Opini

Setitik Noda Pada Kain Sarung Putih

Ishom el Saha

Ishom el Saha

Saya tulis catatan ini karena saya menjadi bagian dari keluarga yang hidup dan besar dalam bungkus kain sarung yang putih: demikian kami menganalogikan Kementerian Agama. Ayahku pensiunan Penghulu KUA, kedua kakekku dari pihak ayah dan ibu juga pensiunan PNS guru agama. Saya sendiri pendidik di institusi pendidikan Islam negeri di bawah Kemenag.

Menjadi keluarga besar Kemenag pada dasarnya memikul beban berat. Sebab kementerian ini memiliki satuan kerja (satker) yang melayani masyarakat hingga ke pelosok kampung. Misalnya, ayah saya penghulu bertugas bukan saja saat jam kantor tapi lebih banyak di luar jam kantor. Pulang ke rumah hingga larut malam. Hari lubur pun masih bertugas melayani masyarakat di pelosok kampung. Pelayanan yang diberikan juga banyak di luar tugas pokoknya. Masyarakat menilai pegawai Kemenag itu bisa apa saja dari urusan duniawi sampai urusan setelah mati.

Atas dasar itulah, sewaktu saya diterima menjadi pegawai PNS Kemenag, ayah saya berpesan: jaga marwah dan martabat sebaik-baiknya karena kamu bekerja di kantor yang dilihat masyarakat seperti kain sarung putih. Setitik Noda menempel padanya, akan tampak jelas di mata orang yang memandangnya. Lebih dari 10 tahun bertugas, apa yang dipesankan ayah saya betul-betul terasa. Sejak menyeruaknya kasus mushaf Al-Qur'an yang aktor utamanya dari luar Kemenag; kasus pemidanaan kebijakan pengelolaan dana haji yang bukan untuk memperkaya diri tapi problem regulasi; dan sekarang jual beli jabatan di luar institusi, telah membuat diri ini sering terjatuh lunglai.

Kepercayaan masyarakat terhadap Kemenag yang diidentikkan dengan kain sarung putih penutup aurat adalah amanat yang berat. Dibutuhkan ekstra kehati-hatian dalam memakainya agar tidak terkena noda sekecilpun. Beda halnya kalau kita memakai sarung warna gelap atau warna cerah bermotif; walaupun titik-titik nodanya banyak tapi tak akan tampak di pelupuk mata. Terus terang saya sering dihinggapi rasa iri hati sama-sama menjadi pelayan masyarakat dengan tunjangan great rendah dibandingkan lembaga lain, tapi sorotan mata masyarakat lebih tajam ditujukan kepada institusi agama ini.

Saya dan teman-teman saya menyadari bahwa institusi ini dari awal memang tidak diinginkan lahir di bumi pertiwi ini. Betapa tidak demikian? Lembaga negara yang dipimpin seorang menteri tapi dibentuk selevel Kantor Urusan bukan Departemen. Untuk melengkapi organisasi dan tata kerja tidak dibentuk negara, tetapi dari swadaya masyarakat yang lama kelamaan diakuisisi negara. Saya baca dokumen sejarah tentang asal usul pembentukan Kantor Urusan haji dan kantor urusan pendidikan agama, gambarannya seperti itu. Dari seolah-olah berbentuk yayasan lalu diusulkan dan diakuisisi menjadi bagian pranata negara.

Kantor Urusan Agama (KUA) yang menjadi embrio Kemenag dalam perjalanan sejarahnya juga sering diintrik karena dikhawatirkan masih menjadi agen islamisasi. Padahal para pendiri institusi ini telah berusaha meyakinkan seluruh pihak tentang komitmen kebangsaan dan nasionalisme keluarga besar Kemenag. Mulai dari ikut libur di hari Minggu (bukan Jumat) di era KH. Tholhah Mansur, hingga menurunkan derajat KUA dari level lembaga tinggi negara menjadi Satuan Kerja (Satker) tingkat kecamatan. Bukan itu saja fasilitas yang diberikan kepada pejabat Kemenag, hingga di era Alamsyah Prawira Negara, setingkat eselon 2 hanya berupa kendaraan sepeda motor. Ini fakta sejarah yang jarang diungkapkan kepada masyarakat luas.

Keluarga besar Kemenag baru mendapatkan fasilitas dan tunjangan yang layak baru terjadi di era Gus Dur. Pegawai Kemenag yang semula berpenampilan dan berjalan merunduk mulai berani memamerkan kedinasan dan mengangkat kepala mereka. Sebab apa yang didapat sudah hampir sama dengan pegawai di kantor lain. Namun rupanya ini bukan anugerah tapi juga sekaligus musibah. Anggaran Kemenag pernah menempati 3 besar anggaran lembaga tinggi negara, di atas Kementerian Pertahanan sekalipun. Hal ini sekali-kali nya terjadi dalam sejarah, walaupun di sisi lain sorotan tajam dan sinis sering diarahkan ke institusi agama ini. Utamanya semenjak terjadi rentetan kasus yang menarik-narik nama Kemenag: walaupun sebetulnya kasus perorangan dan di luar Kemenag.

Kami menyadari resiko menjadi bagian dari satu keluarga besar. Ya! Kemenag adalah keluarga yang sangat besar sebab Satkernya paling banyak di antara Kementerian dan lembaga tinggi lainnya. Kami seperti ukuran jombo kain sarung putih, yang seharusnya bebas tanpa noda. Sebab setitik Noda menempel padanya akan dijelekkan seluruh masyarakat dunia. Wallahu a'lam.

M. Ishom el-Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan