Opini

Pendekatan Edukatif dalam Penanganan Radikalisme

Kang Fandi

Kang Fandi

Dilaporkan banyak media kalau tugas Menteri Agama berlatarbelakang militer kali ini adalah fokus pada penanganan isu radikalisme atas nama agama. Konon itu arahan Presiden Jokowi. Disadari bahwa fenomena radikalisme dan intoleransi di Indonesia tergolong mengkhawatirkan. Segala rencana dan komitmen pembangunan pasti berantakan jika fenomena itu terus berkembang massif. Mimpi Jokowi membawa Indonesia Maju bakal gagal karenanya. So, perlu pengendalian dan penanganan serius atas fenomena radikalisme ini. Bila perlu, dengan pendekatan militeristik.

Hari-hari awal kerja sebagai Menag, Fachrul Razi pun sudah mengundang perhatian publik. Sejumlah pernyataannya dilansir terkait isu radikalisme. Sepintas, karena mungkin belum berdiskusi langsung, ia terkesan garang. Ia meluncurkan jurus-jurus khusus antara lain menangani fenomena pembodohan umat oleh para ustadz, pengaturan cadar dan celana cingkrang, dan pendirian rumah ibadah. Hal yang masih relatif lepas dari perhatian Fachrul Razi adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan pendidikan dalam mewujudkan pola beragama rahmatan lil 'alamin. Mengabaikan kekuatan pendidikan hanya akan menjadikan pernyataan-pernyataan Menag terkait pencegahan radikalisme tidak lebih dari cari perhatian saja.

Tanggungjawab Kementerian Agama dalam bidang pendidikan sangat strategis. Ia mengelola madrasah, mulai Raudlatul Athfal sampai jenjang Aliyah. Ia juga mengurusi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dalam semua jenjang dan semua agama. Lebih dari itu, Kementerian Agama juga bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan agama di seluruh sekolah, mulai PAUD sampai dengan pendidikan tinggi. Terbayang berapa juta anak bangsa menggantungkan masa depan persepsi dan pola keberagamaannya pada pembelajaran agama di bawah tanggung jawab Kementerian Agama. So, seriuslah berfikir soal pendidikan agama.

Posisi agama dalam perkembangan pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini cukup unik. Ia tidak sekedar menjadi mata pelajaran yang harus diikuti semua siswa. Lebih dari itu, agama sudah menjadi identitas keunggulan sebuah sekolah yang diminati publik. Sekolah unggul pada umumnya identik dengan sekolah yang berlabel dan berorientasi agama. Di sekolah-sekolah ini, materi agama diperkuat dengan berbagai kelas dan program tambahan. Hal yang sangat menarik adalah bahwa penguatan materi agama pada sekolah itu tidak melulu didorong oleh guru-guru agama melainkan oleh guru-guru bidang studi non-Pendidikan Agama.

Dalam banyak kasus, bahkan dorongan pendidikan agama oleh guru-guru non-Pendidikan Agama (PA) jauh lebih menarik di mata siswa. Mengapa demikian? Karena guru-guru non-PA pada umumnya menawarkan argumen agama dengan pendekatan saintifik yang familiar dengan cita rasa milenial. Mereka juga mampu membawakan proses pembelajarannya dengan pendekatan lebih kreatif. Di mata siswa, guru-guru non-PA yang mendakwahkan agama adalah idola atau role-model: Otak Jerman, Hati Makkah. Para siswa lebih bangga mengikuti pandangan mereka daripada pandangam guru-guru agama.

Gambaran di atas menegaskan bahwa pendidikan agama di sekolah masih menjadi pekerjaan besar yang terabaikan. Sebegitu vital kedudukan pendidikan agama dalam pembentukan karakter siswa, penanganannya oleh pemerintah masih setengah-hati: di internal Kementerian Agama dianaktirikan, di Dinas Pendidikan/Kemendikbud diabaikan. Anggaran pengembangan pendidikan agama sangat minim sehingga tidak memadai untuk menggalakkan peningkatan mutu dan kesejahteraan guru-pendidikan agama.

Dalam situasi minim perhatian inilah, sentuhan dari kelompok-kelompok gerakan agama masuk dan menyapa para siswa. Kehausan mereka akan ajaran agama direspons oleh sebagian guru non-pendidikan agama yang terafiliasi dengan gerakan agama yang agresif. Para siswa tidak saja diajarkan materi-materi agama melalui berbagai forum tetapi juga dikader dan didoktrin dengan perspektif fundamentalisme dan tekstualisme. Hebatnya, para siswa yang terkader militan ini kemudian bergerak di lingkungan sekolah dengan memanfaatkan instrumen sekolah, bukan instrumen gerakan agama dari luar sekolah.

Investasi gerakan fundamentalisme dalam mengkader para siswa seperti digambarkan di atas sudah berlangsung lama. Wajar jika fenomena ini sudah menyebar sedemikian massif dan bahkan terinternalisasi ke dalam sistem pendidikan sekolah. Faham dan pandangan mereka sudah diadopsi ke dalam buku, program, dan instrumen sekolah. Sehingga, setiap upaya untuk mempromosikan faham moderat dalam beragama dinilai sebagai intervensi bahkan ditentang.

Guru-guru agama yang dibina Kementerian Agama menghadapi beban yang berat dalam mengawal moderasi beragama. Setiap idiom, usaha, dan pendekatan mereka dalam hal ini menghadapi resistensi. TIdak saja dari kelompok siswa bahkan juga dari lingkungan internal sekolah sendiri. Jika guru-guru agama dibiarkan lemah tanpa penguatan gizi dan profesi, jangan kaget manakala nanti jutaan anak-anak bangsa terpapar paham radikalisme dan intoleran. Jika ini benar terjadi, obsesi Presiden menghadirkan Indonesia Maju hanyalah mimpi kosong belaka. Inilah PR sesungguhnya buat duet Menag Fachrul Razi dan Wamenag Zaenut Tauhid. Wallahu a’lam bish-shawab

Kang Fandi
Dosen IAIN Cirebon

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Kolom Lainnya Lihat Semua