Opini

Problem Anak Berkebutuhan Khusus dalam Pendidikan Agama Islam

Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag)

Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag)

Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RAN PD) adalah dokumen Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional terkait penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang merupakan penjabaran RIPD (Rencana Induk Penyandang Disabilitas). Melalui regulasi ini pemerintah mengupayakan berbagai program dan kebijakan yang langsung menyentuh kebutuhan penyandang disabilitas.

Dalam kaitan ini, secara eksplisit perspektif semangat yang dikembangkan, sebagaimana disuarakan dalam forum 12th International Conference on Special Education In South East Asia Region (ICSAR) di Bali pada 2021, mengarah pada "komitmen dan layanan terhadap disabilitas yang dipandang merupakan ukuran terhadap kemajuan peradaban sebuah bangsa". Komitmen yang disampaikan dalam konteks Hari Disabilitas Internasional ini tentu saja mulia sebagai niat, terlebih dengan slogan yang terkait kemajuan peradaban bangsa.

Namun demikian, hal tersebut patut didalami lebih jauh dari sudut aspek implementasinya, misalnya dalam konteks layanan pendidikan Agama Islam bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pasalnya, Pendidikan Agama Islam bagi Anak Berkebutuhan Khusus mengalami tantangan yang tidak mudah, jika bukan malah lebih sering berupa kealpaan berbagai pihak terkait.

Salah satu kendala serius tentang ABK dalam kaitannya dengan PAI adalah pandangan stigmatis tentang ABK. Mereka masih dipandang sebagai problem sosial dan cenderung hanya dilihat sebagai beban masyarakat. Secara umum, pendapat masyarakat mengenai ABK masih berkutat pada asumsi penyandang disabilitas sebagai masalah medis dan masalah sosial (Wari Setiawan, 2018).

Beberapa permasalahan lain terkait PAI bagi anak berkebutuhan khusus terus membayangi. Pertama, ketidaktepatan cara pandang terhadap keberagaman ABK terutama pada anak Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan berbagai tipenya. Perlakuan dan layanan pendidikan agama Islam yang diberikan kepada ABK tidak bisa disamaratakan karena terdapat perbedaan karakter dan status ketunaan.

Kedua, partisipasi yang lemah dari lingkungan ABK untuk memperhatikan urgensi pembelajaran bagi ABK di SLB dan pola pembelajaran agama Islam di dalamnya. Hal ini terkait dengan faktor tingkat pemahaman dan kualitas dukungan lingkungan pembelajaran bagi ABK. Hal ini diperburuk dengan statistik kondisi disabilitas dan kepesertaan mereka dalam jalur pendidikan formal.

Menurut data statistik Kemenko Kesra, angka kisaran disabilitas anak usia 5-19 tahun adalah 3,3%, sedangkan jumlah penduduk pada usia tersebut (2021) adalah 66,6 juta jiwa. Dalam perbandingan tersebut, terlihat bahwa jumlah anak usia 5-19 tahun penyandang disabilitas berkisar 2.197.833 jiwa.

Masih pada tahun yang sama, data Kemendikbu Ristek menunjukkan jumlah peserta didik pada jalur Sekolah Luar Biasa (SLB) dan inklusif adalah 269.398 anak. Dengan begitu, persentase anak penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan formal baru sebesar 12.26%. Jumlah ini jelas masih sangat sedikit dari ABK yang seharusnya dilayani oleh pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.

Selain itu, di luar problem akses dan sebaran layanan SLB, saat ini terdapat 2.550 SLB dengan dukungan 499 guru PAI. Artinya, di tengah tingkat kesulitan mengajar PAI dan mendampingi ABK, seorang guru PAI SLB harus melayani setidaknya 5 ABK.

Ketiga, kendala implementasi kebijakan yang mengatur pendidikan pada SLB, terutama terkait dengan Pendidikan Agama Islam. SLB berada di bawah koordinasi pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sementara pendidikan agama islam berada di bawah koordinasi Kementerian Agama. Dalam beberapa hal, relasi ini turut menjadi kendala dalam akselerasi substansi pengajaran PAI pada SLB.

Keempat, belum terbentuknya ekosistem tenaga pendidik PAI bagi ABK. Para pendidik PAI bagi SLB idealnya hadir dari kancah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Namun, keberadaan kelas atau program khusus yang fokus pada pengajaran PAI bagi SLB masih timbul tenggelam dan akhirnya belum lagi ada kini. Kondisi ini terang menyulitkan bagi berbagai pihak terkait untuk memberikan layanan PAI bagi ABK. Mengajar PAI bagi anak ABK tentu saja berbeda dengan siswa normal.

Karenanya, dibutuhkan kompetensi khusus untuk menanganinya. Tiadanya jalur pendidikan khusus yang menangani PAI bagi ABK tentu saja menjadi hambatan serius, padahal penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama baik sebagai penyelenggara pendidikan, pendidik, tenaga kependidikan, maupun peserta didik. Hal itu telah diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan PP Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.

Berbagai pekerjaan rumah dalam layanan PAI bagi ABK tersebut berjalan seiring dengan problem lain, yakni pelecehan terhadap penyandang disabilitas, terbatasnya Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang berkompeten, kemampuan dalam adaptasi kurikulum dan pembelajaran yang masih rendah, serta belum maksimal tersedianya media pembelajaran yang aksesibel.

Dalam sengkarut tantangan tersebut, mau tidak mau komitmen pemerintah baik pusat ataupun daerah diuji untuk mewujudkan pembudayaan pendidikan inklusif pada seluruh lapisan baik lingkup pengambil kebijakan, perguruan tinggi keagamaan Islam, sekolah, masyarakat, dan keluarga.

Belakangan, program pendidikan inklusi dan layanan bagi disabilitas secara umum terus digalakkan disertai dukungan berbagai regulasi terkait. Modalitas seperti ini rasanya memenuhi kecukupan untuk desain dukungan dan layanan bagi penyandang disabilitas pada umumnya dan ABK di SLB pada khususnya, termasuk layanan Pendidikan agama Islam di dalamnya. Meski begitu, berbagai kendala dan tantangan yang telah tersebut di atas patut menjadi titik pijak bangunan kebijakan dan praktik baik yang perlu dilakukan.

Dalam upaya demikian, semua pihak harus menyadari salah satu slogan yang sering disuarakan bagi anak berkebutuhan khusus dan penyandang disablitas secara umum, yakni nothing about us without us. Dalam pengertian ini, layanan bagi penyandang disabilitas dalam konsep dan praktik harus melibatkan mereka dari awal agar desain dan ketepatan targetnya terukur dengan optimal dan berkelanjutan.

Saiful Maarif, Asesor SDM Aparatur Ahli Muda Ditjen Pendidikan Islam

Artikel ini telah ditayangkan Koran Sindo, 1 Februari 2023


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Kolom Lainnya Lihat Semua