Opini

Zakat dan Kesehatan Jiwa 

Sesditjen Bimas Islam Fuad Nasar

Sesditjen Bimas Islam Fuad Nasar

Masalah kesehatan jiwa menjadi perhatian umat manusia dari abad ke abad. Kesehatan jiwa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah rohani yang menghubungkan manusia dengan Allah Maha Pencipta dan bagaimana hubungan manusia dengan harta.

Sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran, dunia mengenal ilmu psikiatri yang berkembang menjadi suatu bidang spesialisasi tersendiri di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebagaimana diakui oleh para ahli, agama memiliki peranan penting dan menjadi faktor penentu dalam membina kesehatan jiwa dan menyelamatkan manusia dari gangguan kejiwaan. Bahkan, agama menjadi sumber inspirasi perkembangan ilmu kesehatan jiwa. Dalam ilmu kedokteran jiwa, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. dr. Aulia, dikenal istilah Psikosomatik, yakni penyakit kejiwabadanan, di mana keluhan fisik bersumber dari gejala dalam jiwa.

Dewasa ini jumlah kasus schizophrenia makin meningkat di tengah masyarakat. Suatu keprihatinan bagi kita semua. Hal ini perlu menjadi perhatian dan tanggung jawab kita dalam konteks pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Tokoh ilmuwan muslim dan Pelopor Psikologi Islam di Indonesia, Prof. Dr. Zakiah Daradjat (1929 2013), mengemukakan empat rumusan kesehatan jiwa, yaitu:

Pertama, kesehatan jiwa adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).

Kedua, kesehatan jiwa adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat sera lingkungan tempat ia hidup.

Ketiga, kesehatan jiwa adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.

Keempat, kesehatan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Dalam buku Zakat Pembersih Harta dan Jiwa (1992) Zakiah Daradjat membahas hubungan zakat dengan kesehatan mental, disertai contoh yang terjadi dalam kehidupan nyata. Ibu Zakiah Daradjat pernah menceritakan kepada saya, latar belakang beliau menyusun buku dengan judul tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, ada orang yang mengeluh, cemas dan gelisah tanpa sebab, padahal orang itu kaya atau berkecukupan. Orang mengatakan, Mungkin selama ini dia tidak mengeluarkan zakat. Oleh karena itu Ibu Zakiah Daradjat menulis buku, Zakat Pembersih Harta dan Jiwa.

Dalam buku itu, Zakiah Daradjat mengajak pembaca memetik hikmah dari berbagai kasus yang ditemukan pada kliennya. Seorang perempuan kaya di usia tuanya mengeluh kesehatannya terganggu. Selera makan hilang dan tidur tidak nyenyak. Dia telah berobat kepada beberapa dokter spesialis, namun tidak sembuh. Hampir tiap hari merasa penyakitnya bertambah berat. Seorang temannya berkata: Barangkali Anda tidak menunaikan zakat. Tentu saja ditangkisnya tuduhan itu. Dia merasa telah mengeluarkan zakat, hampir setiap hari dia berzakat. Namun dalam hati kecilnya timbul kegelisahan. Untuk menghilangkan kegelisahan, dia datang ke tempat praktik konsultasi Zakiah Daradjat. Terjadilah dialog sebagai berikut:

"Benarkah penyakit saya ini disebabkan karena tidak berzakat?," tanyanya.

"Mengapa Anda bertanya demikian?"

"Belakangan ini saya sering sakit. Macam-macam penyakit yang datang. Obat yang diberikan dokter, tidak ada yang menolong. Saya ceritakan kepada teman, justru saya dikatakannya tidak menunaikan zakat. Padahal saya selalu berzakat. Setiap ada orang minta sumbangan, selalu saya beri."

"Bagaimana Anda menentukan berapa zakat yang wajib Anda keluarkan?"

"Yah, itu tidak saya hitung. Yang penting hampir setiap hari saya mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah, kadang-kadang lebih."

"Yang Anda berikan kepada orang miskin atau peminta sumbangan dengan cara seperti itu, bukanlah zakat, akan tetapi shadaqah atau sumbangan sukarela. Anda berpahala dengan shadaqah atau sumbangan seperti itu. Akan tetapi, kewajiban Anda untuk mengeluarkan zakat dengan cara demikian, belum terlaksana."

Wanita itu terdiam. Ia tersentak dan menyesali dirinya. Mengapa selama ini tidak menanyakan kepada orang yang mengerti masalah zakat.

Menurut Zakiah Daradjat, pada dasarnya harta memang menunjang kehidupan manusia. Sebaliknya, harta dapat berubah menjadi penyebab kegelisahan, perselisihan, dan permusuhan. Karena harta, orang berkelahi. Karena harta, hubungan persaudaraan menjadi renggang, bahkan karena harta, hubungan keluarga menjadi putus. Tidak jarang, perselisihan anak dan orangtua terjadi disebabkan harta. Sebetulnya, bukan harta yang menjadi penyebab. Sebabnya mungkin cara mendapatkan harta itu yang tidak benar, atau sebagian kecil dari harta itu yang sesungguhnya milik orang lain, tidak dikeluarkan.

Di sinilah peranan zakat. Manfaat zakat bagi penerimanya sudah jelas, membantunya dalam memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Sedangkan manfaat zakat bagi yang menunaikannya cukup banyak, terutama dalam menjadikan hidup bersih dan sehat. Boleh jadi orang tidak pernah menyangka bahwa zakat mempunyai pengaruh terhadap kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Memang ada sementara orang yang menjadi kaya atau banyak harta, menjauh dari orang miskin dan kurang perhatian kepada kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia terasing dari lingkungannya.

Seringkali cinta kepada harta menyebabkan seseorang menahan zakat yang akan mengurangi harta atau pendapatannya. Sebuah kejadian tragis dialami seorang eksekutif muda berusia 38 tahun, seperti dikenang Zakiah Daradjat dalam bukunya di atas. Karirnya cukup bagus. Gajinya melebihi kebutuhan hidupnya. Punya rumah dan mobil pribadi. Anak-anaknya bersekolah di sekolah yang baik. Adapun tentang zakat pendapatan atau zakat profesi, dia mempunyai pendirian lain. Menurutnya, dia tidak wajib mengeluarkan zakat itu, karena di zaman Nabi hal demikian tidak diatur.

Kehidupannya berjalan lancar tanpa menghiraukan zakat. Sampai beberapa tahun kemudian, ketika mencapai usia 45 tahun, kesehatannya menurun. Menurut diagnosa dokter, dia sebetulnya diserang psikosomatik, yakni gangguan kejiwaan yang mengakibatkan gejala fisik. Karir yang tadinya bersinar mulai redup. Di kantor, dia tidak lagi diberi jabatan pimpinan.

Kesehatannya makin lama makin memburuk. Timbul penyesalan, mengapa salah satu Rukun Islam, yaitu mengeluarkan zakat, tidak ditunaikannya. Ia ingin membayar zakat yang telah terlalu banyak bertumpuk. Akan tetapi penghasilannya telah jauh berkurang, sementara harta yang ada harus dipertahankannya untuk biaya anak-anaknya yang telah menjadi remaja.

Kegelisahan terus membebaninya. Zakat terhutang tidak mungkin dibayar lagi. Dia meninggal dunia membawa perasaan berhutang kepada Allah. Membawa utang zakat yang tidak akan pernah terbayar, kecuali bila anak-anaknya mau membayar utang zakat ayahnya. Ternyata ada hubungan zakat dan kesehatan, terutama kesehatan mental, demikian kesimpulan Zakiah Daradjat.

Allah SWT berfirman dalam Al Quran, Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS At-Taubah [9]: 103).

Keharmonisan antara fungsi jiwa dan tindakan dapat dicapai antara lain dengan menjalankan ajaran agama dan berusaha menerapkan norma-norma sosial, hukum, dan moral. Dengan demikian akan tercipta ketenangan batin yang menyebabkan timbulnya kebahagiaan dan ketenangan dalam menjalani kehidupan dengan segala problematikanya.

Di sinilah pentingnya peran agama yang menggerakkan kesadaran untuk memberi dan berbagi sebagai faktor kesehatan jiwa. Dalam hal ini diperlukan peran aktif ulama dan tokoh agama dalam pembangunan kesehatan, khususnya kesehatan jiwa dalam masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan dalam segala aspek dan tatanan kehidupan.

Zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh umat Muslim untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerima, yaitu fakir, miskin, amilin, muallaf, memerdekakan, perbudakan, gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil (QS At-Taubah [9]: 60). Zakat merupakan rukun Islam yang ke-4, selain syahadat, salat, puasa dan haji. Zakat merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang mampu. Dari sisi bahasa zakat memiliki arti bersih, suci, berkat, subur, dan berkembang.

Bukan harta yang sedikit menyebabkan susah. Bukan harta yang banyak menyebabkan gembira. Pokok gembira dan susah adalah jiwa yang gelisah atau jiwa yang tenang dan damai. demikian kata Prof. Dr. Hamka.

Wallahu a'lam bis-shawab.

M. Fuad Nasar (Sesditjen Bimas Islam)

Materi di atas pernah disampaikan penulis dalam webinar Kajian Islam dan Psikologi Universitas Indonesia (UI), Jumat, 3 Juli 2020.


Editor: Moh Khoeron

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat