Opini

New Normal dan Reartikulasi Spirit Beragama

Ahmad Zayadi

Ahmad Zayadi

Dalam beberapa hari terakhir ini ramai diperbincangkan satu istilah yang disebut “The New Normal” di ruang-ruang publik. Banyak pihak yang kemudian menduga dan mengkaitkan new normal sebagai cara hidup baru setelah virus corona “hadir” di bumi dan hingga kini belum ditemukan vaksin sebagai anti virusnya.

Presiden Joko Widodo pertama kali menjelaskan arti kata new normal dalam video converence, Jum’at (15 Mei) yang lalu. Menurut Beliau, new normal berarti cara hidup manusia berubah setelah adanya virus corona. Hal ini mutlak, karena mau tidak mau, manusia menyesuaikan diri supaya tak tertular virus corona.

New normal, adalah juga ajakan untuk kembali produktif dengan berbagai macam aktivitas tetapi tetap dengan menerapkan protokol kesehatan selama masa pandemi covid-19. Presiden Jokowi menegaskan, bahwa kehidupan kita sudah pasti berubah untuk menghadapi resiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru.

Masyhur, masyarakat Indonesia menempatkan agama sebagai rumah besar dan kokoh yang dihuni sejak lahir, tumbuh berkembang dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, tua hingga meninggal dunia. Semua aktivitas dan tahapan kehidupan tidak pernah lepas dari kesadaran beragama. Karenanya, penting untuk menanamkan perspektif spritualitas-agama dalam konteks perubahan cara hidup manusia, untuk kembali produktif, hidup berdampingan dengan corona selama pandemi ini, dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan dengan baik.

Dalam perspektif spritualitas-agama, kita berkeyakinan bahwa tidak ada satupun ciptaan Tuhan, Allah subhanahu wa ta’ala, yang kemudian sia-sia, termasuk wabah. Dengan begitu, kita dapat membaca pesan penting di baliknya. Dalam al-Qur’an, surat al-Imran ayat 190, Allah swt menyatakan “Dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal”. Pada ayat selanjutnya, dijelaskan bahwa orang-orang yang berakal itu ialah mereka yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya mereka berkata) “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau. Maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Perspektif spritualitas-agama yang semacam ini, akan sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Dengan memercayai bahwa tidak ada satu ciptaan-Nya yang sia-sia, manusia akan mampu membaca pesan penting yang dibawa lewat “ujian wabah corona” itu. Karenanya, jika manusia mampu mengambil ibrah dan pembelajaran atas ujian wabah ini, maka ujian ini adalah peluang bagi ummat beragama untuk semakin meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah swt. Penghayatan dan pengamalan yang tulus dan konsisten kepada al-Qur’an akan membuat kita semakin tunduk kepada Sang Pencipta, seraya menyadari betapa kecilnya kita, dan betapa tidak berartinya kita di hadapan kebesaran Allah Swt.

New Normal, sebagai cara hidup baru yang diharapkan lebih bisa konsisten dalam menerapkan protokol kesehatan, hidup berdampingan dengan corona. Cara hidup baru ini tidak hanya berkaitan secara personal, tetapi juga dalam kehidupan keagamaan. New normal, itu juga berarti ada standar baru, budaya, gaya hidup dan bahkan kebiasaan/habit yang baru, yang harus disikapi dengan prasangka yang baik. Dengan berprasangka baik, kita bisa jauh lebih optimistis, menjaga kekuatan, serta akan banyak melahirkan pilihan-pilihan/opsional sebagai jalan keluar untuk mengatasi semua persoalan yang dihadapi.

Legal dan Moral Values

Dalam kondisi seperti ini, menjadi tantangan tersendiri, terutama terkait dengan cara kita memahami dan mengekspresikan sikap keberagamaan kita. Citra tentang agama di masyarakat kita masih lebih menonjol dipahami dan diekspresikan sebagai hukum-hukum agama, daripada menjadi pedoman moral. Akibatnya, ayat-ayat dalam kitab suci yang seharusnya menjadi pedoman moral (moral values) dipaksakan menjadi ayat-ayat hukum (legal formalistic norms).

Padahal, secara substansial, missi utama agama dengan kitab sucinya adalah untuk mempertemukan kehendak dan kasih sayang Tuhan dengan kebutuhan, kehendak dan proses perjalanan kehidupan manusia, dengan menempatkan al-Qur’an sebagai pedoman moral yang mendasari gerak langkah kehidupannya dalam situasi yang berubah seperti apapun.

Karenanya lalu kita diingatkan oleh al-Qur’an, yang menempatkan dirinya sebagai “berkah” dan kita sebagai ummat Islam harus harus mengambil pelajaran darinya. Al-Qur’an, Surat Shad ayat 29 menyatakan “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran mendapatkan pelajaran”. Ini tentu menjadi panduan normative bagi kita, sebuah idealitas yang selalu disampaikan dalam berbagai kesempatan.

Agar ummat beragama bisa memasuki kehidupan baru, pada masa-masa New Normal, dengan terbimbing dan tersinari oleh nilai-nilai agama sebagai rujukannya, maka penting sekali dilakukan re-artikulasi spirit agama oleh kita sebagai ummat beragama. Ikhtiar re-artikulasi ini diharapkan akan dapat menciptakan ummat beragama yang religious-mindedness, suatu kondisi di mana ummat beragama selalu berada dalam keadaan menggenggam dan bukannya mereka yang digenggam oleh nilai-nilai agama.

Dalam kondisi seperti ini, nilai-nilai agama dirasakan sebagai sebuah kebutuhan dan dijadikan sebagai habit oleh para pemeluknya. Dalam keadaan seperti apapun diri kita, selalulah kita kembali dan menyerahkan diri secara aktif, sepenuhnya kepada Tuhan. Kita sangat meyakini bahwa Tuhan senantiasa hadir dalam hidup dan kehidupan kita. Jika segala urusan diserahkan sepenuhnya kepada-Nya setelah berusaha semaksimal mungkin, maka itulah makna hakiki kita sebagai hamba Allah yang senantiasa menggenggam nilai-nilai ajaran agamanya.

Di masa new-normal ini, kita akan hidup berdampingan dengan corona, dengan menerapkan protokol kesehatan sebaik-baiknya. Nilai-nilai agama tampil sebagai rujukan dan sekaligus motivator ummat beragama untuk menjalani kehidupan. Tokoh-tokoh agama dihargai dan diapresiasi sebagai “Sang Pencerah” ketimbang sebagai “mufti” yang menentukan hitam-putihnya kehidupan.

Sebagai Sang Pencerah, ia membawa missi Islam sebagai pembawa rahmat dan pembangunan peradaban yang akan dibuktikan pada realitas empirik. Kita tentu sangat berharap, tidak akan ada lagi lontaran kalimat agitatif dan provokatif melalui media-media sosial yang bisa memantik pro dan kontra yang tidak berujung.

Dalam konteks menanggulangi dampak ekonomi dari pandemi corona, jiwa filantropi ummat manusia akan tetap tersentuh dan bahu-membahu membantu dan mengurangi dampaknya. Protokol kesehatan akan menjadi bagian dari new normal. Kita juga berharap, akan lahir sosok manusia yang secara mental telah ter-evolusi; dekat dengan Tuhan dan sesama ummat manusia, sekaligus memiliki integritas moral dan kepekaan sosial yang tinggi. Semoga.

Ahmad Zayadi (Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua