Opini

Regulasi dan Integrasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik 

Saiful Maarif

Saiful Maarif

Dalam konteks pandemi Covid-19, layanan publik secara digital mendapat ujian nyata. Ujian ini bertumpu pada bagaimana sesungguhnya konsepsi sistem layanan berbasis elektronik dijalankan sesuai dengan amanah regulasi dan bagaimana implementasinya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Pandemi Covid-19 yang tak terprediksi eskalasinya menguji kemampuan pemahaman dan layanan digital yang dijalankan instansi.

Jika dilihat, belum ada keseragaman platform tentang bagaimana respon layanan digital terhadap terkendalanya layanan secara langsung. Pilihan langkah yang dijalankan menghadapi tantangan Covid-19 secara digital pada bidang masing-masing tertlihat masih bervariasi, terentang dari coba-coba membuat terobosan, bertindak tidak sesuai konteks kebutuhan, hingga tidak merespon sama sekali.

Bisa jadi, dan sangat mungkin, kondisi demikian dilatari oleh belum adanya platform yang disepakati dan dijalankan bersama mengenai Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). SPBE mestinya mampu menjadi pedoman bersama mengenai budaya layanan digital yang dijalankan. Sayangnya, budaya ini masih terasa jauh dari harapan. Setidaknya hal ini tercermin dalam beberapa indeks capaian.

Publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang peringkat EGDI (E-Government Development Index) dirilis tiap tahunnya. Pada tahun 2018, Indonesia mendapat peringkat ke-107 EGDI. Posisi ini cukup "melegakan", karena naik 9 peringkat dibandingkan tahun 2016. Namun demikian, di kawasan ASEAN Indonesia menempati peringkat ke-7 setelah Vietnam, masih sama seperti tahun 2016. Artinya, head to head dengan Vietnam, Indonesia belum mampu menyalip negara tersebut dalam bidang kualitas pelaksanaan e-government pada kurun waktu 3 tahun.

Sudah ketinggalan dari Vietnam, peringkat Indonesia ini juga masih berada jauh di bawah negara-negara di ASEAN lainnya seperti Singapura (peringkat ke-7 EDGI), Malaysia (peringkat ke-48 EDGI), Brunei Darussalam (peringkat ke-59 EDGI), Thailand (peringkat ke-73 EDGI), dan Filipina (peringkat ke-75 EDGI). Sementara itu, posisi pertama hingga kelima, berturut-turut diraih oleh Denmark, Australia, Republik Korea, Inggris, dan Swedia. Nilai rata-rata EGDI Indonesia juga masih berada di bawah rata-rata di regional Asia Tenggara. Indonesia berada pada angka 0,5258 sedangkan rata-rata EGDI di kawasan Asia Tenggara adalah 0,5555.

Data peringkat pelaksanaan e-government ini seyogyanya mampu mendorong semua pihak untuk lebih meningkatkan implementasi e-government. Kondisi ini juga mengandaikan tantangan tersendiri agar semua pihak meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pelaksanaan e-government dan meningkatkan kompetensi di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta infrastruktur TIK serta tentu saja regulasi-regulasi yang diperlukan. Lebih jauh dari itu, semua pihak patut memastikan pembangunan e-government sebagai langkah yang tepat, sesuai perkembangan, kebutuhan, dan berbagai faktor terkait.

Problem Administrasi Regulasi SPBE
Jika ditarik mundur, gerak perubahan aparatur negara dilakukan dengan Reformasi Birokrasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Di dalamnya terdapat 8 (delapan) area perubahan, yaitu penataan dan pengelolaan pengawasan, akuntabilitas, kelembagaan, tata laksana, SDM aparatur, peraturan perundangundangan, pelayanan publik, dan pola pikir dan budaya kerja. Area perubahan ini menjadi target perubahan yang dituju.

Secara khusus penerapan SPBE merupakan bagian dari area perubahan tata laksana di mana penerapan sistem, proses, dan prosedur kerja yang transparan, efektif, efisien, dan terukur didukung oleh penerapan SPBE. Di samping itu, secara umum SPBE mendukung semua area perubahan sebagai upaya mendasar dan menyeluruh dalam pembangunan aparatur negara yang memanfaatkan TIK. Kondisi demikian diharapkan mampu mendukung profesionalisme Aparatur Sipil Negara dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Dalam konstruksi POAC (planning, organizing, actuating, dan controlling) sebagai perspektif dasar manajemen sebuah organisasi, aspek controlling berada dalam urutan terakhir. Di sisi lain, dalam tata urutan regulasi, dipahami bahwa dibutuhkan payung hukum secara hirarkis terkait kewenangan dan substansi perihal regulasi terkait. Menjadi pertanyaan ketika aspek controlling ada di depan mendahului rancang bangun dasar manajemen itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu problem administrasi regulasi SPBE.

Permenpan RB Nomor 5 tahun 2018 mengenai Pedoman Evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik diundangkan pada tanggal 24 Januari 2018 dan tercatat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 154. Sementara itu Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik diundangkan pada 5 Oktober 2018 dan tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 182.

Sementara itu, penerapan SPBE dimulai sejak lahirnya Inpres Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government. Inpres ini menandai dimulainya musim semi eloktronisasi pelayanan publik. Dengan kata lain, Perpres 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik merupakan refleksi betapa lamanya sebuah bangun kebijakan dan regulasi dibangun secara utuh, mulai dari aspek pelaksanaan hingga pengawasan.

Berbagai Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah seperti berlomba membuat layanan publik secara elektronik. Terbiasa dengan kekagetan atas sesuatu yang baru, konsentrasi untuk membagi fokus pada upaya evaluasi atas program yang dijalankan akhirnya tidak menjadi prioritas.

Inpres Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-government, sebagai platform dasar pengembangan e-government, dan disusul dengan menjamurnya berbagai layanan digital, baru mendapat perangkat evaluasi yang utuh dengan terbitnya Permenpan RB nomor 5 tahun 2018 tentang Pedoman Evaluasi Sistem Pemerintahan Elektronik. Evaluasi SPBE merupakan proses penilaian terhadap pelaksanaan SPBE di Instansi Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menghasilkan suatu nilai Indeks SPBE yang menggambarkan tingkat kematangan (maturity level) dari pelaksanaan SPBE tersebut.

Rangkaian kebijakan tersebut seperti menegaskan gap dan potret yang tidak utuh tentang pembangunan SPBE. Ketidakutuhan yang terjadi menggambarkan adanya semacam puzzle kebijakan yang tersusun susul menyusul dan dalam beberapa hal menggambarkan overlapping. Perpres Nomor 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik yang terbit di penghujung 2018 diharapkan menjadi payung besar manajemen SPBE secara umum.

Dari Perpres ini diharapkan segera lahir aturan teknis yang mendefinisikan berbagai substansi dalam perpres tersebut kedalam aturan-aturan yang lebih teknis. Menarik untuk ditunggu bersama terbitnya Arsitektur SPBE Instansi Pusat dan Peta Rencana SPBE Instansi Pusat sebagai amanat dan turunan langsung dari Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tersebut.

Dalam Permenpan RB Nomor 5 tahun 2018 mengenai Pedoman Evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik disebutkan bahwa upaya evaluasi dilakukan untuk mengukur pelaksanaan SPBE pada Istansi Pusat dan Pemerintah Daerah. Evaluasi ini akan menghasilkan dokumentasi disebut sebagai indeks SPBE. Indeks ini akan menggambarkan tingkat kematangan (maturity level) dalam pelaksanaan SPBE pada instansi Pusat dan Pemerintah daerah itu sendiri. Dari gambaran diatas setidaknya juga dapat dilihat bahwa upaya evaluasi menyeluruh sudah dilakukan ketika payung organisasi pelaksanaan SPBE belum --sepenuhnya--terbentuk. Tegasnya, instrumen penilaian sudah tersedia, tapi belum ada target dan pemahaman terhadap penilaian tersebut.

Dengan demikian, upaya penilaian tersebut bisa jadi belum dapat sepenuhnya memotret profil utuh pelaksanaan SPBE. Padahal, upaya korektif ini menjadi penting mengingat Indonesia secara umum masih menempati posisi yang belum signifikan dalam pelaksanaan e-government dalam skala internasional.

Integrasi dan Interoperabilitas Data
Arsitektur SPBE dan Peta Rencana SPBE Instansi Pusat agaknya menjadi jawaban teknis tentang perlunya integrasi data. Arsitektur SPBE dimaksudkan sebagai kerangka dasar yang mendeskripsikan integrasi proses bisnis, data dan informasi, infrastruktur SPBE, aplikasi SPBE, dan keamanan SPBE untuk menghasilkan layanan SPBE yang terintegrasi. Sementara itu, Peta Rencana SPBE dimaksudkan sebagai dokumen yang mendeskripsikan arah dan langkah penyiapan dan pelaksanaan SPBE yang terintegrasi.

Lebih jauh, Integrasi, jika dimaknai paralel dengan keterpaduan, dalam Perpres Nomor 95 Tahun 2018 disebutkan sebagai pengintegrasian sumber daya yang mendukung SPBE. Sumber daya utama SPBE tentu saja data. Infrastuktur SPBE yang secanggih apapun jika tanpa dukungan data yang memadai adalah hal yang percuma.

Jika data adalah bagian penting dari performa layanan publik, maka hal ini berimpitan dengan tata kelola SPBE selama ini. Belum adanya data kelola SPBE yang terpadu secara nasional menjadi masalah serius yang dihadapi bersama. Hal ini ditunjukkan dengan hasil kajian Dewan TIK Nasional tahun 2016 terkait belanja TIK yang tidak efisien secara nasional. Total belanja TIK pemerintah untuk perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras tahun 20l4-2016 mencapai lebih dari Rp.12.700.000.000.000,- (dua belas triliun tujuh ratus miliar Rupiah).

Rata-rata belanja TIK pemerintah sebesar lebih dari Rp.4.230.000.000.000,- (empat triliun dua ratus tiga puluh miliar Rupiah) per tahun dengan tren yang terus meningkat setiap tahunnya. Ditemukan bahwa 65% dari belanja perangkat lunak (aplikasi) termasuk lisensi perangkat lunak digunakan untuk membangun aplikasi yang sejenis antar instansi pemerintah.

Sementara itu, berdasarkan survei infrastruktur Pusat Data (data center) yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 20l8 terdapat 2700 Pusat Data di 630 Instansi Pusat dan Pemerintah Daerah. Ini berarti rata-rata terdapat 4 Pusat Data pada setiap instansi pemerintah.

Secara nasional utilisasi Pusat Data dan perangkat keras hanya mencapai rata-rata 30% dari kapasitasnya. Fakta ini mengindikasikan terdapat kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah di dalam pengembangan SPBE sehingga terjadi duplikasi anggaran belanja TIK dan kapasitas TIK yang melebihi kebutuhan. Kondisi seperti ini sangat mungkin mewakili kondisi yang ada di Kementerian Agama, dan lebih sempit pada pengelolaan data dan TIK pada Pendidikan Islam.

Dengan data-data tersebut, pelajaran yang kiranya bisa diambil adalah bahwa pelaksanaan e-government pada dasarnya bukan hanya tentang layanan teknologi informasi, tapi lebih jauh adalah mengenai budaya, pemahaman, juga konsepsi-proses bisnis yang dijalankan. Teknologi informasi dalam berbagai bentuk dan kecanggihannya telah menyebar ke berbagai wilayah dan unit kerja. Masing-masing daerah dan unit kerja seperti berlomba untuk men-digitalkan diri atau setidaknya meng-onlinekan layanan yang ada.

Menjadi kekinian adalah menjadi digital dan online. Anggapan yang mungkin nyaris menjadi kiblat ini akhirnya mendorong semua instansi untuk mengonlinekan layanan yang dimiliki, setidaknya biar mengikuti tren. Dalam kaitan mengikuti regulasi dan perundangan, dalam hal ini Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government, inisiasi ini bisa dimaklumi.

Pertanyaannya kemudian, apakah inisiatif itu berada dalam koridor perencanaan strategis yang dijalankan sehingga program dan pada akhirnya menjadi belanja TIK instasni tersebut terintegrasi dan terkoneksi dengan kebijakan lainnya? Apakah kebijakan TIK menjadi bagian penting dari area perubahan dan menjadi rujukan bersama dalam kaitan proses bisinis yang dijalankan?

Ambil contoh sederhana: jika ada sebuah aplikasi yang akhirnya mejan karena tidak terpakai dan tidak diketahui manfaat dan kegunaaannya serta tidak ada koordinasi dan integrasi dengan unit pengampunya dan unit terkait lainnya, maka sesungguhnya inisiasi itu tak lebih hanya sebuah euforia belaka.

Pada konteks ini, salah satu bagian penting dari Perpres 95 Tahun 2018 Tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik adalah prinsip interoperabilitas (prinsip kemampuan saling mengoperasikan). Prinsip ini menjadi penting karena memungkinkan adanya koordinasi dan kolaborasi antarproses bisnis dan antarsistem elektronik dalam rangka pertukaran data, informasi, atau layanan SPBE.

Prinsip ini juga mengatasi kondisi dimana banyak pihak masih berpikir sektoral dalam membangun dan mengelola e-Government. Sekali lagi, penerapan SPBE sebenarnya bukan hal baru karena sudah mulai diterapkan sejak lahirnya Inpres Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government.

Hanya saja selama ini pembangunannya masih bersifat sektoral sehingga menyebabkan pemborosan anggaran akibat terbangunnya silo-silo sistem yang tidak terintegrasi. Setiap kementerian/lembaga, dan lebih khusus lagi tiap unit, membangun aplikasinya sendiri-sendiri, sehingga anggaran TIK bertambah setiap tahunnya namun utilitasnya tidak terukur dengan baik. Pada titik ini, integrasi sangat dibutuhkan agar berbagai permasalahan terkait ego sektoral dan bermacam silo tersebut bisa diatasi.

Namun demikian, integrasi saja bisa jadi kurang memadai karena pada dasarnya berbagai sistem dan aplikasi memiliki spesifikasi, misi, dan lingkungan sistem yang berbeda-beda. Perbedaan ini jika hanya memakai prinsip integrasi maka sama halnya dengan usaha untuk "mengumpulkan" berbagai perbedaan tersebut tanpa adanya upaya untuk menyediakan ruang koordinasi dan kolaborasi antarproses bisnis, data, informasi, dan layanan berbagai aplikasi atau sistem informasi tersebut.

Dengan prinsip interoperabilitas, layanan integrasi data bisa mencapai posisi lebih jauh dari sekedar menyatuatapkan layanan, yakni dengan memberi koridor dan tata kelola untuk saling mendukung dan sejalan dalam konteks besar misi organisasi. Walllahu a`lam

Saiful Maarif (Bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua