Opini

Tahun Baru, Apanya yang Baru?

Thobib Al Asyhar

Thobib Al Asyhar

Malam pergantian tahun 2019 ke 2020 segera tiba. Sebagian orang menganggap tahun spesial, yaitu 2020. Angka genap yang unik. Bahkan ada tanggal yang dinilai sangat cantik: dua Februari menjadi 02 02 20 20. Entah apa yang dimaksud tanggal cantik itu. Mungkin maksudnya mudah dihafal, atau susunan angka yang rapi dan seimbang.

Banyak orang antusias menyambutnya. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan sejumlah uang untuk menikmati malam tahun baru. Meskipun belum jelas apanya yang baru, tapi yang penting happy. Senang dan seru. Actually, very simple and so easy!

Pertanyaan saya, apanya sih yang baru dari tahun yang kita sebut "baru" itu? Jika dari angka 2019 berubah menjadi 2020 disebut baru, bukankah angka 2020 sudah ada sejak alam ini ada? Bukankah setelah angka 19 pasti 20? Secara keilmuan, perhitungan angka adalah kebenaran hakiki. Artinya, kebenaran hakiki sesungguhnya tidak ada yang baru.

Kok iseng amat sih menanyakan hal baru dari tahun baru. Bukankah semuanya sudah jelas bahwa tahun baru seperti yang kita alami seperti biasa? Yups, saya paham. Hanya saja, saya ingin mengajak kita berpikir kritis. Berpikir filosofis agar kita tidak sesat pikir dalam menyikapi perubahan angka.

Dalam teori filsafat, hakikat waktu itu hanya ada tiga: dulu (past), sekarang (present), dan akan datang (future). Jika diperas lagi, waktu sebenarnya hanya ada satu, yaitu sekarang (present). Waktu "dulu" dan "akan datang" itu sejatinya tidak ada. Yang ada itu waktu "sekarang".

Ada anekdot marketing bilang begini: ayo-ayo, beli barang sekarang besok gratis. Saat orang-orang datang keesokan hari kemudian bilang, mas kemarin saya beli, sekarang minta gratis. Lalu dijawab lagi: pak/bu, sekarang bayar, besok gratis. Karena waktu yang ada itu sekarang. Kemarin dan besok itu hanya ilusi. Lalu mereka bengong dan garuk-garuk kepala.

Kembali ke tema tahun baru. Bagi saya, tahun baru itu nggak ada yang baru. Sama sekali. Jika kita berpikir kritis, seharusnya setiap hari itu hari baru. Hari yang memang beda dengan hari yang lalu dan hari berikutnya. Jadi, kalau mau jujur, setiap hari itu hari baru untuk disikapi lebih baik dari sebelumnya.

Karena setiap hari itu "baru", maka saat tahun 2019 berubah menjadi 2020 itu hal yang biasa. Lho kan tahun 2020 bisa bikin resolusi/rencana untuk mencapai target tertentu? Lha kenapa sih untuk mencapai target saja kok ukurannya harus tahun? Bukankah jauh lebih baik jika kita bikin resolusi harian/mingguan/bulanan? Kalau orang sufi targetnya malah menit, bahkan detik.

Jadi, pergantian tahun yang kita elu-elukan itu hanya soal angka. Bukan soal hakikat. Sama halnya orang memperingati hari ulang tahun sebenarnya bukan terletak pada bertambahnya angka. Tetapi soal hakikat keberadaan (existence). Saat seseorang telah mencapai usia 25 tahun, misalnya, keberadaannya patut disyukuri atas kesempatan untuk berbuat baik.

Dalam ilmu tasawuf, seperti yg pernah diulas oleh Shaikh Ibnu Athaillah dalam kitabnya, Hikam, bahwa nikmat terbesar dalam hidup seorang manusia adalah "iijad" atau keberadaan. Dengan keberadaan, manusia punya kesempatan utk menjadi saksi (syahid) atas kemahakuasaan Tuhan. Sebaliknya, tanpa "iijad" manusia tidak bisa menjadi saksi.

Dalam konteks memasuki "tahun baru", yang patut direnungkan adalah sejauhmana peran atau kontribusi kita dalam hidup ini. Apa yang pernah kita perbuat tahun ini untuk Tuhan dan orang lain? Atau jangan-jangan keberadaan kita justru tidak/sedikit menjadi saksi atas kemahakuasaan Tuhan dan membuat susah orang lain. Jangan-jangan pula, apa yang kita yakini memberi manfaat orang lain selama ini justru membuat orang lain repot? Tentu yang paling tahu adalah anda sendiri.

Dengan bertambahnya angka tahun pada setiap 12 bulan, berarti itu mengajak kita semua utk merenung. Menuntut kita utk merefleksi, sejauhmana kebermanafaatan hidup kita bagi lingkungan. Nabi Muhammad saw, orang paling berpengaruh di dunia, pernah bilang: sebaik-baik manusia adalah kalian yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.

Tak bisa dibayangkan jika hidup ini hanya numpang lewat. Sekedar numpang hidup. Sudahlah numpang, bikin repot yang ditumpangi pulak! Tentu rasanya yang ditumpangi seperti nano-nano, alias nggak karuhan. Maka tidak heran Bill Gates, owner Microsoft, pernah bilang nyelekit begini: "adalah sebuah kerugian besar buat manusia yang lahir dalam keadaan bodoh dan miskin, namun mati dalam keadaan yg sama."

Apa yang pernah dibilang Bill Gates itu sungguh sangat menggelitik. Jangan sampai kita hidup di dunia ini hanya nebeng atau numpang lewat. Apa enaknya nebeng sih? Nggak modal apa-apa, nggak bisa bikin udara, air, tanah, api, dan lain-lain, tapi disuruh syukur (terima kasih) saja nggak mau. Bukankah kita dibekali Tuhan berupa akal yg berfungsi untuk berpikir dan hati untuk merasa dan meyakini?

Nah, jika kita sudah memahami tentang pertambahan angka tahun 2019 menjadi 2020, akankah kita tetap ingin membuang-buang uang untuk hal-hal mubazir di malam tahun pergantian tahun? Tidakkah kita sebaiknya merenungi diri (self insight) tentang keberadaan (existence) di dunia ini sebelum semuanya disesali?

Wallahu a'lam.

Thobib Al-Asyhar, Kabag KLN, penulis buku, dosen psikologi Islam pada Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Salemba Jakarta.

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua