Nasional

Terima Dr (H.C) dari UIN Jakarta, Lukman Hakim Saifuddin Jelaskan Kesalahpahaman terhadap Moderasi Beragama

Rektor UIN Syahid Jakarta  Amani Lubis memasangkan toga kepada DR (Hc) Lukman Hakim Saifuddin

Rektor UIN Syahid Jakarta Amani Lubis memasangkan toga kepada DR (Hc) Lukman Hakim Saifuddin

Ciputat (Kemenag) --- Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menganugerahkan gelar doktor kehormatan, Dr. (H.C.), kepada Lukman Hakim Saifuddin (LHS). Seremonial penganugerahan berlangsung di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah.

Selaku promotor, Guru Besar Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE. Hadir, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Amany Lubis, Ketua Senat UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr Abudin Nata, serta para guru besar dan anggota senat.

Ada sejumlah tokoh yang juga hadir, antara lain: Menkopolhukam Mahfud MD, Sidarto Danusubroto (Watimpres), Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Bhante Pannyavaro, Budi S Tanuwibowo, Henriette H Lebang, John Titaley, Sujiwo Tejo, Arsul Sani (Waka MPR), Wamenag Zainut Tauhid Sa'adi, Gus Ulil Abshar Abdalla, Alissa Wahid, dan Olga Lydia.

Lukman Hakim Saifuddin menerima anugerah gelar Dr. (H.C.) Bidang Pengkajian Islam Peminatan Moderasi Beragama. Menjabat sebagai Menteri Agama periode 2014 - 2019, LHS terus memperjuangkan penguatan moderasi beragama. Yaitu, upaya membentuk cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

“Ikhtiar ini alhamdulillah terus bergulir hingga Penguatan Moderasi Beragama masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020 – 2024,” terang LHS di Ciputat, Selasa (31/5/2022).

Problem Keberagamaan
Menurut LHS, Indonesia adalah bangsa dan negara yang memiliki tingkat keberagaman yang amat tinggi. Masyarakatnya juga sangat agamis. Dengan realitas Indonesia yang warganya amat agamis itu, cara beragama setiap warga bangsa yang hakikatnya adalah umat beragama menjadi teramat vital.

Sayangnya, lanjut LHS, belakangan dijumpai sejumlah permasalahan dalam kehidupan keberagamaan. Misalnya, munculnya fenomena corak beragama yang justru bertolak belakang dan mengingkari inti pokok ajaran agama yang memanusiakan manusia dan membangun kemaslahatan bersama. Tantangan lainnya, muncul tafsir keagamaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya karena tidak berdasarkan kaidah keilmuan. Juga, munculnya paham dan amalan keagamaan yang secara diametral merusak dan mengoyak ikatan kebangsaan.

“Di tengah permasalahan kehidupan keberagamaan seperti ini, diperlukan gerakan dan kesadaran bersama tentang pentingnya beragama yang tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas,” jelasnya.

“Gerakan bersama itu adalah penguatan moderasi beragama,” sambungnya.

Tuduhan MB
Sebagai sebuah gerakan bersama, moderasi beragama dalam perjalanannya tidak terlepas dari sejumlah kesalahpahaman dan tuduhan yang tidak benar. Pertama, moderasi beragama dianggap sebagai agenda dan pesanan asing. Tuduhan ini jelas tidak benar. Sebab, memahami dan mengamalkan ajaran agama secara moderat dalam artian tidak berlebih-lebihan dan tidak melampaui batas adalah perintah agama itu sendiri.

“Moderasi beragama merupakan kebutuhan nyata yang muncul pada diri umat beragama itu sendiri, dan sama sekali bukan pesanan atau agenda pihak asing,” paparnya.

Tuduhan kedua, moderasi beragama dituduh menyebabkan umat tidak mengakar atau fanatik dengan agamanya. Tuduhan seperti itu boleh jadi disebabkan adanya penggunaan istilah 'radikal' dan 'fanatik' yang salah kaprah. Hal yang sama juga terjadi pada istilah 'konservatif', dan 'fundamental'.

“Itulah mengapa sejak awal, dalam konsepsi moderasi beragama tidak digunakan keempat istilah yang telah mengalami kesalahkaprahan makna. Karena sesungguhnya yang harus dihindari bukanlah radikal-nya, fanatik-nya, fundamental-nya, atau konservatif-nya, melainkan adanya ekses negatif yang ditimbulkan dari istilah-istilah itu,” sebut LHS.

“Dalam konsepsi moderasi beragama, istilah yang digunakan untuk dihindari dan dicegah dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama adalah "berlebihan", "melampaui batas", dan "ekstrem",” sambungnya.

Tuduhan ketiga, moderasi beragama identik dengan liberalisme dan sekularisme. Ini tentu tuduhan yang jauh panggang dari api. Kenyataannya malah sebaliknya. Moderasi beragama justru hadir sebagai imunitas bagi setiap warga bangsa Indonesia dari serbuan paham dan praktik ideologi asing, baik yang datang dari Barat berupa liberalisme dan sekularisme, maupun yang dari Timur berupa transnasionalisme.

“Moderasi beragama adalah agenda internal bangsa Indonesia karena beragama secara moderat merupakan kebutuhan nyata bangsa agamis itu sendiri,” paparnya.

“Konsepsi moderasi beragama ini bergulir, tanpa sedikit pun intervensi pihak asing. Praktik moderasi beragama di Indonesia justru dapat dijadikan contoh atau model oleh negara-negara lain dalam merawat keberagaman dan mewujudkan perdamaian dunia,” lanjutnya.

Tuduhan keempat, Moderasi Beragama Mendukung LGBT. LHS menegaskan bahwa moderasi beragama sama sekali tidak meminggirkan atau mengabaikan ajaran agama. Semua agama memiliki penilaian sama terhadap perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang menyimpang. “Agama apa pun menolak perilaku menyimpang tersebut. Secara tegas moderasi beragama juga menolak tindakan, perilaku, maupun kampanye LGBT,” tegas LHS.

Namun, lanjut LHS, justru karena kesadaran akan penolakan itulah umat beragama dituntut untuk mengupayakan agar perilaku LGBT tidak meluas di masyarakat. Caranya adalah dengan menyikapinya secara bijak, sesuai dengan pendekatan kebajikan agama, yakni memberikan pendampingan, bimbingan, pengayoman, dan pembinaan secara empatik kepada mereka yang memiliki orientasi seksual sejenis dan biseksual, serta yang transgender, agar tidak lagi melakukan apalagi menyebarluaskan LGBT.

Empatik ditekankan di sini supaya kita tetap dapat memanusiakan manusia, sebagaimana pesan utama ajaran agama. Mereka yang LGBT itu adalah mahluk Tuhan yang juga punya hak asasi sebagaimana manusia lainnya. Hak-hak dasar kemanusiaan mereka tidak boleh dilanggar. Dengan demikian, penistaan, pengucilan, apalagi penghilangan eksistensi kemanusiaan mereka harus dihindari. Agama hadir justru untuk mengajak kepada kebajikan.

“Inilah sikap moderat yang dapat dijadikan pegangan. Hak dasar kemanusiaan kaum LGBT tidak boleh dilanggar, tapi perilaku LGBT yang dilarang agama itu juga tidak boleh dilakukan, dikampanyekan, dan disebarluaskan di tengah masyarakat,” pesannya.

Pada akhir orasinya, LHS menyimpulkan bahwa Moderasi Beragama adalah proses dan ikhtiar yang tak berkesudahan dan berakhiran. Ia akan terus dinamis di tengah warga bangsa yang amat agamis. Moderasi Beragama haruslah dihayati dan diimplementasi sebagai Gerakan Bersama, bukan dipersepsi dan dimaknai sebatas program, kegiatan, apalagi proyek semata.

Sebagai Gerakan Bersama yang never ending process, kata LHS, segala hal ihwal Moderasi Beragama terkait perumusan konsepsi, pemaknaan substansi, penerapan strategi kebijakan dan implementasi, serta pola evaluasi, haruslah senantiasa terkontekstualisasi dengan lingkungan strategis dan ekosistem yang melingkupi.

“Moderasi Beragama haruslah dimaknai juga sebagai The Living Grand Conception yang terus terpelihara. Ia merupakan strategi kebudayaan bagi negara berketuhanan yang masyarakatnya sangat agamis seperti Indonesia,” sebutnya.

Moderasi Beragama bukan konsepsi mati yang kaku tanpa nyawa. Ia adalah jiwa yang menghidupkan raga, yang harus tetap dan terus hidup mengada, berkembang menyesuaikan konteks dan zamannya. Karenanya, Moderasi Beragama membutuhkan dialog dan keteladanan. Ia membutuhkan para aktor yang meneduhkan dan mendamaikan. Ia membutuhkan sosok yang mengintegrasikan, dan bukan mensegregasikan. Figur yang inklusif, bukan eksklusif, yang pendekatannya kooperatif bukan konfrontatif. Tokoh yang bisa menjadi contoh. Akademisi yang meluruskan deviasi dan distorsi. Agamawan dan budayawan yang menjadi teladan dan panutan.

“Moderasi Beragama membutuhkan semua kita, yang senantiasa memahami dan mengamalkan agama, dengan ilmu secara adil dan berimbang menggunakan jiwa, logika, dan rasa. Kita yang beragama tak hanya untuk diri semata, tapi juga untuk menjaga segenap warga dan seluruh tumpah darah Indonesia. Serta kita yang memelihara persaudaraan antarbangsa segenap anak manusia, sepenuh cinta,” tandasnya.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Romadaniel

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua