Opini

Pencatatan Nikah Atau Pencatatan Perkawinan?

Insan Khoirul Qolbi

Insan Khoirul Qolbi

Hingga tulisan ini dibuat, penggunaan istilah 'pencatatan nikah' atau 'pencatatan perkawinan' pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan masih diperdebatkan. Muncul arus kuat yang menuntut agar PMA tersebut segera direvisi dan istilah 'perkawinan' diganti ke istilah 'nikah', sebagaimana selama ini telah digunakan.

Ditjen Bimas Islam sebagai unit pemrakarsa mencoba mereviu PMA tersebut, namun masih "gamang" mau memakai istilah yang mana. Pasalnya, jika ingin mengubahnya kepada istilah 'pencatatan nikah', tentu harus memiliki argumentasi yang kuat, baik dari segi filosofis, sosiologis maupun yuridis.

Perdebatan penggunaan istilah antara nikah dengan perkawinan tidak terlepas dari keberadaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (UU PNTR) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Sebab, kedua beleid tersebut yang dijadikan dasar dalam menggunakan istilah nikah atau perkawinan.

Dari aspek yuridis, terdapat kesulitan untuk menentukan kedudukan undang-undang mana yang lebih kuat, UU PNTR atau UU Perkawinan. Apabila menggunakan asas hukum untuk menguji kedua aturan tersebut, maka bisa dikatakan akan terjadi pertentangan. Padahal, dengan menggunakan asas hukum sebagai batu uji diharapkan menemukan solusi dari problematika penggunaan istilah mana yang mau digunakan.

Dalam ilmu hukum, semua hukum positif dalam pembentukannya harus tunduk pada prinsip-prinsip yang ada dalam asas hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 dan 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Arief Sidharta dalam bukunya Refleksi tentang Hukum (tanpa tahun) menyatakan setiap aturan hukum berakar pada suatu asas hukum, yakni ‘suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan penataan masyarakat secara tepat dan adil’.

Asas-asas hukum, menurut Arief Sidharta, berfungsi, antara lain, untuk menetapkan wilayah penerapan aturan hukum pada penafsiran atau penemuan hukum, sebagai kaidah kritis terhadap aturan hukum, kaidah penilai dalam menetapkan legitimitasi aturan hukum, kaidah yang mempersatukan aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum, menjaga/memelihara konsistensi dan koherensi aturan-aturan hukum.

Pertentangan Asas Hukum
Terdapat dua asas hukum yang bertentangan dalam menguji UU PNTR dan UU Perkawinan, yaitu asas lex specialis derogat legi generali dengan asas lex postiori derogat legi priori. Asas lex specialis derogat legi generali mengandung makna, bahwa aturan khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Sebagai contoh klasik hubungan aturan hukum umum dan aturan hukum khusus adalah antara ketentuan dalam KUHPerdata (BW) dengan KUHDagang (WvK).

Dalam bukunya berjudul Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Bagir Manan menyebutkan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generali, yakni sebagai berikut:
a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Mengapa yang ditonjolkan prinsip aturan hukum umum tetap berlaku? Karena aturan hukum khusus merupakan pengecualian dari aturan hukum umum.
b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).
c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generali (sama-sama harus hukum perdata atau sama-sama hukum tata negara).

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah UU PNTR bisa disebut sebagai lex specialis dari UU Perkawinan? Jika jawabannya iya, maka istilah pencatatan 'nikah' lebih tepat digunakan dalam PMA 19 Tahun 2018. Namun, tidak semudah itu juga kita harus menggunakan asas lex specialis derogat legi generali. Sebab, ternyata ada asas lain yang mengharuskan penggunaan istilah pencatatan 'perkawinan', yaitu asas lex postiori derogat legi priori.

Asas lex posterior derogat legi priori mengandung makna bahwa aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Menurut Bagir Manan, asas lex postiori derogat legi priori mengandung makna tidak untuk memilih salah satu di antara dua aturan, melainkan mewajibkan menggunakan hukum yang lebih baru.

Hal itu bertujuan agar asas tersebut dapat mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan asas ini, menurut Bagir Manan, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku. Tetapi telah menjadi kelaziman teknik perundang-undangan memuat ketentuan pencabutan sebagai suatu bentuk pencegahan kerancuan dan demi kepastian hukum.

Dari uraian di atas, dapat dilihat telah terjadi pertentangan di antara kedua asas hukum tersebut. Asas lex specialis menguatkan UU PNTR dan asas lex priori derogat legi priori menyokong UU Perkawinan. Lantas, bagaimana solusinya? Istilah mana yang lebih tepat digunakan, pencatatan nikah atau pencatatan perkawinan?

Dalam praktik, berbagai asas hukum dapat saja saling bertentangan dalam keberlakuan hukum positif. Jika terjadi demikian, menurut Arief Sidharta, penggunaan asas hukum tertentu akan ditentukan oleh akal budi dan nurani manusia. Sebab, menurut Arif, mengutip D.H.M. Meuwissen, asas-asas hukum dalam digolongkan dalam klasifikasi sebagai berikut:

Pertama, asas-asas hukum materiil: respek terhadap kepribadian manusia, respek terhadap aspek-aspek kerohanian dan aspek-aspek kejasmanian dari keberadaan manusia sebagai pribadi asas kepercayaan yang menuntut sikap timbal-balik, asas pertanggungjawaban, dan asas keadilan. Kedua, asas hukum formal: asas konsistensi, asas kepastian, dan asas persamaan.

Artinya, mengacu pada aspek-aspek yang disebutkan Arif Sidharta, maka penggunaan istilah diserahkan kepada pembuat regulasi, dalam hal ini adalah Menteri Agama dengan mempertimbangkan aspirasi dari user atau pengguna regulasi tersebut, yaitu para penghulu yang bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.

Kemudian, mempertimbangkan aspek sosiologis dan sejarah juga tidak kalah penting dari pada sekedar melihat aspek yuridisnya. Bahwa selama ini sudah jamak dan lazim digunakan adalah istilah nikah bagi pasangan anak manusia yang akan dipersatukan dalam mengarungi rumah tangga secara kekal dan bahagia, yang akadnya dilangsungkan secara agama Islam, bukan perkawinan atau kawin. Pembuat aturan harus menghitung dampak yang ditimbulkan dari penggantian sebuah istilah yang memiliki efek turunan yang sangat panjang. Wallahu a'lam.

Insan Khoirul Qolbi (Penyusun Bahan Pengembangan SDM Kepenghuluan Ditjen Bimas Islam).

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua