Nasional

Umat Beragama Minta Pemerintah Cabut SKB Menag dan Mendagri

Atambua, NTT, 14/02 (Pikda) - Umat beragama di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara (TTU) meminta pemerintah mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang pelaksanaan tugas aparatur Pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan kelancaran ibadah. Tokoh umat Kabupaten Belu, Pastor Yanuarius Seran, Pr, MHum, di Atambua, Senin mengatakan, SKB No: 01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh para pemeluknya.

Dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Forum Kerjasama antar-Pemuka Agama Belu-TTU, PAstor Yanuarius mengatakan, pada Senin, para pemuka agama menandatangani pernyataan sikap menolak SKB dua menteri itu. "Semua umat beragama di Belu dan TTU melalui para pemimpin mereka, sepakat untuk terus melakukan penolakan atas SKB Menag dan Mendagri tahun 1969 karena dinilai bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan hak asasi manusia," katanya.

Dia mengatakan, para pemuka agama menyadari bahwa SKB dua menteri itu jika dilaksanakan di daerah-daerah, sangatlah tidak adil, diskriminatif dan berpotensi memecah belah keutuhan Bangsa dan Negara Indonesia melalui isu-isu agama. SKB Menag dan Mendagri itu, menurutnya, memiliki pemikiran yang sangat sempit dan dangkal. Jika diteliti secara nasional, SKB tersebut menguntungkan agama tertentu dan merugikan agama yang lain. "Jika SKB dua menteri ini dilaksanakan di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam maka agama-agama lain akan mengalami ketidak-adilan dan diskriminatif,"kata dia.

Sebaliknya, apabila SKB Menag dan Mendagri Tahun 1969 ini dilaksanakan di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama bukan Islam maka saudara-saudara umat Muslim akan merasa tidak adil dan diskriminatif. Sebagai contoh, kata dia, Pasal 4 (1) SKB Menag dan Mendagri itu menyatakan setiap pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari kepala kaerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. Selanjutnya ayat 3 menyatakan bahwa apabila dianggap perlu, kepala daerah atau Pejabat yang ditunjuk itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniwan setempat.

Pertanyaan kritis, lanjut dia, adalah bagaimana kalau saudara-saudara kita umat Muslim di Belu dan TTU yang jumlahnya sangat sedikit ingin membangun rumah ibadah harus memperhatikan dan menaati amanat Pasal 4 tersebut di atas ketika secara realistis mereka hidup di tengah mayoritas organisasi-organisasi keagamaan dan rohaniwan dari agama bukan Islam?

Diakuinya, bahwa umat beragama di Belu dan TTU hidup rukun damai, saling menolong dalam membangun rumah ibadah tanpa sedikitpun terjadi konflik kepentingan dan tak tertanam sedikitpun benih egoisme kelompok. Sebagai umat lintas agama yang bersaudara, katanya, umat beragama di Belu dan TTU menyadari bahwa suka-duka, kegembiraan dan harapan umat Muslim di Belu dan TTU adalah juga suka-duka, kegembiraan dan harapan umat Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha di wilayah ini. Begitu pun sebaliknya.

"FKPA di Belu dan TTU menilai bahwa SKB Menag dan Mendagri ini berpotensial terjadi perpecahan bangsa dan sarat dengan benih konflik horizontal. Untuk itu, SKB ini harus segera dicabut dari Persada Indonesia demi keutuhan NKRI," tegasnya. Apalagi, lanjutnya, negara Indonesia ini adalah negara bangsa bukan negara agama sehingga hal-hal yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia haruslah segera dikritisi dan disikapi secara arif-bijaksana.(Ant/Ba)

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua