Feature

Potret Toleransi Warga Flores Timur: Sayang Saudara, Tak Menyoal Beda

Rapat bulanan FKUB di Kantor Kemenag Flores Timur

Rapat bulanan FKUB di Kantor Kemenag Flores Timur

Bersafari ke seluruh wilayah kabupaten Flores Timur, di sepanjang 2022, memberi kesempatan bagi saya untuk berjumpa dengan sesama saudara beragam agama. Hal itu menjadi pengalaman yang asyik, menyenangkan, dan bermakna. Masyarakat diajak berbagi pengalaman tentang realitas kerukunan, toleransi, dan moderasi beragama.

Semua mengatakan, bahwa selama ini mereka hidup rukun. Kerukunan, toleransi, dan moderasi merupakan nilai budaya yang diwariskan leluhur. Sejak terbentuknya Lewotana (kampung) sudah ada sikap saling menerima antara suku asli ( Ile Jadi ) dan suku pendatang ( Tena Mao, Sina Jawa ). Perjumpaan itu mengakhiri pengembaraan suku asli, dan mereka bersepakat untuk bersama membangun kampung.

Mereka juga menandaskan, bahwa sebelum kedatangan agama, sudah ada budaya dan adat dengan nilai-nilainya yang menjadi perekat keutuhan Lewotana. Mereka saling menerima sebagai saudara, tanpa menyoal perbedaan, bahkan saling mengakui dan menghormati perbedaan itu.

Ketika melakukan kegiatan dialog di kecamatan Ile Mandiri, Asyril K, Lamabelawa, Ketua Remaja Masjid Delang, mengatakan bahwa masyarakat sudah terbiasa membangun kebersamaan dan kerjasama walau ada perbedaan agama di antara mereka. Ditandaskannya, "Menurut ajaran Islam, selain akidah dan ibadat, kita dapat bersama dan bekerja sama dalam semua aspek kehidupan."

Asyril pun melanjutkan cerita, "Tahun lalu, berlangsung pesta Imam Baru. Umat Muslim di Delang sebanyak 568 orang dipercayakan untuk mengatur acara penjemputan. Kami total mengurus semua hal dan itu mengharukan."

Kepala Desa Mudakeputu, Yohanes Purin Weking angkat bicara,"Tanah hunian orang Muslim di Delang merupakan tanah ulayat desa Mudakeputu dan desa Tiwatobi. Leluhur telah mengiklaskan lokasi itu bagi masyarakat muslim. Keputusan leluhur tidak dapat dimentahkan generasi kemudian."

Lain lagi cerita Kepala Desa Wailolong, Vinsen Bugis Hurin. Dia berkata, "Jumlah penduduk 1.700 jiwa. Di antaranya, 21 Muslim dan 7 Protestan. Suatu ketika ada kematian warga Muslim. Mereka hendak memakamkan jenazah itu di kelurahan Ekasapta yang semua penduduknya muslim. Oleh Kepala Desa niat itu dibatalkan dan mengiklaskan sebidang tanah untuk lokasi pemakaman warga muslim."

Masih banyak cerita kerukunan, toleransi dan moderasi dalam masyarakat lokal sebagai hal baik yang diwariskan turun-temurun, yang dapat memberi inspirasi dan motivasi bagi upaya tetap merawat keutuhan NKRI.

Memang berbeda konteks lokal dan nasional. Namun sejarah berkisah, NKRI merupakan buah perjuangan bersama. Tidak ada alasan pihak tertentu mengklaim sebagai miliknya sendiri, berapa pun besarnya jumlah pihak itu. Kontribusi tidak hanya diukur dari kuantitas tapi juga kualitas.

Salam dari Flores untuk semua saudara sebangsa dan setanah air. Serukan kepada Ibu Pertiwi: NKRI harga mati.

Bernard Tukan (anggota FKUB Flores Timur)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Feature Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua