Opini

Transformasi Jiwa Melalui Musik

Thobib Al-Asyhar

Thobib Al-Asyhar

Beberapa hari lalu, saya menerima kiriman link video di timeline Facebook. Awalnya saya menduga isinya sekedar lelucon garing. Tetapi setelah saya klik ternyata salah dan bisa membuat banyak orang prihatin. Nampak sejumlah orang ber-kefiah sedang merusak dan menghancurkan alat-alat musik, seperti keyboard, gitar, dram, dan lain-lain dengan penuh emosi, diiringi pekikan takbir pula.

Dalam postingan itu pembagi link sambil menyisipkan caption: "entah apa yang ada di hati dan akal mereka". Dia seperti ingin mempertanyakan kapasitas orang-orang di video itu karena nampak sekali mereka begitu emosional. Kenapa mereka marah terhadap benda mati? Bukankah itu hanya bendawi yang tidak dapat berbuat apa-apa? Apakah dengan merusak ala-alat musik lalu bisa menyelesaikan masalah? Ataukah hanya sekedar ingin menunjukkan ekspresi kebencian terhadap musik?

Penulis sendiri sebenarnya tidak terlalu heran dengan video itu, karena memang ada kelompok orang yang bener-bener membenci (menjauhi) musik dan alat-alatnya. Kebencian mereka didasarkan pada keyakinan atau doktrin keagamaan bahwa musik dan berbagai tool-nya adalah kesukaan setan. Bagi mereka, musik adalah media kesenangan duniawi yang bisa merusak jiwa dan akidah, sehingga apapun jenisnya adalah haram dan harus dijauhi (diperangi).

Dalam wacana hukum Islam (fikih), perdebatan soal boleh tidaknya musik memang sudah terjadi sejak lama. Ada yang membolehkan, ada juga yang mengharamkan. Patokannya, jika musik melenakan orang hingga lupa kepada Allah, maka hukumnya haram. Akan tetapi jika musik sebagai salah satu media hiburan untuk menenangkan jiwa, hukumnya boleh (mubah).

Para ahli fikih berbeda pendapat soal ini. Bagi sebagian fuqaha (ahli fikih), musik adalah sarana yang dilarang (diharamkan) oleh Islam karena dianggap dapat melalaikan, perbuatan sia-sia, dan dapat menumbuhkan kemunafikan (Abdullah Ibn Muhammad Ibn Abi an-Dunya, Dham al-Malih: 38). Pendapat tersebut didukung empat Imam Mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik (w. 179 H), Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), dan Imam al-Syafi’i (w. 204 H). Namun demikian, para Imam Mazhab tetap menghargai pendapat yang membolehkan penggunaan musik untuk kepentingan yang lebih positif.

Beberapa tokoh sufi yang mendukung penggunaan musik dalam ritual keagamaan adalah Syihab al-Din Abu Hafs ‘Umar Suhrawardi (w. 587 H/1191 M) dan Muhammad Al-Ghazali (w. 1111 M). Keduanya memandang musik sebagai sebuah aktifitas yang bernilai tinggi dalam ibadah. Syarat utamanya adalah perlunya memastikan bahwa orang-orang yang ikut serta di dalamnya adalah orang-orang yang cukup menguasai dan memiliki kesiapan secara spiritual. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengalaman spiritual yang membahayakan. Demikian juga menurut Ahmad Al-Ghazali (w. 1126 M) dalam "Bawariq al-‘Ilma’ fi Radd ‘ala Man Yuharrimu al-Sama’ bi al-Ijma’". Dari judul buku tersebut, Ahmad Al-Ghazali (w. 1126 M) dengan tegas membela kebolehan mendengarkan musik (sama’) dan menolak pendapat yang mengharamkannya.

Transformasi Jiwa

Musik merupakan karya seni yang menggambarkan jiwa manusia melalui keindahan suara (sound). Musik juga disebut sebagai ungkapan atau refleksi jiwa manusia atas kehidupan dan dunianya yang pernah dan sedang dialaminya. Melalui musik, kondisi jiwa seseorang akan tergambar dengan jelas, apakah dalam keadaan sedih atau gembira.

Sejarah menunjukkan bahwa musik memiliki peran yang sangat penting dalam sistem mitologi masyarakat primitif. Musik diyakini dapat mencegah datangnya bencana atau kejadian buruk. Dalam upacara-upacara ritual keagamaan, musik seringkali digunakan sebagai pengiring doa atau prosesi ibadat untuk memicu pikiran dan perasaan dalam rangka mencapai tingkatan spiritual tertentu.

Hasil penelusuran literatur menunjukkan, bahwa semua agama memiliki jenis musik penggugah pikiran dan perasaan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Tak Terhingga (Tuhan) untuk mencapai suasana batin yang penuh dengan kecintaan dan kasih sayang. Secara umum, penggunaan musik dalam ritual agama-agama memiliki tujuan yang sama, yaitu sebagai penggugah pikiran dan perasaan audiens-nya agar lebih konsentrasi sehingga terbawa oleh arus jiwa yang sangat dekat dengan Sang Pencipta dalam rangka mencapai tahapan spiritual tertentu. Perbedaannya terletak pada lirik, komponen nada dan melodi, jenis alat musik, dan suasana yang ditimbulkan.

Dalam Islam, penggunaan musik sebagai salah satu sarana penggugah jiwa sangat dikenal di lingkungan kaum sufi. Musik sebagai sebuah media transformasi jiwa dapat diterima secara umum oleh kalangan sufi.

Kelompok mistik Islam yang mengembangkan musik sebagai sarana penggugah jiwa di antaranya adalah tarekat Chishtiyyah. Dalam mempraktikkan musik pada upacara ritual mereka, tarekat ini pada umumnya telah memiliki rencana tentang lagu-lagu apa saja yang secara berurutan mesti dimainkan dalam majelisnya agar mendapatkan hasil berupa pengalaman spiritual tertentu.

Biasanya, urutan pertama yang dinyanyikan adalah lagu-lagu sanjungan yang ditujukan kepada Nabi, kemudian diikuti oleh lagu-lagu cinta yang membangkitkan gairah spiritual. Setelah itu, lagu-lagu tentang kebinasaan mistis, yang diikuti lagu-lagu tentang kehadiran Tuhan (hudlur). Dari rangkaian pembacaan lagu-lagu tersebut kemudian membentuk susunan suara yang indah dan syahdu diiringi dengan suara-suaran musik tertentu.

Ada juga tarekat Maulawiyyah yang didirikan oleh Sultan Walad (w. 1312), putra seorang sufi besar Persia Maulana Jalal al-Din al-Rumi (w. 1273) . Tarekat ini mengembangkan musik dan tarian sebagai media penggugah jiwa yang dikenal dengan Sema (Sama’) atau Whirling Dervishes. Peneliti Eropa mengatakan bahwa Sama’ dapat memproyeksikan pra-konsepsi personalnya ke dalam pementasan. Sedangkan aspek liturgi dapat menimbulkan melodi dan perputaran lingkungan, yang mengangkat jiwa dan menempatkan tubuh dan perhatiannya yang biasa, yang menimbulkan refleksi batin, meditasi, dan kedamaian dalam diri pendengar. Setiap orang mengalaminya menurut caranya sendiri, karena para pendengar dan pemusik ini lebih merupakan persoalan hubungan erat (komuni) daripada komunikasi.

Sejarah klasik Yunani, Plato (470 SM–399 SM) dan Aristoteles (348 SM–322 SM) juga telah menyebutkan tentang pentingnya musik sebagai salah satu sarana penggugah pikiran dan perasaan manusia. Para filosof juga menyebut musik sebagai sarana yang dapat mempengaruhi jiwa manusia. Hal ini didasarkan atas pendapat mereka, bahwa jiwa (soul) bersifat immateri (metafisik) yang dapat dikembangkan melalui sarana-sarana pemicu pikiran dan perasaan. Sebagaimana disebutkan oleh Marsilio Ficino, bahwa musik serius (the serious music) dapat menjaga dan memperbaiki harmoni pada bagian-bagian jiwa, sedangkan pengobatan medis dapat memperbaiki harmoni pada bagian-bagian tubuh.

Demikian juga dalam sejarah Islam klasik, penggunaan musik sebagai salah satu sarana penyembuhan (terapi) sebenarnya juga telah dirintis oleh para ahli musik muslim sejak abad 8 Masehi. Musisi Islam legendaris, seperti Abu Yusuf Ya’qub ibnu Ishaq al-Kindi (801–873 M) dan al-Farabi (872–950 M) telah menjadikan musik sebagai alat pengobatan atau terapi.

R. Saoud dalam tulisannya bertajuk The Arab Contribution to the Music of the Western World menyebut al-Kindi sebagai psikolog muslim pertama yang mempraktikkan terapi musik. Menurut Saoud, pada abad ke-9 M, al-Kindi (801–873 M) sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik. Melalui musik, al-Kindi (801–873 M) mencoba untuk menyembuhkan seorang anak yang mengalami quadriplegic atau lumpuh total. Terapi musik juga dikembangkan ilmuwan muslim lainnya, yakni al-Farabi (872-950 M).

Secara psikologis, musik merupakan corak ekspresi seni yang berpengaruh terhadap pendengarnya tanpa media konsep ataupun intepretasi. Melalui dampaknya yang unik, musik dapat membebaskan pikiran dan perasaan manusia dari tekanan batin, kesedihan, perasaan terasing, galau, dan berbagai gangguan jiwa lainnya.

Menurut Barbara Crowe, mantan presiden The National Association of Music Therapy, bahwa musik dan irama menghasilkan efek penyembuhan (terapi) karena dapat menenangkan aktivitas yang berlebihan dari belahan otak kiri. Ditambahkan pula bahwa suara repititif dapat mengirimkan sinyal konstan kepada korteks serta menutup masukan dari indera yang lain seperti penglihatan, sentuhan dan pembauan. Jika sensori masukan menurun, kegaduhan normal belahan otak kiri dengan pembicaraan internal, analisis, dan keputusan logis akan reda, kemudian akan menstimulasi bagian terdalam dari otak yang merupakan singgasana simbol, visual dan emosi.

Penggunaan musik sebagai alternatif penyembuhan (terapi) memiliki keunggulan, di antaranya: (1) berpikir dan merasakannya secara langsung; (2) memiliki kesempatan “mengisi” perasaan untuk beberapa waktu, sehingga dapat dieksplorasi, diuji, dan diolah melalui kerja sama dengan terapis; (3) mengkondisikan ekspresi pikiran dan perasaan secara non-verbal yang belum pernah dirasakan klien karena kebiasaan berakspresi secara verbal; (4) memperoleh asosiasi yang tidak dapat diakses melalui pemahaman verbal; dan (5) memperoleh keuntungan fisiologis secara langsung dibandingkan metode verbal. Kebebasan mengeksplorasi dan mencoba berbagai solusi terhadap pikiran dan perasaan dalam menyelesaikan masalah melalui cara-cara kreatif.

Dari sisi manfaatnya, musik dapat berfungsi sebagai bengkel emosional bagi orang-orang yang mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dengan kata-kata. Musik dapat membantu jalinan hubungan dan membantu belajar untuk berkomunikasi. Dalam banyak studi ditemukan, bahwa musik memiliki manfaat dapat mengurangi tekanan darah tinggi, jantung berdetak cepat, depresi, dan insomnia. Musik juga dapat dijadikan media penyembuhan kanker untuk membantu mengurangi rasa sakit, gelisah dan mual yang disebabkan oleh kemoterapi. Namun, hal yang perlu ditekankan bahwa terapi musik bukanlah sarana untuk penyembuhan penyakit secara langsung, namun hanya sarana yang membantu proses terapi melalui pengayaan kehidupan emosional pasien.

Dalam perspektif yang lebih luas, kaum sufi mencoba menggunakan musik sebagai sarana untuk menggugah jiwa dalam rangka menemukan kesejatian diri. Bagi mereka, musik berfungsi untuk menentramkan pikiran dari beban kemanusiaan dan menghibur tabiat manusia. Musik dapat menstimulasi untuk melihat rahasia ketuhanan yang tersembunyi. Dengan irama dan nada-nada universal dalam suatu alunan melodi musik suci, musik memanggil manusia untuk kembali kepada Sumber Keindahan (Tuhan). Maka wajar kiranya apa yang pernah dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa indera yang paling pertama dan peka menerima pesan-pesan kejiwaan dan spiritual adalah indera pendengaran. Wallahu a'lam.

Thobib Al-Asyhar
Dosen Psikologi Islam pada Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, alumni Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, Jateng.

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua