Nasional

Pengamat Nilai BPIH 2023 Beraroma Skema Ponzi?

Raker Komisi VIII DPR

Raker Komisi VIII DPR

Jakarta (Kemenag) --- Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1444 H/2023 telah disepakati rata-rata sebesar Rp90.050.637,26. Ada dua komponen didalamnya, yaitu: Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) Rp49.812.700,26,- (55,3%), dan dana nilai manfaat pengelolaan keuangan haji dari BPKH sebesar Rp40.237.937,00 (44.7%). Sehingga, total biaya yang bersumber dari nilai manfaat mencapai Rp8.090.360.327.213,67.

Hal ini berbeda dengan usulan Kemenag dimana rata-rata BPIH per jemaah sebesar Rp 98.893.909, dengan komposisi Bipih Rp 69.193.733 (70 %) dan nilai manfaat sebesar Rp 29.700.175 (30 %).

Pengamat perhajian Indonesia yang juga Ketua Komnas Haji dan Umrah/Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Mustolih Siradj menilai ada yang perlu diwaspadai pada BPIH tahun ini. Keputusan dalam raker yang berlangsung di gedung DPR itu dinilai memang sedang berpihak kepada 203 ribu jemaah haji regular yang berangkat pada tahun ini. Sebab, dapat menekan biaya sedemikian rupa sehingga pelunasan jemaah lebih kecil dari usulan Kemenag. Bahkan, ada keputusan politik bahwa sekitar 84 ribu jemaah haji lunas tunda tahun 2020 dibebaskan dari biaya pelunasan. Sementara jemaah lunas tunda tahun 1444 H/2022 M membayar Rp 9,4 juta, dan jemaah tahun 2023 membayar Rp23, 5juta.

"Jika dicermati lebih seksama, keputusan di DPR tadi malam sesungguhnya merupakan keputusan yang berorientasi jangka pendek semata dan bercampur muatan politis, maklum di tahun politik seperti sekarang dimana pemilu akan digelar tahun depan tentu DPR tidak ingin popularitasnya anjlok dan kehilangan pamor di masyarakat," terang Mustolih dalam siaran persnya, Kamis (16/2/2023).

"Sehingga yang dikorbankan adalah kepentingan dari 5,2 juta jemaah haji tunggu yang masa antrinya bisa mencapai 60 tahun mendatang baru berangkat," sambungnya.

Menurut Mustolih, nilai manfaat yang seharusnya menjadi hak mereka diambil lebih dahulu untuk menambal/mensubsidi biaya jemaah haji pada tahun ini. Sehingga, seolah-olah biayanya murah dengan bantuan subsidi biaya berkisar Rp. 40.237.937 juta /per orang.

Jika dibandingkan dengan jemaah haji tunggu yang jumlahnya 5,2 juta, lanjut Mustolih, mereka hanya diberikan imbal hasil rata-rata Rp2 triliun (20 %) yang disalurkan melalui virtual account (VA). Jika dibreakdown, nilainya Rp350 ribu per jemaah per tahun. "Kemenag dan BPKH tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti kemauan DPR, karena DPR punya senjata pamungkas yakni Pasal 47 ayat 1 UU Nomor 8/2019 dimana BPIH harus mendapat persetujuan DPR," tegasnya.

Mustolih menilai, subsidi semacam ini sejatinya tidak memiliki landasan hukum. Sebab, jika merujuk pada UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (PKH) pengelolaan dana haji oleh BPKH harus menggunakan sistem syariah, yakni menggunakan akad wakalah. Sehingga, setoran pokok maupun hasil kelolaannya merupakan hak dari jemaah itu sendiri (shohibul maal). Hal tersebut dipertegas melalui Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Pengelolaan Keuangan Salinan Tahun 2oi4 tentang Haji. Hal ini dipertegas juga oleh Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI IV Tahun 2012 dan Fatwa DSN MUI Nomor 122/DSN-MUI/DSN/II/2018 tentang Pengelolaan Dana BPIH dan BPIH Khusus Berdasarkan Prinsip Syariah.

Subsidi dan tambal sulam seperti ini, kata Mustolih, sesungguhnya mengadopsi skema Ponzi (Ponzi Sceam). Konsep ini digagas oleh Charles Ponzi, pebisnis asal Amerika Serikat, di mana jemaah haji yang lebih dahulu berangkat dibiayai dari uang jemaah yang masih menunggu antrian.

Jika melihat data dari BPKH sejak efektif dibentuk tahun 2017, skema Ponzi memang tidak terhindarkan rinciannya sebagai berikut:

- Tahun 2018, nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp5,7 triliun. Pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp777,3 milyar, sedangkan subsidi kepada jemaah haji tahun berjalan menguras dana sebesar Rp6,54 triliun

- Tahun 2019, nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp7,36 trilyun. Pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp1,08 triliun, sedangkan subsidi kepada jemaah haji tahun berjalan menggerus dana sebesar Rp6,81 triliun

- Tahun 2020, nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp7,43 triliun. Pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp2 triliun, sedangkan subsidi kepada jemaah haji tahun berjalan 0 karena tidak ada pemberangkatan haji akibat Covid-19

- Tahun 2021, nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp10,52 triliun. Pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp2,5 triliun, sedangkan subsidi kepada jemaah haji tahun berjalan 0 karena tidak ada pemberangkatan haji akibat Covid-19

- Tahun 2022, nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp10,8 triliun. Pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp2,06 triliun, sedangkan subsidi kepada jemaah haji tahun berjalan menggelontorkan dana Rp5,47 triliun. Padahal kuota haji regular ketika itu hanya 92.825 orang dari total kuota resmi 100.051 yang diberikan Arab Saudi.

- Sisa cadangan nilai manfaat di BPKH lebih kurang hanya ada Rp15 triliun

"Tentu saja yang untung adalah jemaah haji yang lebih dahulu berangkat. Mereka yang puluhan tahun antri nasibnya terancam ‘buntung’ karena tidak mendapatkan subsidi sebab dananya sudah dikuras dan terpakai lebih dahulu apalagi ada bayang-bayang ancaman inflasi, krisis global, liberalisasi kebijakan haji dan kenaikan pajak di Arab Saudi dan sebagainya," tegasnya.

Mustolih menambahkan, keberlangsungan nilai manfaat dana haji terancam habis, setidaknya hanya mampu bertahan sampai 2026 atau 2027. Hal ini sebagaimana yang disimulasikan BPKH dan dipaparkan di depan Komisi VIII DPR RI. Sebab, skema investasi yang didapat selama ini tidak bergerak, hanya di kisaran 6 - 7,5 persen per tahun.

"Tapi DPR justru tetap memilih melanggengkan dan mempertahankan skema Ponzi," jelasnya.

DPR dan para pemangku kebijakan, kata Mustolih, seharusnya belajar pada praktik skema Ponzi yang pernah digunakan First Travel dan Abu Tour. Sistem subsidi antar jemaah itu tidak bisa bertahan lama dan membuat perusahaan itu ambruk. Akhirnya mereka tumbang dan ratusan ribu jemaahnya menjerit karena gagal berangkat. Pada akhirnya pimpinan travel tersebut dihukum masuk bui sampai puluhan tahun.

"Pengelolaan dana haji tidak boleh seperti itu," pesan Mustolih.

Konsep BPIH 70% biaya dipikul jemaah dan 30% pembiayaan dari nilai manfaat yang diusulkan Kemenag, sebut Mustolih, harusnya yang digunakan DPR, sebagai konsep yang ideal berimbang, berkeadilan dan proporsional untuk melindungi hak haji tunggu dan keberlanjutan dana haji. Hal ini sebenarnya juga diakui oleh Ketua Panja Komisi VIII sehingga dana haji memiliki nafas panjang. Sayangnya, Komisi VIII mengambil jalan pintas untuk menyenangkan jemaah haji yang berangkat. Padahal di saat yang sama kebijakan ini akan menjadi bom waktu yang dalam beberapa tahun ke depan, cepat atau lambat, akan meledak sehingga merepotkan dan merugikan semua pihak, khususnya 5,2 juta jemaah haji tunggu.

"Skema ponzi dana haji harus segera diakhiri dan dijauhkan dari politisasi!," tandasnya.

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua