Buddha

Memangkas Belenggu Penderitaan

Buddha Wacana

Buddha Wacana

Ye rāgarattānupatanti sotaṁ, sayaṁ kataṁ makkatako va jālaṁ. Etaṁ pi chetvāna vajanti dhīrā, anapekkino sabbadukkhaṁ pahāya.

Mereka yang terpengaruh nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria. (Dhammapada, Syair 347)

Tujuan akhir ajaran Buddha adalah kebebasan dari penderitaan (Dukha Nirodha). Bebas dari penderitaan inilah yang disebut sebagai kebahagiaan tertinggi (paramasukha) dan lazim disebut nibbana.

Secara jelas, Sang Buddha menunjukkan kepada kita bahwa sebab penderitaan adalah keinginan rendah (tanha). Disebut keinginan rendah karena keinginan tersebut diselubungi oleh kebencian (dosa), keserakahan (lobha) dan kebodohan batin (moha).

Dalam kehidupan sehari-hari, jika dalam pikiran muncul kebencian, keserakahan, dan kebodohan batin, maka hidup menjadi tidak bahagia. Jadi belenggu penderitaan ada di dalam diri kita dan kita sendirilah yang mestinya memangkas dan melenyapkan belenggu penderitaan ini.

Perhatikanlah di dalam diri kita saat muncul penolakan terhadap kenyataan, mengeluh, marah, benci, dendam, maka penderitaan akan timbul. Saat muncul rasa tiada bersyukur, tidak menikmati dan menghargai apa yang sudah dicapai, menginginkan sesuatu secara berlebihan, maka di sana kita merasakan tidak bahagia. Terlebih saat pikiran diliputi ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, dan emosi-emosi negatif lainnya, hidup kita jauh dari bahagia. Itulah menifestasi dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan batin sebagai belenggu penderitaan kita.

Lalu, bagaimanakah kita memangkas belenggu-belenggu penderitaan itu?

Pertama-tama, kita perlu melatih pengendalian diri (samvara) dalam hal keinginan-keinginan kita. Kita perlu memilah-milah mana keinginan yang tidak melanggar Dhamma dan keinginan yang realistis kita capai dan keinginan.

Mempunyai keinginan adalah sangat diperbolehkan asalkan tidak melanggar Dhamma dan realistis. Keinginan yang bertentangan dengan moralitas, hukum positif suatu negara, norma masyarakat dan peraturan lainnya, jelas akan menimbulkan penderitaan, meskipun di awal nampaknya menyenangkan.

Keinginan yang tidak realistis dicapai, hanya akan menimbulkan kekecewaan, stress, tekanan batin dan berada dalam ketidaknyamanan. Hal itu jelas sebuah penderitaan.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa semua keinginan mempunyai dua konsekuensi, yakni tercapai dan tidak tercapai. Meskipun keinginan itu adalah keinginan yang baik, namun jika tidak tercapai berpotensi menimbulkan kecewa, sedih, dan tidak bahagia. Sedangkan keinginan yang tercapai, berpotensi menimbulkan keinginan-keinginan baru yang lebih lagi, tidak jarang membuat keinginan yang telah dicapai terasa tak lagi membahagiakan.

Apalagi, jika keinginan kita sebenarnya hanyalah demi untuk pemenuhan ego semata. Misalnya, supaya dikenal lebih dari yang lain dan jika ada yang melebihi dirinya menjadi sangat tidak bahagia.

Mewaspadai tentang konsekuensi atas munculnya keinginan dan meredamnya dengan kesadaran diri adalah cara memangkas belenggu penderitaan.

Semoga kita semua terbebas dari nafsu-nafsu keingingan rendah.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia

Buddha Lainnya Lihat Semua

Ilustrasi
Kasih Sayang Ibu
Buddha Wacana
Keyakinan Benar

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua

Khutbah Jumat
Keagungan Ramadan