Opini

UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, Untuk Siapa?

Ahmad Zayadi

Ahmad Zayadi

Peringatan Hari Santri yang dirayakan pada 22 Oktober tahun ini terasa lebih meriah karena ada “kado istimewa” bagi kaum santri. Kado istimewa tersebut adalah disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren menjadi Undang-Undang (UU) melalui Rapat Paripurna DPR yang berlangsung 24 September 2019.

UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi sejarah baru bentuk rekognisi (pengakuan) Negara terhadap pesantren yang eksistensinya sudah ada berabad-abad silam, jauh sebelum Tanah Air ini merdeka. Tidak hanya rekognisi, UU tentang Pesantren juga bagian dari afirmasi dan fasilitasi kepada dunia pondok pesantren.

Lahirnya UU yang berpihak pada kaum sarungan ini berawal dari sederet keresahan yang dialami oleh kalangan pesantren. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) selama ini belum mengakomodir aspirasi dan kearifan lokal pesantren sebagai lembaga pendidikan yang jumlahnya—menurut data Kementerian Agama pada 2018—kini menembus angka 28.194 unit.

Proses Munuju UU
UU tentang Pesantren muncul tidak secara tiba-tiba. Wacana tentang perlunya Undang-Undang yang mengatur tentang pesantren telah ada sejak sebelum diterbitkannya UU Sisdiknas. Hadirnya UU Sisdiknas yang kemudian diikuti dengan PP Nomor 55 Tahun 2007 juga menempatkan pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam jalur pendidikan nonformal. Fakta ini menunjukkan bahwa pengakuan tersebut belum secara utuh mengakui praktik pendidikan pesantren yang dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, dan dari sisi beban belajar sama dengan pendidikan umum jalur pendidikan formal.

Belum lagi melihat pesantren selain menyelenggarakan fungsi pendidikan, juga menyelenggarakan fungsi dakwah dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Di sini muncul kebutuhan atas suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan pengakuan kepada pesantren dalam bentuk pengaturan secara utuh dan komprehensif.

Oleh karenanya, penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015, menjadi milestone bersejarah pengakuan eksistensi pesantren dalam berjuang untuk bangsa dan negara Indonesia. Ini membuka jalan bagi pengakuan secara utuh kepada pesantren yang telah ada jauh sebelum kemerdekaan sebagai lembaga yang memiliki kekhasan, keaslian(indigenous), dan keindonesiaan, atas kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam Nusantara dan sekaligus pemantik pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di Indonesia, dalam bentuk Undang-Undang.

Pada awalnya, DPR menginisiasi naskah RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan pada tanggal 16 Oktober 2018 silam, Presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara sebagaimana surat Nomor B-982/M.Sesneg/D-1/HK.00.01/11/2018 tanggal 27 November 2018. Surat ini menunjuk Menteri Agama sebagai koordinator untuk melakukan penyusunan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) bersama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Panitia Antar Kementerian Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 48 Tahun 2019 tanggal 18 Januari 2019 telah melakukan langkah-langkah strategis untuk melakukan berbagai kajian dalam rangka penyusunan DIM RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan bersama Kementerian dan lembaga terkait, organisasi kemasyarakatan, tokoh lintas agama, pakar, pengasuh pondok pesantren, dan lainnya.

Dalam perkembangannya, pembahasan mengenai RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan mengerucut hanya kepada pembahasan RUU tentang Pesantren. Secara resmi DIM dan naskah RUU tentang Pesantren hasil kajian yang dilakukan oleh pemerintah telah diserahkan kepada DPR RI pada tanggal 25 Maret 2019, yang kemudian dilakukan berbagai penyempurnaan secara bersama-sama oleh Tim Penyusun (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) DPR RI dan Pemerintah, berdasarkan masukan-masukan dari berbagai unsur masyarakat.

Memahami Substansi
Dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, pesantren yang mengakar di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil’alamin. Pesantren melahirkan insan-insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pesantren sebagai subkultur, memiliki kekhasan yang telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Secara historis, keberadaan pesantren menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan dan layanan umat lainnya.

Untuk menjamin penyelenggaraan pesantren diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi kepada pesantren berdasarkan kekhasannya. Sementara itu, pengaturan mengenai pesantren belum mengakomodir perkembangan, aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif.

Hal tersebut menyebabkan perlakuan hukum yang tidak sesuai dengan norma berdasarkan kekhasan dan kesenjangan sumber daya yang besar dalam pengembangan pesantren. Sebagai bagian strategis dari kekayaan tradisi dan budaya bangsa Indonesia yang perlu dijaga kekhasannya, pesantren wajib diberi kesempatan untuk berkembang, difasilitasi dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Selain itu, Undang-Undang tentang Pesantren diharapkan dapat memenuhi perkembangan, aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat pada aspek-aspek seperti pengakuan atas independensi penyelenggaraan pesantren, pengakuan atas varian kekhasan dan model penyelengaraan pesantren, pengakuan atas pemenuhan unsur pesantren (arkanul ma’had) dan ruh pesantren (ruhul ma’had) sebagai syarat pendirian, pengakuan kepada pendidikan pesantren sebagai bagian dari penyelenggaran pendidikan nasional.

UU tentang Pesantren juga menjadi landasan hukum untuk memberikan afirmasi atas jaminan kesetingkatan mutu lulusan, kesetaraan akses pendidikan bagi lulusan, dan kesetaraan dalam kesempatan kerja. Termasuk juga pengakuan atas kualifikasi, kompetensi, dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan pada pendidikan pesantren;

Sebagai upaya menciptakan pendidikan yang berkeadilan, UU Nomor 18 2019 tersebut nantinya menjadi landasan hukum bagi terbentuknya instrumen pendanaan untuk memastikan ketersediaan dan ketercukupan anggaran dalam pengembangan pesantren. Dan satu hal yang penting untuk dikuatkan adalah UU Pesantren sebagai landasan hukum untuk memperkuat peran pesantren dalam pembangunan nasional untuk menjawab tantangan zaman kedepan.

UU, Untuk Siapa?
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren dengan berbagai variannya “dipaksa” mengikuti pola dan takaran standar yang diterapkan pada satu jenis pendidikan pada sistem pendidikan nasional dengan argumen bahwa hanya ada satu sistem pendidikan nasional. Padahal seharusnya pendidikan pesantren adalah model tersendiri dalam sistem pendidikan nasional dengan pola dan takaran standar berbeda. Hal ini akhirnya berimbas kepada akses lulusan pesantren untuk melanjutkan pendidikan, pengakuan terhadap kesetingkatan lulusan pesantren, pengakuan atas profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, serta proses dan metodologi penjaminan mutu.

Pun juga ketika pesantren hanya dipandang sebagai urusan agama, ini berakibat pada akses terhadap sumberdaya bagi pengembangan pesantren. Saat ini ada lebih dari 4 juta santri yang dibatasi aksesnya terhadap sumberdaya anggaran karena pandangan tersebut. Apalagi fakta sejarah mencatat sumbangsih pesantren terutama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak bisa ditakar dalam satu urusan saja. Pesantren perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk pemerintah dan pemerintah daerah.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang pesantren disusun bukan untuk menjadi “pengekang” terhadap independensi pesantren dan Pendidikan keagamaan. Justru, undang-undang ini diharapkan dapat memberikan rekognisi yang sepatutnya terhadap Kekhasan pesantren di Indonesia, serta untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi pengembangan pesantren dan pendidikan keagamaan, dengan porsi yang berkeadilan.

Oleh sebab itu, UU tentang Pesantren memang hadir bukan saja untuk kebaikan dan kemajuan orang-orang pesantren, melainkan juga kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga hasilnya pun nanti akan dinikmati oleh segenap masyarakat melalui produk-produk pesantren serta peran dan kiprahnya tri di berbagai sektor. Jika tanpa pengakuan saja para santri sudah bulat berpegang teguh hubbul wathan minal iman—Cinta negeri sebagian dari Iman, terus bagaimana kiprah pesantren setelah diakui oleh Negara melalui Undang-Undang?


AHMAD ZAYADI
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Kementerian Agama

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua