Opini

Istiqlal dan Konvergensi Energi

Masjid Istiqlal

Masjid Istiqlal

Pada setiap kesempatan menjalankan salat di Masjid Istiqlal, kita akan mendapati banyak hal baru yang telah dikembangkan dan diperbaiki. Renovasi yang dijalankan pada Masjid Nasional ini telah menghadirkan nuansa baru yang mendukung mudah dan lebih inspiratifnya jamaah dalam beribadah.

Salah satu yang sangat menarik untuk diperhatikan sebagai konsep dan dampak pembaharuan Istiqlal yang dilakukan adalah penggunaan panel surya. Di tengah berbagai krisis lingkungan dan perubahan iklim yang masif terjadi di berbagai belahan dunia, kebijakan pemakaian panel surya di Istiqlal mendorong tumbuh dan berkembangnya kesadaran untuk menghargai lingkungan dalam makna terdalamnya.

Selain itu, dibangunnya panel surya di Masjid Istiqlal menandai babak baru perspektif umat Islam Indonesia dalam merespons perlunya berhemat energi. Dengan memakai panel surya, masjid terbesar se-Asia Tenggara ini menekan penggunaan listrik konvensional berbahan fosil. Konsep baru Masjid Nasional ini juga menjalankan praktik baik perlunya menghindari pemborosan penggunaan air untuk thaharah (bersuci).

Langkah Istiqlal tidak sepenuhnya hal baru di Indonesia. Namun, dalam posisi strategis sebagai Masjid Negara, inisiatif tersebut menempatkan Istiqlal berkemungkinan besar menjadi motor penggerak kesadaran umat tentang sikap moderat terhadap lingkungan dan energi terbarukan.

Pasalnya, pemakaian energi dan kerusakan ekologi seperti dua sisi keping mata uang. Energi merupakan bahan bakar untuk aktivitas perekonomian global, seperti perbaikan standar kualitas hidup dan pertumbuhan konsumsi. Hingga kini Indonesia masih sangat tergantung pada energi fosil dalam bentuk minyak bumi, gas bumi, dan batubara.

Penggunaan energi fosil secara besar-besaran mendorong pertumbuhan ekonomi, namun seringkali diikuti dengan kerusakan ekologis yang nantinya akan membawa potensi kerusakan dan kebencanaan alam. Oleh karena itu, kebijakan Istiqlal dengan moderatisme terhadap lingkungan dan energi terbarukan merupakan visi dan misi penting agenda keummatan dalam implementasi nilai dasar Al Quran dan adaptasi serta mitigasi problem lingkungan dan perubahan iklim.

Moderatisme
Dengan gamblang Al Quran menekankan perlunya kepedulian terhadap lingkungan dan bencana alam (QS Ali Imran:3; Ar Rum:41, dan ayat serta hadis lain yang senafas). Kepedulian ini patut diperkuat dengan sikap terus menerus untuk mengkritisi (farji’il bashara [QS Al Mulk:3]) sikap dan perlakuan terhadap alam dan lingkungan. Nilai dasar Islam jelas menekankan keseimbangan (moderatisme) antara mengambil manfaat dan menjaga kelestarian serta keberlangsungannya.

Moderatisme terhadap alam tersebut sejalan dengan kesepakatan global mengenai kondisi ekologi dan perubahan iklim dewasa ini. Panel para ilmuwan dan ulama Islam dalam Islamic Declaration on Global Climate Change (IDGCC) yang diselenggarakan di Istanbul pada tahun 2015. IDGCC (artikel 1.6) menilai bahwa sejak berkembangnya Revolusi Industri, umat manusia telah mengonsumsi sumber daya alam tak terbarukan secara tidak terkendali untuk pembangunan ekonomi.

Dalam himbauannya, IDGCC juga mengingatkan muslimin sedunia untuk menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan. Padanya, segala atribusi kemuliaan sikap menghargai manusia, lingkungan, flora, dan fauna tersemat. Atribusi demikian dengan sendirinya adalah refleksi Islam rahmatan lil alamin.

Di lain pihak, dalam laporan terkininya, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merilis Climate Change 2021: The Physical Science Basis dengan gamblang menunjukkan data bahwa tindakan manusia telah meningkatkan panas dan perubahan yang cepat di lapisan atmosfer, laut, dan daratan. Dampaknya, perubahan iklim diperkirakan akan semakin cepat terjadi. Suhu global bisa mencapai lebih dari 1,5 derajat celsius dalam 20 tahun ke depan. Merespons laporan ini, Sekjen PBB Antonio Guterres menyebutnya sebagai “kode merah untuk umat manusia” dan perlunya penghentian penggunaan bahan bakar fosil.

Oleh karena itu, meskipun masih bersikap mikro, namun tindakan berhemat air dan menggunakan energi terbarukan yang dipolopori Istiqlal adalah dakwah fundamental dalam mendorong perubahan gaya hidup agar tidak boros dan semaunya mengeksploitasi alam.

Konvergensi
Di lain pihak, pemerintah menguatkan komitmen untuk mengembangkan sumber energi baru dalam program Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). EBTKE diarahkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menekan biaya pokok produksi energi untuk kehidupan sehari-hari. Targetnya, bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 23% pada 2025. Namun, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga triwulan kedua 2020, bauran EBT nasional baru mencapai 10,9%, naik tipis dari capaian hingga akhir 2019 yang sebesar 9,1%.

Data tersebut juga menunjukkan perkembangan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam elektrifikasi yang belum menggembirakan. Sejak 2000-2019, pertumbuhan pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil tumbuh rata-rata 6,6% per tahun. Sementara itu, pembangkit listrik berbahan bakar EBT hingga November 2020 baru mencapai 12,6% atau 7.992 MW yang berasal dari kontribusi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 7,5%, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 3,9%, pembangkit listrik tenaga mini/mikro hydro sekitar 0,7%, pembangkit listrik tenaga bio/sampah 0,3%, pembangkit listrik tenaga angin/ bayu (PLTB) 0,2%, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 0,1%.

Dalam konteks demikian, kebijakan penggunaan panel surya dan berhemat air di Masjid Istiqlal seyogyanya bukan hanya dimaknai sebagai adaptasi terhadap perkembangan teknologi dan isu populis saja. Kebijakan tersebut bermakna penting untuk kesadaran bersama menghargai alam yang menyediakan kelimpahan energi dengan pilihan yang beragam. Langkah tersebut juga berupa ajakan untuk bersegera dalam menekan potensi kerusakan alam karena eksplotasi berlebihan.

Tentu saja, diperlukan afirmasi yang lebih intensif terkait kebijakan ini. Masjid mampu menjadi pendorong kesadaran dan kepatuhan umat tentang penghargaan terdap alam. Mimbar masjid dan pengajian di dalamnya eloknya lebih intensif menjadikan upaya penghargaan terhadap alam dan lingkungan serta perubahan iklim sebagai salah satu topik pengajian dan diskusi.

Disatukan dalam sebuah program ataupun tidak, dakwah demikian adalah sejalan dan berupa langkah konvergensi dengan kebijakan mengenai EBT. Diharapkan, langkah progresif Istiqlal dengan panel surya dan berhemat air menjadi inspirasi kuat bagi agenda keummatan Islam Indonesia.

(Saiful Maarif, ASN Ditjen Pendidikan Islam Kemenag)

Artikel ini, dengan beberapa penambahan kini, telah ditayangkan Harian Republika, 21 September 2021


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat