Daerah

Rektor UHN: Hari Raya Kuningan Sebagai Lambang Kemakmuran

Rektor UHN IGB Sugriwa bersama Relin Denayu Ekawati (Istri) usai Sembahyang

Rektor UHN IGB Sugriwa bersama Relin Denayu Ekawati (Istri) usai Sembahyang

Denpasar (Kemenag) --- Umat Hindu baru saja merayakan Hari Galungan. Rektor Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus (IGB) Sugriwa Denpasar menyampaikan bahwa sepuluh hari setelah Hari Raya Galungan, umat Hindu akan merayakan Hari Raya Kuningan.

Hari Raya Kuningan ini mempunyai ciri khas dari isi sesajen atau persembahan umat Hindu yang berupa nasi kuning dan merupakan lambang kemakmuran. Hari Raya Kuningan dirayakan setiap enam bulan sekali (210 hari) sesuai penanggalan kalender Bali, yaitu pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, wuku Kuningan.

Perlu diketahui, satu bulan kalender Bali berjumlah 35 hari, karena perhitungannya berdasarkan pertemuan antara Panca Wara yang berjumlah 5, Sapta Wara berjumlah 7 dan Pawukon yang berjumlah 30. Hari Raya Kuningan, salah satu hari besar Agama Hindu ini dilaksanakan bertepatan 10 hari setelah perayaan Hari Raya Galungan.

“Kuningan menjadi salah satu hari besar atau hari suci bagi umat Hindu, maka semua umat Hindu di Hari Raya Kuningan ini menghaturkan sembah untuk memohon berkah, keselamatan dan kesejahteraan bagi semua umat. Rangkaian pelaksanaan Hari Raya Kuningan sebenarnya lanjutan dari rangkaian hari Raya Galungan,” kata I Gusti Ngurah Sudiana usai melaksanakan sembahyang dalam merayakan Galungan, di Denpasar, Bali, Kamis (15/4/2021).

Rangkaian ini, lanjut I Gusti Ngurah Sudiana, dimulai saat lima hari setelah Galungan. Rangkaian itu berupa Pemacekan Agung, Penyekeban, Penyajaan, Penampahan, lalu puncak perayaannya adalah Hari Raya Kuningan. Esok harinya adalah Manis Kuningan. Rentetan perayaan paling akhir adalah saat hari Pegat Tuwakan, yaitu 32 hari setelah Kuningan bertepatan pada hari Buda (Rabu) Kliwon, wuku Pahang.

“Hari raya Kuningan, umat Hindu akan menghaturkan persembahan kepada para leluhur, memohon kemakmuran, perlindungan, keselamatan, dan juga tuntunan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa,” tandas I Gusti Ngurah Sudiana.

Simbol dan Makna
Menurut I Gusti Ngurah Sudiana, jika diamati sejumlah sarana (jejahitan) yang digunakan dalam perlengkapan upacara di Hari Raya Kuningan ini cukup spesial. Sarana tersebut mengandung filosofi atau arti dari sebuah simbol yang wajib digunakan.

Disampaikan I Gusti Ngurah Sudiana, alat upacara atau sarana yang paling khas dalam perayaan Kuningan adalah Tamiang. Sarana ini berbentuk bulat seperti periasi, dirajut dengan indah dari bahan daun kelapa muda atau janur, menyimbolkan sebuah tameng yang menjadi perisai dalam perang. Tamiang sendiri sering dimaknai sebagai simbol perlindungan diri karena bentuknya seperti perisai. Bentuknya yang bulat dipahami juga sebagai lambang Dewata Nawa Sanga yang merupakan penguasa sembilan arah mata angin.

“Tamiang juga diartikan sebagai roda alam atau cakraning manggilingan yang dipahami sebagai roda kehidupan yang selalu berputar. Semuanya menjadi warisan budaya Hindu yang terjaga dengan baik yang berkaitan dengan kehidupan beragama di pulau Dewata Bali,” kata I Gusti Ngurah Sudiana.

Selain itu, lanjut I Gusti Ngurah Sudiana, ada juga Endongan. Bentuknya seperti sebuah kompek atau tas, yang berisi perbekalan, sebagai simbol dari bekal. "Bisa berarti bekal bagi para leluhur dan juga bekal bagi kita dalam mengarungi kehidupan ke depan dan bekal yang laing ampuh adalah jnana atau pengetahuan,” ujarnya.

Kemudian ada sarana Ter. Dijelaskan I Gusti Ngurah Sudiana bahwa Ter merupakan simbol dari panah yang berarti senjata untuk kelengkapan perang dalam kehidupan ini. Senjata paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Sarana Sampian gantung adalah simbol penolak bala. Sedangkan Nasi Kuning sebagai lambang kemakmuran.

“Jika kita amati dari makna yang terkandung dalam sarana upacara saat Hari Raya Kuningan lebih identik dengan alat-alat atau senjata dalam perang. Ini mengingatkan manusia akan hakikatnya dalam kehidupan memang seperti sebuah peperangan, bagaimana manusia selalu berusaha berperang melawan keadaan untuk menemukan jalan dan kehidupan yang lebih baik, baik untuk kehidupan di dunia dan di akhirat,” papar I Gusti Ngurah Sudiana.

I Gusti Ngurah Sudiana juga menjelaskan bahwa saat Hari Raya Kuningan, manusia diharapkan uning dan eling (tahu dan sadar) untuk tetap mengendalikan diri atau indria yang tidak pernah ada batasnya. Saat itu, dipuja Dewa Indra sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widi.


Editor: Moh Khoeron

Daerah Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua