderdil kendaraan, hingga memburu tiket berbagai jenis transportasi.

Not just only for sentimental reasons, jika kita mengingat kembali situasi seputar mudik sepanjang tahun yang telah berlalu sebelum pandemi. Kita di NTT tentu punya cerita padatnya berjejal di atas fery bercampur aduk dengan barang, kendaraan, dan juga hewan ternak. Lebih jauh ke belakang, secara nasional kita tentu masih ingat potret buram orang berebut dan berjubel di kereta api sampai tiarap di atas atap, sebelum Ignatius Jonan mentransformasi sistem perkeretapian di Indonesia. Tetapi bagi pemudik itu bukan soal besar, sebab sesungguhnya saat itu ada suatu kemerdekaan yang coba direbut dan dirayakan kembali, yaitu kemerdekaan untuk hidup tidak usah bersandiwara.

Fenomena mudik sebagai bentuk budaya kerakyatan yang lahir dari perayaan Lebaran, merupakan ekspresi romantisme ritual-ritual urban people yang sehari-hari harus berjuang dengan kerasnya kehidupan dan terpaan pandemi, akan kalis dengan mudik. Para pemudik, merupakan pribadi yang secara naluriah berupaya kembali merengkuh kembali ruh jiwanya setelah sekian lama terlempar di sudut kota entah di bilangan mana yang menguras tenaga dan energi rohani.

Tujuan dan kepentingan yang dikejar mati-matian selama ini di kantor, di pasar, di pabrik, di kaki lima, sekarang dianggap tidak penting dan bahkan boleh dilupakan untuk sementara waktu. Orang dengan penuh semangat berganti diri dari homo faber (manusia tukang, yang bekerja dan berkeringat), menjadi homo ridens (yang tertawa penuh sukacita, ria dan jenaka). Mudik menjadi semacam pembebasan: yang profan dipatahkan, yang kodian dihentikan, dan orang dengan semangat baru penuh kemenangan memasuki bulan Syawal merayakan Idul Fitri. Hari penuh syukur yang kegembiraan dan kedamaiannya meluap menerobosi sekat-sekat kemajemukan bangsa. Yang rahmat dan berkahnya merambah semua orang, yang rasa syukur dan sukacitanya menyentuh seluruh insan, dan yang setia kawannya meluap kepada segenap sesama umat.

Kita bersyukur tahun ini Allah Yang Akbar, Yang Magna Majestate, Yang Mahamurah, lagi Mahapengasih dan Mahapenyayang, Yang Rahman dan Rahim, menganugerahkan kita kesempatan untuk bermudik. Mulai Jumat 29 April 2022 seluruh aktifitas kantor, dihentikan dan orang mulai beranjak menembusi lorong pandemi menuju kampung halaman, meski ada rasa was-was dan cemas akan varian-varian baru Covid-19 yang mengintai di setiap sudutnya.

Hologram waktu selama dua tahun yang penuh kecemasan, raungan sirene, duka dan air mata kehilangan keluarga dan kerabat yang tak bisa dilayati, kini tersublimasi dalam perjalanan mudik, mencari air kesejukan yang puncaknya terdapat dalam perayaan lebaran. Mudik 2022 dengan demikian menjadi semacam perjalanan spiritual menembus lorong pandemi menuju penyembuhan, baik secara fisik karena tuntutan pragmatisme ekonomi, maupun sakit psikis atau mental karena pandemi.

Manusia bukanlah arbeitstier, kuda beban yang harus bekerja tanpa jeda. Mudik 2022 yang kini ada dalam rengkuhan kita, menjadi momentum untuk menepi, mengisi kembali baterai mental untuk kembali bekerja setelah sukacita Lebaran. Pada saat itu orang merasa menjadi lebih fitri karena kembali ke fitrah seperti pada kali pertama diciptakan. Ia menjadi daya juang baru untuk transformasi kehidupan baru pascapandemi. Mudik kali ini menjadi perjalanan penuh luka namun juga sebuah jalan pulang untuk saling menyembuhkan.

“Und setz ihr nicth das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein,” tulis penyair Fiedrich Schiler yang maknanya: hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan. Kalau penggal syair Schiler tersebut boleh diparafrasekan untuk situasi mudik hari ini, maka kita dapat mengatakan dengan versi yang berbeda: Mudik adalah perjalanan keterlukaan menembus lorong pandemi mempertaruhkan hidup, dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri saat Lebaran tiba. Karena kampung halaman, udik, adalah juga simbol dari kerinduan jiwa manusia akan firdaus yang hilang, surga kenikmatan yang lepas dari genggaman Adam, yang menjadi riwayat pengembaraan setiap kita, yang kini coba direngkuh kembali melalui divine spirit dari mudik.

Selamat bermudik, selamat bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat, juga dengan lingkungan hidup kita. Tetap jaga Kesehatan. Sampai jumpa di 09 Mei 2022.

JB Kleden (Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat