Opini

WFH, Dari Rumah Kembali Ke Rumah

Mastuki

Mastuki

Sebut saja namanya Maksudi. Sebagai kepala keluarga, dia biasa berangkat pagi pulang petang atau malam, demi tanggung jawab mencari nafkah. Sebagai PNS (Aparatur Sipil Negara, ASN), ia bertanggung jawab dalam pelayanan umat. Tak jarang tugas keluar kota dijalaninya tiap pekan, kerap dalam sebulan beberapa kali harus meninggalkan keluarganya.

Dua anaknya. Si sulung telah menyelesaikan kuliahnya dua tahun lalu dan langsung bekerja di salah satu perusahaan StartUp. Seperti ayahnya, ia harus berangkat pagi pulang malam karena tuntutan tugasnya. Meski, dalam sebulan, ia dapat kesempatan remote (bekerja dari rumah) sebagai kebijakan perusahaan. Waktunya "habis di jalan", istilah yang kerap digunakan pekerja di ibukota. Sementara si ibunda, bertugas sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi. Dia harus mengajar, sehingga jarang di rumah saat hari kerja.

Rumah dan kediaman keluarga ini terasa sepi saat siang hari karena semua penghuninya beraktivitas di luar. Anak keduanya yang perempuan, juga tidak di rumah. Sejak SMP, ia mondok di pesantren, dan tahun ini mulai kuliah di luar negeri. Tak ada asisten rumah tangga karena "anak-anak sudah besar," katanya. Keponakan yang ikut di keluarga ini sejak beberapa tahun lalu juga tiap hari harus mengajar di PAUD, sambil kuliah S1. Jadi, praktis semua anggota keluarga Maksudi jarang bisa berkumpul. Hanya sesekali ketemu di malam hari, itupun sudah dengan kondisi kecapekan dan ingin istirahat.

Sabtu dan Minggu adalah hari yang ditunggu karena libur. Itu amat mahal, karena bisa berkumpul antar keluarga. Agenda sederhana pun selalu disiapkan: ke toko buku, nonton film, kuliner, atau kongkow di rumah. Meski tak jarang agenda itu buyar karena ada aktivitas lain yang menyela: kondangan, pengajian, arisan, atawa satu anggota punya janjian. Yo wis ben lah...

Tapi, sejak virus Corona makin merajalela dan pemerintah menerapkan kebijakan #SocialDistancing, #PhysicalDistancing, dan #diRumahSaja, kondisi berbeda dialami keluarga kecil ini. Semua anggota berkumpul di rumah. #WorkFromHome atau #stayathome. Anaknya dirantau pulang karena kampusnya menerapkan lockdown dan memutuskan mahasiswanya belajar di rumah. Dua mingguan ini kehidupan berubah drastis. Dari padatnya agenda menjadi tiap-tiap orang kerja monoton di rumah. Semula rumah sepi kini riuh dan suasana jadi hidup. Beberapa tahun terpisah-pisah, keluarga ini seakan menemukan pertemuan kembali. Dari pagi sampai pagi lagi, ayah-ibunya bisa menatap muka anaknya. "Wis gedhe-gedhe to," desaunya.

Kalau sebelumnya benar-benar terpisah secara fisik (physical distancing) karena jarak, kini meski #dirumahsaja tetap menerapkan protokol kesehatan: menjaga jarak fisik seperlunya. Keuntungannya, ibunya masih bisa nyuapin makannya (ini ekspresi lugas dan spontan kekangenan orang tua pada anaknya yang kadang masih menganggap kanak-kanak) atau shalat berjamaah tiap waktu. Sesekali ngerumpi di meja makan atau mendengarkan cerita lucu mereka. "Ah rasanya kembali ke nuclear family saat anak-anak masih kecil dulu," cerita si Ibu.

Corona memang menyatukan keluarga. Saat yang sama ia berpotensi memisahkan. Corono membuat jarak antar orang bahkan dalam keluarga, tetapi sekaligus ia yang mendekatkan, mempertemukan kembali anggota keluarga. Di rumah: tempat paling aman dan nyaman yang pernah dialami oleh setiap orang (home, homey). Barangkali itulah kenapa orang rindu pada rumah dan kampung halaman (back home, homecoming). Memang kita berasal dari rumah, dan akan kembali ke rumah.

Faedah yang bisa dipetik dengan meluasnya pandemi Covid-19 ini adalah berkumpulnya keluarga di dalam rumah. Bukan karena ketakutan dan asosial, tapi demi mempertahankan keselamatan dan kesehatan orang banyak. Dengan menjaga jarak fisik, bukan jarak sosial yang menimbulkan kesenjangan sosial. Dari dalam keluarga bisa tumbuh cinta. #dirumahsaja bukan teralienasi, tapi tumbuh simpati pada penderitaan orang lain.

Hari-hari ini banyak sekali ajakan donasi dan sedekah dari berbagai lembaga, LSM, tokoh selebgram atau public figure. Simpati dan empati kita tumbuh. Media tak kalah pentingnya memberikan informasi dan mengabarkan apapun tentang Covid-19, meski kadang membuat masyarakat takut dan kuatir. Medsos pun super-heboh. Postingan dengan konten yang berseliweran kerap membuat dag-dig-dug keluarga yang tengah menikmati kebersamaan di rumah. Tapi kita harus bijak bahwa kehadiran media banyak manfaatnya: sumber informasi, berita, dan komunikasi, juga edukasi, dan sosialisasi.

Mastuki (Kepala Pusat Registrasi Sertifikasi Halal, BPJPH)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan