Nasional

Pemuka Agama dan Pemkab Belu Bahas Masalah Perbatasan

Atambua, NTT, 30/1 (Pikda) - Para pemuka agama yang tergabung dalam Forum Kerjasama antar Pimpinan Agama (FKPA) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan pertemuan khusus membahas persoalan kemasyarakatan dan keamanan di wilayah yang berbatasan dengan Timor Timur (Timtim). Dari Atambua, Senin dilaporkan, pertemuan khusus itu berlangsung di Kantor Bupati Belu, Atambua, dipimpin Bupati Drs Joachim Lopez, dihadiri para pemuka agama dan Muspida Kabupaten Belu. Hadir dan ikut berbicara dalam pertemuan itu, Ketua FKPA wilayah perbatasan NTT dengan Timtim yang juga Uskup Atambua, Mgr. Anton Pain Ratu,SVD.

"Apa yang kami sampaikan pada pertemuan khusus ini sebenarnya sudah dibahas pada Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia di Jakarta pada November 2005 lalu antara lain kekerasan yang dialami masyarakat dan perusakan lingkungan hidup,"kata Uskup Pain Ratu.

Dia mengatakan, pertemuan itu lebih terfokus pada pembahasan masalah-masalah sosial kemasyarakatan di perbatasan dengan Timtim. Setelah memberikan pengantar pertemuan, Sekretaris FKPA Pastor Yanuarius Seran, membacakan pernyataan sikap para pemuka agama Kabupaten Belu dan TTU. Pernyataan sikap itu menyangkut, jaminan keamaman di wilayah perbatasan.

Para pemuka agama menilai, berbagai masalah yang terjadi pasca kemerdekaan Negara Timtim tahun 1999 silam sebagai bukti lemahnya tatanan hukum yang mengatur hubungan antardua negara Indonesia dan Timtim. Kasus penembakan tiga warga sipil Indonesia oleh Polisi Penjaga Perbatasan Timtim (BPU-PNTL) pada 6 Januari 2006 merupakan kasus terkini dari berbagai kasus sejak Timtim memisahkan diri dari Indonesia.

Berbagai masalah yang timbul, kata dia, terkesan tidak ditangani secara serius oleh Pemerintah Indonesia dan Timtim sehingga upaya rekonsiliasi dan repatriasi di antara sesama rakyat Timtim berjalan di tempat. FKPA mendesak pemerintah agar melakukan pendekatan dengan Pemerintah Timtim guna memberikan amnesti bagi semua eks warga Timtim yang pernah terlibat tindakan kekerasan melanggar HAM di Timtim pada masa lalu guna memperlancar repatriasi. Para pemuka agama pun mendesak pemerintah Indonesia dan Timtim menyelesaikan kasus penembakan tiga warga sipil Indonesia atas nama Candido Mariano, Jose Mausorte dan Stanis Maubere pada 6 Januari lalu.

FKKA juga menyoroti keberadaan pasukan TNI di perbatasan dengan menilai, jumlah pasukan dan pos TNI terlalu banyak, sampai ke tengah perkampungan. Menanggapi hal itu, Bupati Belu Drs Joachim Lopez mengatakan, pos-pos jaga TNI di tengah perkampungan sedang diupayakan untuk ditutup. Untuk mencegah penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) ke wilayah Timtim, pemerintah berencana membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di beberapa titik batas seperti Kobalima, Sasitamean dan Haekesak, sehingga masyarakat Timtim yang membutuhkan BBM dapat membelinya di SPBU itu.

Mengenai keberadaan TNI dalam jumlah banyak, kata dia, pimpinan TNI sedang berupaya menempatkan personel TNI organik dari Kodam IX/Udayana untuk menggantikan prajurit penugasan. Pergantian TNI di batas tidak disertai penambahan jumlah prajurit. Sedangkan mengenai insiden Malibaca, Joint Investigative Team (JIT) Indonesia dan Timtim sudah merampungkan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) untuk diserahkan kepada pemerintah kedua negara. Dalam pertemuan itu, selain Uskup Pain Ratu, hadir juga Ketua MUI Belu, Mohammad Hasan, Pdt Isaac Hendrik dan Pdt Cely Dethan dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), sementara dari kalangan TNI hadir antara lain, Danwim 1605 Belu, Letkol Inf Yulius Wijayanto.(ant/smt)

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua