Nasional

Tiga Tantangan Moderasi Beragama di Indonesia

Menag (2014-2019) Lukman Hakim Saifuddin

Menag (2014-2019) Lukman Hakim Saifuddin

Jakarta (Kemenag) --- Pemerintah tengah mengarusutamakan penguatan moderasi beragama (MB) yang menjadi salah satu program prioritas nasional. Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Menteri Agama (2014-2019) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi dalam proses penguatan MB. Pertama, berkembangnya pemahamaan dan pengamalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan ekstrem, sehingga malah bertolak belakang dengan esensi ajaran agama.

“Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia. Pemahaman keagamaan disebut berlebihan dan ekstrem, jika justru mengingkari nilai kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama,” jelas Lukman Hakim Saifuddin dalam Rapat Koordinasi dan Percepatan Pelaksanaan Program Moderasi Beragama, Kamis (19/8/2021).

Tantangan kedua, lanjut pria yang akrab disapa LHS ini, adalah munculnya klaim kebenaran atas tafsir agama. Menurutnya, ada sebagian orang yang merasa paham tafsir keagamaannya sajalah yang paling benar, lalu memaksa orang lain yang berbeda untuk mengikuti pahamnya, bahkan bila perlu dengan menggunakan cara paksaan dan kekerasan.

“Ini yang disebut melampaui batas dan berlebihan dalam beragama. Jadi, klaim kebenaran sepihak lalu memaksakan kehendak,” tuturnya.

Tantangan ketiga, pemahaman yang justru merongrong atau mengancam, bahkan merusak ikatan kebangsaaan. LHS mencontohkan pemahaman orang yang atas nama agama lalu menyalahkan Pancasila, mengharamkan hormat bendera, mengkafirkan orang yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, bahkan mengajarkan bahwa nasionalisme tidak penting karena tidak diajarkan agama.

“Ini adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan dan melampaui batas dalam konteks keindonesiaan kita. Cara pandang ini harus dimoderasi,” tegas LHS.

“Jadi yang dimoderasi, diposisikan untuk berada di tengah, tidak ekstrem kanan dan kiri, itu cara beragamanya, bukan agama itu sendiri,” sambungnya.

Terkait tiga tantangan tersebut, LHS menegaskan bahwa kebijakan penguatan MB diarahkan pada upaya membentuk SDM Indonesia yang berpegang teguh dengan nilai dan esensi ajaran agama, berorientasi menciptakan kemaslahatan umum, dan menjunjung tinggi komitmen kebangsaan.


Editor: Moh Khoeron

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua