Opini

Persaudaraan, Semangat Kementerian Agama Baru

Yakobus Beda Kleden

Yakobus Beda Kleden

Pada saat dilantik menjadi Menteri Agama oleh Presiden Joko Widodo (23/12/2020), Yaqut Cholil Qoumas menyatakan tekadnya menjadikan agama sebagai inspirasi. Tekad tersebut kemudian dirumuskannya dalam sambutan perdananya pada Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama ke-75 (5/1/2021), “Saya ingin mengingatkan tentang semangat Kementerian Agama baru dan semangat baru dalam mengelola Kementerian Agama”. Salah satu kata kunci dalam semangat baru itu adalah persaudaraan yang meliputi persaudaraan umat seagama, persaudaraan sebangsa dan setanah air dan persaudaraan kemanusiaan.

Karl Popper mengatakan, pada umumnya manusia dan masyarakat menjadi maju bukan karena menemukan lebih banyak kebenaran dan mempertahankannya tetapi karena lebih banyak kesalahan dan menyingkirkannya. Atas cara yang sama, kita bisa mengatakan tekad Gus Menteri kita bukanlah sebuah citarasa intelektual membangun sistem baru, tetapi sebuah kesungguhan menghadapi persoalan yang sedang dihadapi umat beragama yang urgen dan mendesak untuk diselesaikan dengan pola dan semangat baru.

Salah satu masalah penting dalam urusan yang berhubung dengan kehidupan agama adalah hubungan di antara satu agama dan agama lain. Sebab, Indonesia mengakui beberapa agama dengan hak hidupnya dalam negara ini. Bila agama disalahgunakan, untuk memancing emosi demi tujuan-tujuan yang tidak sehat, akibatnya bisa sangat destruktif dan mengerikan.

Persoalan ini tidak dapat hanya dijawab negara dengan menciptakan struktur dan perangkat perundangan. Struktur dan perangkat perundangan memang diperlukan, namun jaminan legal formal negara harus didukung oleh kesadaran berdemokrasi dan gagasan teologis yang mengakui hak setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing.

Negara demokratis memerlukan warga negara yang memiliki sikap hormat terhadap sesama warganya, kesediaan berkorban dan bertanggungjawab, solidaritas dan ketaatan kepada apa yang telah disepakati bersama. Sikap-sikap ini diperlukan negara demokratis, namun tidak dapat diproduksi sendiri. Pembentukan sikap-sikap di atas sebagai peran dari elemen prapolitik, termasuk agama.

Negara berperan dengan memajukan kesadaran berdemokrasi dan menetapkan peraturan perundangan yang menjamin kebebasan beragama. Agama berperan sebagai sumber argumentasi esensial yang memberikan pendasaran teologis bagi upaya dialogal dan solidaritas dan mempromosikannya. Dalam bahasa Gus Menteri, agama menginspirasi.

Upaya membangun kerukunan sering mesti berhadapan dengan satu masalah kemanusiaan yang sangat besar, yang menampakkan dirinya sebagai sumber kekerasan dalam relasi antar agama, yaitu ketakutan dalam menghadapi yang lain. Yang lain berada di hadapan kita dalam suatu hubungan konfrontatif yang bervariasi dari pengambilan jarak sosial tanpa kekerasan, seperti rasa tak suka dan mengabaikan, sampai pada konflik dengan kekerasan. Kita terpenjara dalam rasa takut untuk bersentuhan.

Kita memang rukun, namun sebagian baru pada tahap rukun bertetangga, belum sampai ke level rukun bersaudara. Rukun bertetangga adalah measure of mind untuk berkorelasi dan berinteraksi secara sosial. Toleransi bertetangga sering sebatas memberikan kelonggaran terhadap tetangga untuk melaksanakan kewajibannya, karena kita tidak berdaya meniadakan mereka.

Tuntutan yang semakin besar untuk membentuk komunitas perjuangan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat lagi mempertahankan kerukunan yang didasarkan pada kebaikan agama kita membiarkan kehadiran agama lain dalam batas yang bisa ditolerirnya. Kita perlu menjadi saudara, yang mesti bertanggungjawab atas yang lain sebagai saudara. Kita jangan menjadi homo incurvatus, manusia yang melengkung memeluk Tuhan dalam dirinya sendiri, tapi tidak mau melihat dan tidak mau mempunyai perspektif keluar dari dirinya.

Orang beragama musti menyadari bahwa beragama adalah sebuah panggilan untuk membela manusia, khususnya mereka yang dipaksa menderita secara tidak adil. Menghayati agama untuk kemanusiaan akan menjadikan agama sebagai penyulut harapan, bukan horor yang menakutkan dan memangkas semangat hidup.

Dalam perspektif ini, tekad Gus Yaqut mengembangkan persaudaraan kemanusiaan sebagai semangat Kementerian Agama baru dan semangat baru dalam mengelola Kementerian Agama terasa bagai untaian doa di tengah pandemi rasisme dan fundalisme religious yang mengisolasi. “Human Fraternity For World Peace and Living Together”, demikian nama dokumen yang ditandatangani bersama antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Ashar, Ahmad Al-Tayyeb. Persaudaraan kemanusiaan untuk perdamaian dunia, juga kelangsungan hidup bersama. “We must love one another or die,” tulis W.H. Auden dalam sajaknya ‘September 1, 1933’ di awal PD II, namun intinya arif untuk menyadarkan kita akan visi tua bangsa-bangsa, kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama bahwa kita semua bersaudara.

Kita berharap semangat Kementerian Agama Baru dan Semangat Baru dalam Mengelola Kementerian Agama yang dicanangkan Gus Menteri ini, dapat mengatasi defisit teologis mengenai kebebasan beragama dan kerukunan dengan memperbanyak pengalaman interaksi yang intensif antar umat beragama melalui strukturnya di seluruh Indonesia. Ada dedikasi yang tulus membawa Kementerian Agama untuk beralih dari the ethics of obedience to the ethics of responsibility agar semua agama dapat mereproduksi diri secara wajar dalam NKRI.

Yakobus Beda Kleden (Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang)

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat