Opini

Prof. K.H. Ali Yafie: Pengabdi Sepanjang Hayat 

M. Fuad Nasar bersama Alm KH Ali Yafie 

M. Fuad Nasar bersama Alm KH Ali Yafie 

Sabtu tengah malam, 25 Februari 2023, saya menerima berita duka, Bapak Prof. K.H. Ali Yafie baru saja wafat di RS Premier Bintaro pada pukul 22.13 WIB. Beberapa hari sebelumnya saya menjenguk beliau di rumah sakit. Saat itu sudah tidak memungkinkan berkomunikasi, kecuali melihat wajah sang ulama yang tenang dan teduh.

“Pengabdi sepanjang hayat” mungkin itulah kalimat paling tepat untuk menggambarkan dan mengapresiasi pengabdian ulama besar Indonesia itu. Predikat “pengabdi sepanjang hayat” disematkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kepada K.H. Ali Yafie dalam perayaan menyambut 1 Abad NU menurut perhitungan tahun Hijriyah.

K.H. Muhammad Ali Yafie atau biasa disingkat K.H. Ali Yafie, orang-orang terdekatnya memanggil “Puang Ali” lahir di Wani-Donggala Sulawesi Tengah pada 1 September 1926. Pengalaman hidupnya melukiskan perjalanan panjang pengabdian keumatan, kemasyarakatan dan kenegaraan. Ulama terkemuka berpenampilan sederhana, rendah hati dan memiliki integritas pribadi itu sejak muda telah berkhidmat kepada umat melalui berbagai organisasi dan kelembagaan Islam.

Pengabdian keulamaan K.H. Ali Yafie di tingkat nasional adalah sebagai Anggota Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 1985 dan diangkat menjadi Ketua Umum MUI mulai 11 Februari 1999, menggantikan almarhum K.H. Hasan Basri (Ketua Umum MUI periode tahun 1984 – 1998). Pengukuhan K.H. Ali Yafie sebagai Ketua Umum MUI oleh Menteri Agama H.A. Malik Fadjar bersamaan dengan pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI). Pengabdian beliau di MUI Pusat berlangsung hingga mengundurkan diri tahun 2000.

K.H. Ali Yafie mengemban amanah Ketua Umum MUI di tengah pusaran perubahan politik nasional dan pemerintahan di awal reformasi. Beliau menjaga marwah dan independensi MUI, melanjutkan amanah yang diemban tiga pucuk pimpinan MUI terdahulu yakni Buya Hamka, K.H. Sjukri Ghozali dan K.H. Hasan Basri.

Dalam wawancara Harian Umum Kompas 31 Januari 1999, K.H. Ali Yafie menggaris-bawahi peranan MUI sebagai lembaga pengemban amanah umat sebagai berikut, "MUI adalah pelayan umat. MUI harus melayani semuanya. MUI tidak bisa hanya melayani pemerintah saja, atau rakyat saja. Keduanya adalah umat yang harus dilayani. Mengatakan benar kalau pemerintah benar, dan salah kalau pemerintah salah. Begitu juga terhadap yang lain."

“Dalam mengeluarkan fatwa atau kebijakan, para ulama MUI bersikap netral dan tidak berpihak ke manapun, karena timbangannya Al-Quran dan Hadis.” tandasnya.

Selain di MUI, K.H. Ali Yafie sejak muda aktif di organisasi Darud Da’wah Wal-Irsyad di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1984 terpilih sebagai Wakil Rais ‘Aam PBNU mendampingi K.H. Achmad Siddiq (periode 1984 – 1991) dan diangkat menjadi Rais ‘Aam PBNU. Pada bulan November 1991 beliau mengundurkan diri dari PBNU.

Sebelum berkiprah di tingkat nasional beliau mengabdi di lingkungan Kementerian Agama sebagai Kepala Kantor Urusan Agama di Makassar, Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar (1959 – 1962) dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur (1962 – 1966). Pernah mengajar di IAIN Alauddin Ujung Pandang Cabang Jakarta dan diangkat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin (1966 – 1971).

Ulama ahli fiqih tersebut diangkat sebagai Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta, serta Guru Besar Kajian Islam Terpadu (Dirasah Islamiyah) Universitas Islam Asy-Syafi’iyah (UIA) Jakarta. Pernah menjabat Rektor IIQ Jakarta.

Di gelanggang politik lokal dan nasional K.H. Ali Yafie pernah menjadi Anggota DPRD Pare-Pare mewakili Partai NU, Anggota DPRD Tingkat I wilayah Sulawesi Selatan Tenggara, Anggota DPR-GR Tingkat I, Anggota DPR-RI mewakili Partai NU (sebelum fusi menjadi PPP) hasil Pemilu 1971 dan aktif sebagai Anggota DPR-RI hingga tahun 1987.

Dalam satu kesempatan saya silaturahmi di kediamannya, beliau menuturkan pengalaman hidupnya, “Saya belajar di universitas rakyat di Senayan selama 15 tahun. Saya tahu politik, tapi tidak berpolitik.” Sewaktu berkiprah sebagai politisi di lembaga legislatif – sebagaimana ditulis Drs. H. Lukman Harun dalam artikelnya pada buku 70 K.H. Ali Yafie – beliau tetap lebih menampakkan diri sebagai seorang ulama sejati, ulama politisi yang tetap setia dengan nilai-nilai keulamaan.

Harian Umum Republika 19 Februari 1999 memuat wawancara K.H. Ali Yafie seputar makna melayani umat yang dilakukan MUI. “Melayani umat berarti kita melayani sebagian besar rakyat Indonesia. Pelayanan yang utama adalah bimbingan keagamaan yang intinya menunjukkan jalan yang benar kepada setiap orang. Mendorong mereka berbuat baik, berupaya mencegah jangan menyimpang, jangan berbuat yang tidak benar. Itulah garis besarnya.” tutur K.H. Ali Yafie dalam buku Jati Diri Tempaan Fiqih (editor: Sofyan A. Kumba, Muhammadiyah Amin, 2001).

MUI sebagai wadah musyawarah ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim pada tahun 1992 menggagas pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI), bank syariah pertama di negara kita. Dalam periode awal BMI, K.H. Hasan Basri (Ketua), Prof. K.H. Ali Yafie, Dr. H. M. Quraish Shihab, K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA dan Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML, dipilih menjadi Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Muamalat Indonesia.

K.H. Ali Yafie mendorong penguatan sinergi atau istilah yang digunakan “ta’aruf” antar-organisasi Islam, saling mengenal satu dengan yang lain sebagai basis dalam membina persatuan umat. “Jangan sampai satu organisasi tidak mengenal organisasi lain. Dengan saling mengenal itu bisa saling menghargai. Kalau sudah saling menghargai tidak akan saling menjegal.” imbuhnya. Sudut pandang dan cara berpikir K.H. Ali Yafie melintasi sekat-sekat organisasi. Salah satu pesan beliau, ada satu kaidah pergaulan yang bersifat universal yaitu setiap manusia harus tahu diri, tahu membawa diri dan tahu menempatkan diri.

Menarik dicermati pandangan K.H. Ali Yafie mengenai fiqih, sebagaimana dirangkum dalam buku K.H. Ali Yafie Jati Diri Tempaan Fiqih. Layakkah kita mengkambinghitamkan fiqih sebagai penyebab keretakan di kalangan umat? Menurutnya, anggapan semacam itu tidak beralasan. Kalau dipelajari secara sistematis dan luas, justru fiqih itu merupakan salah satu ilmu keislaman yang sangat toleran, ramah dan penuh pertimbangan matang. Fiqih tidak lagi hanya digunakan sebagai sarana untuk melarang-larang – ini haram, itu halal – atau “memukul” sekelompok orang yang memiliki mazhab yang berbeda. Fiqih pun telah melanglang buana mengunjungi persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan.

Pada awal 1990-an K.H. Ali Yafie menggagas wacana fiqih sosial yang menjangkau berbagai persoalan umat masa kini, seperti asuransi, perbankan, lingkungan hidup dan sebagainya. Fiqih bukan hanya mengurusi soal ibadah, tapi juga memberikan pedoman-pedoman pemecahan masalah sosial-kemasyarakatan. Buku K.H. Ali Yafie berjudul Menggagas Fiqih Sosial dengan kata pengantar K.H. Ahmad Azhar Basyir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menghimpun buah pikiran beliau sebagai ulama fiqih.

Menurut K.H. Ali Yafie, fiqih mengambil peranan penting dalam kehidupan bernegara. Fiqih membentuk dan memberi kesadaran berpikir kepada umat Islam yaitu kesadaran normatif, di mana hal itu sangat mendukung gagasan kehadiran negara hukum di Indonesia.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi OKI (Organisasi Kerjasama Islam, dahulu Organisasi Konferensi Islam) ke-VI di Senegal (1991), KH Ali Yafie ditunjuk sebagai salah seorang anggota Delegasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Di dalam forum KTT OKI dunia internasional mengapresiasi Gerakan Keluarga Berencana yang dilaksanakan di Indonesia. K.H. Ali Yafie salah seorang tokoh ulama yang berperan dalam mendukung gerakan KB dari sisi keagamaan khususnya setelah era 1980-an.

Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) itu mengemukakan, kalau kita bicara agama, dalam hal ini Islam, tentu tidak bisa lain kita harus kembali ke sumber utama, yakni Al-Quran, agar orang tidak berselisih. Ini sama halnya kalau kita bicara soal negara, kita harus kembali kepada UUD 1945. Di Indonesia ini sejak awal agama telah diletakkan sebagai bagian dari konstitusi negara. Negara kita bukan negara sekuler.

Dalam perjalanan politik bangsa menuju gerbang reformasi, K.H. Ali Yafie termasuk satu di antara 9 tokoh umat Islam hadir pada pertemuan dengan Presiden Soeharto di Istana Negara tanggal 19 Mei 1998. Pak Harto menjelaskan soal lengser keprabon. “Saya sudah kapok jadi presiden.” ujarnya. Waktu itu K.H. Ali Yafie mengambil kesempatan berbicara. “Tuntutan mahasiswa tentang reformasi itu maksudnya ialah Pak Harto turun.” ucap beliau. Satu ketika saya mengunjungi K.H. Ali Yafie, beliau menceritakan wajah Pak Harto setelah K.H. Ali Yafie menyampaikan “Pak Harto turun…”, sama sekali tidak berubah, tetap tenang.

Saya pernah mendengar cerita dari K.H. Ali Yafie tentang etiket Presiden Soeharto ketika menerima tamu, duduk sopan dan tertib. Kakinya tidak pernah disilangkan dan kalau berbicara mulutnya saja, tangannya tidak ikut berbicara, artinya tangan tidak ikut bergerak. Salah satu akhlak terpuji K.H. Ali Yafie, tidak pernah menyebut kejelekan orang lain, baik di depan maupun di belakangnya. Dalam menyampaikan kritik pun, yang dikritiknya adalah keadaan, bukan menyerang pribadi seseorang.

Menjelang Pemilihan Umum tahun 1999, K.H. Ali Yafie selaku Ketua Umum MUI memberikan imbauan, para ulama tidak boleh mencampur-adukkan kampanye dengan dakwah, mengeluarkan ayat-ayat padahal dibelokkan untuk tujuan tertentu. Ketua Umum MUI juga melarang penggunaan tempat-tempat ibadah (masjid) sebagai ajang kampanye partai politik. “Masjid itu sebagai tempat ibadah berfungsi untuk menyatukan umat. Jadi tidak boleh digunakan untuk berkampanye oleh parpol-parpol” ungkapnya.

Dalam salah satu artikelnya K.H. Ali Yafie mengemukakan, "Peran pemimpin dalam menanggulangi krisis bangsa, dimana upaya penanggulangan krisis moral yang disadari menjadi pangkal krisis lainnya yang sedang melanda bangsa dan negara kita dewasa ini, harus bertitik tolak dari reformasi moral kepemimpinan. Harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan moralitas pemimpin, pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan masyarakat. Mereka diharapkan mampu mengembangkan dalam kehidupan pribadinya masing-masing, pola hidup bersih, sederhana dan mengabdi."

Saya ingin mengutip testimoni H.S. Prodjokusumo, mantan Sekjen MUI dalam buku 70 Tahun K.H. Ali Yafie, Wacana Baru Fiqih Sosial (editor Jamal D. Rahman dkk, 1997). Tokoh Muhammadiyah itu menulis, “K.H. Ali Yafie bukanlah seorang politisi, melainkan ulama yang jujur, konsekuen dan teguh pendirian. Ada tiga hal yang sangat menarik dari kepribadian beliau. Pertama, kehati-hatian dalam berbicara dan tidak pernah emosional. Beliau tidak banyak berbicara kecuali menyangkut hal yang benar-benar perlu. Dalam seminar, misalnya, beliau selalu tampil dengan makalah yang sudah dikonsep secara matang. Kedua, beliau orang yang tawadhu’ dan konsekuen antara ucapan dan amalan, tidak berbicara tentang suatu hal yang tidak pernah beliau laksanakan. Ketiga, beliau adalah orang yang akomodatif, untuk hal yang tidak prinsip, beliau bisa menerima. Tetapi untuk sesuatu yang sifatnya sangat prinsipil, beliau tetap konsekuen.” tulis almarhum H.S. Prodjokusumo dalam artikel “Ulama Moderat dengan Pendirian Tegas”.

Saya mengenal K.H. Ali Yafie dari dekat sejak dekade 90-an. Beliau tidak pernah memilah-milah orang, apalagi menolak tamu. Satu ketika saya mengunjunginya, sambil bercanda beliau mengatakan, “Saya ini tawanan rumah, sudah tidak bisa pergi ke mana-mana.” Dalam usia lanjut dan kelemahan fisik beliau menerima tamu kadang di kamar istirahatnya. Sambil berbaring di tempat tidur beliau menyambut kehadiran tamu dengan senyum ramah dan memberikan ilmu dalam setiap butir pembicaraan. Apabila bertemu dengan K.H. Ali Yafie saya mendapatkan ilmu dan butir-butir hikmah yang mencerahkan. Setiap tutur kata beliau bermutu dan bernas. Suatu keistimewaan bersilaturahmi kepada K.H. Ali Yafie, menjelang pamit beliau berkenan mendoakan dan diaminkan bersama.

Kebiasaan yang tak pernah ditinggalkannya adalah membaca Al-Quran dan menelaah kitab. Sampai akhir hayatnya dalam umur di atas usia rata-rata orang Indonesia, pikirannya tetap jernih dan terpelihara dari kepikunan.

Dalam tulisan In Memorium ini, saya mengutip pesan K.H. Ali Yafie yang saya dengar langsung dari beliau mengenai Al-Quran dan pentingnya budaya membaca bagi umat Islam.

“Syariat Islam yang pertama ialah membaca. Bahkan di akhirat nanti kita disuruh membaca kitab amal masing-masing. Al-Quran adalah bacaan wajib bagi setiap orang Islam yang telah dewasa dan mukallaf. Minimal Al-Quran dibaca di dalam shalat. Tetapi alangkah baiknya bila kita mendisiplinkan diri membaca Al-Quran minimal 10 ayat setiap hari, seperti yang dilakukan oleh para sahabat nabi dan tabi’in. Membaca Al-Quran haruslah kita jadikan sebagai pendidikan pertama bagi anak-anak dalam setiap keluarga muslim. Anak yang shaleh adalah anak yang menjadi penyejuk pandangan orangtuanya dan menjadi kebanggaan keluarga. Al-Quran merupakan sumber ilmu, sumber akhlak dan sumber kehidupan dalam keimanan bagi seorang muslim. Kewajiban seorang muslim terhadap Al-Quran tidak hanya sebatas membaca, tapi harus memahami arti dan maknanya.” ujar beliau.

Mengenai dakwah dan tantangan kontemporer K.H. Ali Yafie berpesan, “Dakwahkan Islam apa adanya, bukan mengada-ada. Jangan membolak-balikkan Islam dengan istilah yang macam-macam.” Salah satu tugas pemimpin umat di masa kini adalah membuat umat Islam jadi umat yang diperhitungkan, bukan hanya umat yang dihitung, serta menegakkan persatuan umat.

“Kita tidak cukup hanya memahami sejarah, tidak cukup hanya tahu sejarah atau membaca sejarah, tapi belajar dari sejarah.” ungkapnya.

Sebuah momen yang tak dapat dilupakan beberapa bulan sebelum beliau masuk rumah sakit yang terakhir. Saya bersama Ustad H. Mas’ud Arib Mustary, Lc, MA (Mustasyar Darud Da’wah Wal-Irsyad) mengunjungi K.H. Ali Yafie. Kami diajak makan malam bersama oleh K.H. Ali Yafie, ditemani putranya Helmi Ali Yafie. Sehabis makan bersama, K.H. Ali Yafie masih berkenan menemani kami duduk beramah-tamah sejenak di ruang tamu sebelum pamit pulang. Setelah itu, saya tidak berjumpa lagi dengan beliau, kecuali di rumah sakit dalam kondisi dirawat.

Sosok teladan K.H. Ali Yafie sangat menghargai silaturahmi tanpa memandang perbedaan organisasi dan golongan, tetapi merangkul semua kalangan. Beliau adalah ulama sejati, orang besar yang rendah hati, ulama waratsatul anbiya (pewaris tugas para nabi), ulama yang tidak menginginkan umat Islam terkotak-kotak. Semangat mempersatukan umat tercermin dari lingkaran pergaulannya yang luas maupun pada tulisan dan ucapannya yang teduh dan menyejukkan. Pesan beliau, “Keikhlasan adalah puncak segala sesuatu”.

Sabtu 25 Februari 2023 bertepatan dengan 5 Sya’ban 1444 H beliau telah dipanggil keharibaan Allah SWT dengan tenang dan damai dalam usia 96 tahun, menyusul istrinya Hj. Aisyah Umar yang wafat tahun 2020. Minggu tanggal 26 Februari 2023 setelah zuhur jenazah K.H. Ali Yafie dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan. Saya ikut menshalatkan jenazah almarhum sebagai doa dan penghormatan terakhir.

Semoga Allah SWT memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya kepada allahu yarham Prof. K.H. Ali Yafie.

M. Fuad Nasar (Mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang).


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua