Hindu

New Normal dalam Perspektif Hindu

Putu Gede Suarya Natha, S.S. (Rohaniwan Hindu)

Putu Gede Suarya Natha, S.S. (Rohaniwan Hindu)

Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namosiddham. Umat sedharma, bangsa kita dan juga dunia saat ini masih dilanda pandemi Covid-19. Hampir dua tahun kita mendengar nama corona virus beserta segala upaya yang dilakukan, baik dari pemerintah, dan seluruh lapisan masyarakat untuk menangulanginya.

Sejak pandemi, kita diajak memulai suatu perubahan kebiasaan, perubahan gaya hidup, yang kita kenal dengan new normal. Perubahan kebiasaan hidup atau new normal ini menekankan kita pada kewaspadaan atau kehati-hatian, kebersihan, serta pengendalian diri, guna mendapatkan hidup yang sehat.

Perubahan acap kali menjadi suatu hal yang nampaknya memiliki kesan tersendiri di benak kita. Perubahan gaya hidup ataupun perubahan kebiasaan jika kita lihat dalam ajaran agama Hindu merupakan suatu hal yang memang harus dilalui.

Sebagai contoh, dalam agama Hindu kita mengenal istilah catur asrama, yaitu: empat fase atau tahapan dalam hidup, yaitu: Brahmacari (masa belajar), Grahasta (masa berumah tangga), Wanaprasta (masa pension), dan Sanyasin (masa di mana kita telah mampu melepaskan keduniawian). Keempat fase tersebut menunjukkan bahwa perubahan akan selalu ada dalam proses kehidupan ini.

Kenormalan baru atau new normal di masa pandemi ini adalah membiasakan diri menerapkan protokol kesehatan (prokes) di segala aktivitas. Prokes itu mulai dari memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi bepergian jika tidak mendesak, dan diiringi pula dengan doa.

Anjuran mengenai new normal ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari pemanfaatan karunia Ida Sang Hyang Widhi. Dalam agama Hindu, manusia disebut sebagai makhluk yang paling mulia. Sebab, manusia diberkati dengan Tri Premana, yakni Bayu, Sabdha, dan Idep. Idep memungkinkan kita berpikir dan berupaya untuk menyelamatkan diri dari berbagai marabahaya. Ini sebagaimana dinyatakan dalam Sarasamuccaya sloka 4:

“Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wĕnang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika.” (Terlahir menjadi manusia adalah sungguh – sungguh utama. Sebab, manusia mampu menolong dirinya sendiri dari kesengsaraan, dengan berbuat hal-hal yang baik. Demikianlah keuntungan terlahir sebagai manusia).

Menurut hasil riset, virus Covid-19 tersebut dapat bermutasi. Mutasi inilah yang menjadi tantangan tersendiri untuk kita semua. Kita dituntut untuk terus berupaya. Upaya yang dilakukan pun harus dengan sangat berhati-hati dan dengan kesungguhan hati.

Ini sebagaimana yang disebutkan pada kakawin Ramayana: “Utsaha ta larapana, karyyāsing pahapagĕhĕn” (Tekun atau usaha yang gigih itulah dijadikan sebagai jalan, setiap pekerjaan apapun dilakukan dengan tekun).

Dengan ketekunan, kesungguhan hati, kehati-hatian, dan semangat untuk tidak menyerah, astungkara kita akan menemukan solusi atas segala persoalan. Begitu pula dalam menanggulangi pandemi ini, ketekunan, kehati-hatian, dan kesungguhan menjadi sesuatu yang sangat penting sebab pandemi ini menyangkut persoalan nyawa.

Jika dilihat dari nilai – nilai filosofis agama Hindu, penerapan prokes 5M tersebut mengandung esensi pengendalian diri dan pembersihan. Memakai masker misalnya, sangat berguna untuk melindungi diri sendiri serta melindungi orang lain. Pada Sarasamuccaya sloka 136 dijelaskan bahwa seseorang yang menyayangi hidupnya juga wajib menjaga hidup orang lain. Masker berfungsi sebagai filter yang menyaring apa saja yang keluar dari mulut dan hidung, serta menyaring apa saja yang dapat masuk ke dalam tubuh kita melalui mulut dan hidung. Selain bermanfaat bagi kesehatan, penggunaan masker ini juga dapat dijadikan simbol pengendalian diri. Mengendalikan diri agar tidak berucap yang menyakiti perasaan orang lain, atau simbol penyaring perkataan yang tidak sebaiknya diucapkan.

Selain memakai masker, kita juga dianjurkan untuk tidak bepergian, jika tidak ada kepentingan. Apabila mendesak dan harus dilakukan di luar rumah, maka kita dianjurkan untuk menjaga jarak dan tidak berkerumun. Tiga hal tersebut juga termasuk dalam suatu bentuk pengendalian diri. Memilah mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang merupakan sekedar pemuas keinginan juga membutuhkan kebijaksanaan.

Seringkali kita sulit menahan rasa bosan ketika diam di rumah. Di sinilah kita diharapkan mampu untuk menahan diri. Menahan diri untuk tidak bepergian ketika tidak ada kepentingan juga dapat dikaitkan dengan salah satu brata panyepian, yakni amati lelungan. Sarasamuccaya sloka 300 juga menyatakan bahwa hendaknya kita berhati-hati dalam bergaul. Sebab, kita bisa saja terkena pengaruh, baik itu pengaruh yang baik maupun pengaruh yang buruk. Di masa seperti saat ini, sangat penting untuk kita tidak berkerumun, untuk mengantisipasi adanya penularan virus.

Poin terakhir yang tidak kalah penting adalah mencuci tangan. Tangan merupakan bagian tubuh yang sangat aktif. Jika tangan kita menyentuh sesuatu yang kotor dan kemudian kita menyentuh mulut, hidung, maupun mata, sangat memungkinkan hal-hal kotor tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan munculnya penyakit. Oleh karena itu, mencuci tangan sangat dianjurkan dari segi medis.

Selain itu, mencuci tangan dan membersihkan diri juga merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam agama Hindu. Saat kita akan melakukan Puja Tri Sandhya misalnya, kita melakukan pembersihan tangan dan diri atau yang disebut karasodhana. Selain itu, pada lontar Sundarigama juga menjelaskan bahwa banyak ritus upacara agama Hindu yang pada dasarnya dilakukan sebagai pembersih atau penyucian baik bhuana agung maupun bhuana alit. Jika pembersihan itu tidak dilakukan, maka akan muncul wabah penyakit.

Pemaknaan mengenai teks tersebut tentu perlu dilakukan secara kontekstual. Pelaksanaan upacara pembersihan tersebut perlu diimplementasikan secara nyata, dimulai dari hal-hal kecil seperti mencuci tangan, menjaga kebersihan alam lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, terlebih di masa pandemi seperti saat ini. Esensi dari upacara pembersihan tersebut dapat diaplikasikan secara nyata dengan mencuci tangan, membersihkan tubuh dengan mandi, sebagai wujud implementasi dari menyucikan bhuana alit.

Sedangkan untuk mengimplementasikan esensi penyucian bhuana agung atau alam, dapat kita mulai dari membersihkan sampah di lingkungan sekitar, membersihkan area-area yang sekiranya diakses oleh banyak orang seperti membersihkan gagang pintu juga merupakan bagian dari implementasi pembersihan buana agung. Maka dari itu, sebaiknya kita melakukan usaha – usaha baik secara nyata atau sekala yaitu dengan menerapkan protokol kesehatan, dan niskala seperti berdoa atau ibadah. Kedua usaha tersebut sebaiknya dilakukan dengan seimbang. Dengan demikian, astungkara kita akan memperoleh hasil yang optimal dan pandemic ini dapat segera berakhir.

Sahabat pelita dharma dimanapun anda berada, dapat kita simpulkan bahwa esensi kebiasaan baru untuk mulai menerapkan protokol kesehatan dalam beraktivitas, sejalan dengan ajaran agama Hindu. Usaha – usaha yang dilakukan dalam penanggulangan pandemi ini seyogyanya dilakukan dengan seimbang, yakni dengan menerapkan prokes dan juga tidak lupa untuk tetap berdoa pada Ida Sang Hyang Widhi.

Demikian, semoga bermanfaat dan semoga kita semua selalu dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Om Santih Santih Santih Om.

Putu Gede Suarya Natha, S.S. (Rohaniwan Hindu)

Hindu Lainnya Lihat Semua

I Gusti Agung Istri Purwati, S.Sos, M.Fil.H (Penyuluh Agama Hindu Kankemenag Badung, Bali)
Mengatasi Stres

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua