Opini

Negara dan Sertifikasi Halal Indonesia

Plt Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf dan Konsultan The Fatwa Center Jakarta M. Fuad Nasar

Plt Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf dan Konsultan The Fatwa Center Jakarta M. Fuad Nasar

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diresmikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada 11 Oktober 2017. Landasan hukum pembentukan BPJPH adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) boleh dibilang merupakan salah satu undang-undang yang terlama pembahasannya di DPR. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang JPH disusun sejak awal 2006, diajukan ke DPR tahun 2008 dan disahkan menjadi undang-undang pada tahun 2014.

Kenapa negara menangani jaminan produk halal? Dalam bahasa regulasi, ialah untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Jaminan Produk Halal adalah menyangkut kepentingan masyarakat luas dan ekonomi nasional.

Sebuah pertanyaan mengemuka, benarkah pemerintah mencabut Sertifikasi Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)?

Kehadiran BPJPH justru memperkuat sertifikasi halal yang telah puluhan tahun ditangani oleh MUI. Sertifikasi halal ditransformasi dan ditingkatkan dari bersifat voluntary menjadi obligatory, artinya sesuatu diwajibkan atas dasar undang-undang untuk kemaslahatan seluruh bangsa.

Dengan kehadiran BPJPH sebagai unit organisasi struktural setingkat Eselon I di Kementerian Agama, sebuah perubahan besar khususnya dalam pengembangan industri halal diharapkan semakin menggelora di negara kita, seperti harapan Menteri Agama dalam pidato peresmian BPJPH.

Bangsa ini harus memiliki institusional memory bahwa Sertifikasi Halal di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan jalan berliku karena tidak semua elemen masyarakat mendukung baik karena alasan politis maupun alasan teknis.

Sertifikat Halal di Indonesia tidak lahir tiba-tiba. Setahu saya perjalanan sejarahnya dimulai dari labelisasi produk nonhalal oleh Departemen Kesehatan tahun 1976. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Pada Makanan Yang Mengandung Bahan Berasal Dari Babi. Surat Keputusan yang ditanda-tangani Menteri Kesehatan Prof. Dr. G.A. Siwabessy mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan “mengandung babi” dan diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih.

Pada perkembangan selanjutnya, proses penerbitan Sertifikasi Halal di Indonesia ditangani oleh MUI setelah dibentuknya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM-MUI) tahun 1989. Kelahiran LPPOM-MUI dilatarbelakangi merebaknya kasus lemak babi yang pada saat itu meresahkan masyarakat.

Sekitar bulan Oktober 1988, surat-surat kabar dan majalah di Jakarta menurunkan berita hasil penelitian Dr. Ir. H. Tri Susanto, M.App.Sc., dosen Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Di dalam hasil penelitian yang dipublikasikan dan ditambah beberapa item di luar daftar sampling yang diteliti, menyebut beberapa jenis makanan mengandung lemak babi, seperti produk susu Dancow, biscuit, coklat, ice cream, kecap dan lain-lain. Pemerintah, mulai dari Presiden, Menteri, DPR dan MUI ikut urun rembug dan turun tangan untuk menenangkan umat Islam yang tersengat karena isu lemak babi.

Pengujian terhadap makanan dan minuman, apakah mengandung babi, tidak sederhana dan mudah. Terknologi yang ada dewasa itu baru bisa mendeteksi sifat-sifat kimia, fisika, biokimia, dari lemak dan daging babi murni sebelum tercampur. Oleh karena itu H.S. Prodjokusumo, Sekretaris Umum MUI, menyatakan hasil penelitian Dr. Ir. H. Tri Susanto merupakan “sedekah” bagi umat Islam. Hikmahnya menunjukkan kemajuan teknologi sejalan dengan kemajuan agama. Selain itu masyarakat semakin tahu membedakan mutu dan kualitas produksi yang baik dan buruk. Hikmah lainnya – menurut penggagas KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) itu – kesadaran untuk menghayati agama di kalangan semua lapisan masyarakat semakin meningkat.

Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri waktu itu menganjurkan kepada umat Islam Indonesia agar menjauhi makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan yang haram, seperti lemak babi. Apabila seorang muslim ragu-ragu terhadap suatu jenis makanan, lebih baik tidak memakannya.

Pada 1 Desember 1988 Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri, Menteri Agama H. Munawir Sjadzali, MA dan Menteri Kesehatan dr. Adhyatma MPH, mengeluarkan imbauan kepada para produsen makanan, termasuk yang dihidangkan di hotel dan restoran, agar memproduksi, memperdagangkan, serta menghidangkan makanan dan minuman yang sungguh-sungguh bersih dari bahan-bahan haram. MUI kemudian membentuk tim yang meninjau pabrik-pabrik yang dicurigai. Media massa mempublikasikan unsur pimpinan MUI sedang minum susu Dancow dan makan mie instant untuk meredam keresahan umat Islam tentang kehalalan produk yang terkena isu kandungan lemak babi.

LPPOM-MUI berdiri pada 6 Januari 1989 bertepatan dengan 26 Jumadil Awal 1409 H. Fondasi awal Jaminan Produk Halal di Indonesia digariskan sejak era kepemimpinan Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri, dengan Ketua LPPOM MUI periode yang pertama ialah Prof. Dr. Ir. M. Amin Aziz dan kemudian Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra.

Undang-Undang Jaminan Produk Halal mengatur kewenangan penerbitan sertifikat halal oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama. Sertifikasi halal yang diatur dalam Undang-Undang JPH kurang pas apabila ditafsirkan seolah negara mencampuri wilayah agama. Penetapan fatwa halal tetap menjadi otoritas MUI. Kewenangan administratif penerbitan sertifikat halal yang dialihkan kepada BPJPH.

Setelah beroperasinya BPJPH, peran dan kewenangan MUI tetap penting dan strategis yaitu memberikan fatwa penetapan kehalalan suatu produk yang kemudian disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar untuk penerbitan sertifikat halal. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI selama ini tetap berlaku sampai jangka waktunya habis. Sinergi dan kerjasama BPJPH dengan MUI antara lain dalam hal Sertifikasi Auditor Syariah, Penetapan Kehalalan Produk, dan Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), menurut hemat saya ini merupakan substansi yang amat penting.

Setiap muslim diperintahkan dalam ajaran Islam supaya memilih konsumsi yang halal dan thayyib (baik) serta menjauhi yang haram demi untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Produk halal dewasa ini bukan hanya makanan, minuman, obat-obatan, melainkan meliputi produk sandang dan bahkan pariwisata halal. Isu halal telah menjadi isu ekonomi yang mendapat perhatian luas dan universal, sama seperti isu ekonomi syariah.

Saya memandang kewenangan penerbitan sertifikat halal oleh Kementerian Agama adalah penguatan dari sistem yang sudah berjalan selama ini. Namun tentu hal itu harus didukung dengan sistem pelayanan yang profesional, cepat, transparan dan akuntabel. BPJPH harus bisa menarik kepercayaan masyarakat dan dunia usaha yang cukup heterogen.

Menurut penjelasan Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kementerian Agama, Mastuki, bahwa BPJPH saat ini tengah mengembangkan registrasi online dalam pelayanan sertifikasi halal. Saya kira itu sangat bagus. Soalnya, ketika kehalalan suatu produk sudah difatwakan MUI, maka dalam waktu tujuh hari kerja, BPJPH sudah harus menerbitkan sertifikasi dan label halal.

Dalam pergerakan ekonomi global, industri halal dewasa ini sudah menjadi trend dunia. Booming industri halal, termasuk pariwisata halal, sedang menggelinding. Saya membaca dalam artikel Irfan Syauqi Beik, Ph.D, “Menanti Paket Kebijakan Industri Halal” bahwa potensi industri halal di negara kita cukup besar dengan angka pertumbuhan rata-rata berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi pada umumnya.

Data Global Islamic Economy Indicator 2017 menyebut Indonesia masuk 10 besar negara konsumen industri halal terbesar di dunia. Untuk belanja makanan halal, negara kita menempati peringkat nomor satu di dunia. Begitu pula di sektor pariwisata halal, Indonesia berada di urutan nomor lima di dunia. Sementara untuk obat-obatan dan kosmetika halal serta keuangan syariah, Indonesia menempati peringkat keenam dan kesepuluh di dunia. Nah, saya kira ke depan agenda kita adalah mengupayakan agar Indonesia jadi negara produsen halal yang masuk peringkat besar dunia. Pada akhirnya itu semua memerlukan kolaborasi dan sinergi di antara semua pemangku kepentingan.

***

M. Fuad Nasar
Plt Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf atau Konsultan The Fatwa Center Jakarta

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua