Opini

Pancasila dan Tahun Pencerahan Bangsa

Martin Hasiholan Siagian (Penulis adalah Senior GMKI Cab Medan dan ASN Kemenag RI)

Martin Hasiholan Siagian (Penulis adalah Senior GMKI Cab Medan dan ASN Kemenag RI)

Jika kebenaran lama ingin mempertahankan cengkeramannya pada pikiran manusia, mereka harus disajikan kembali dalam bahasa dan konsep generasi-generasi berikutnya. (Friedrich Hayek)

Entah mengapa generasi muda kian mengesampingkan peran ideologi dalam kehidupan mereka. Ruang-ruang publik mereka hampir tidak pernah memperbincangkan Ideologi. Selain perlu berpikir ekstra, membicarakan Ideologi sangat membuang waktu dan tidak menarik. Ideologi dianggap konsumsi para orang tua atau politisi di masa kampanye. Untuk sekedar menyebutkan lima sila Pancasila bukan hal sulit bagi mereka. Namun bukan karena Pancasila istimewa, melainkan sekolah mewajibkannya menghapal agar lulus ujian.

Walaupun begitu jangan terburu-buru menyalahkan mereka. Setiap persepsi pasti ada yang membentuknya. Persoalan pokok bukan melulu pada kurikum pendidikan. Apa yang terlihat sehari-hari berperan lebih besar dalam pembentukan persepsi tentang Pancasila. Selama Produk hukum, layanan publik dan sistem kesejahteraan sosial tidak mencerminkan Pancasila, jangan harap darah Ideologi mengaliri tubuh mereka.

Salah satu hal yang bertanggungjawab atas fenomena ini adalah modernisasi. Kita tahu arus modernisasi menimbulkan kompleksitas problem sosial yang lebih rumit dan beragam. Sebagian dari persoalan itu memerlukan kebijakan penanganan yang tanggap dan responsif. Penguasa tentu mengalami kesulitan ketika dihadapkan pilihan kebijakan di mana satu di antaranya bertentangan dengan Ideologi Negara. Maka hanya ada dua pilihan berkompromi dengan keadaan meski harus mengingkari ideologi atau tidak berkompromi dengan risiko yang menanti.

Misalkan soal campur tangan negara terhadap pasar, di tengah lesunya perekonomian. Dua Ideologi masyhur Liberalisme dan Sosialisme saja hampir kesulitan menghadapi permasalahan ini. Bagi negara berpaham liberal misalnya, tidak mungkin menutup mata ketika sejumlah korporasi berkongkalikong membentuk harga pasar sehingga menyulitkan daya beli masyarakat. Atau bagaimana mungkin Pemerintahnya berdiam diri menyaksikan kebangkrutan suatu korporasi yang diprediksi berdampak sistemik ke perekonomian negara. Maka, pilihan rasionalnya adalah negara harus turun tangan. Apa yang diharamkan Kapitalisme menjadi halal demi kepentingan yang lebih luas, yaitu masyarakat.

Sebaliknya Negara berhaluan Komunisme takkan kuasa menutup tirai bagi investasi perorangan maupun korporasi. Mereka menyadari bahwa kemajuan ekonomi tidak bisa disebabkan komponen tunggal kekuasaan. Faktor-faktor produksi lebih baik didistribusikan kepada kaum kapital agar efek ekonominya menjangkau ke sebanyak mungkin rakyat. Jika kedua Ideologi besar tersebut saja gagal mempertahankan eksistensinya, harapan apa yang tersisa bagi generasi muda kita hari ini mengenal ide besar Pancasila dan mentransformasikannya ke penerus berikutnya.

Bercermin dari inkonsistensi Liberalis dan Sosialis di atas, bukan masalah sulit bagi Pancasila. Bung Karno berhasil mencipta sintesa baru dari dua arus ideologi besar ini. Pancasila memberikan peran negara dan individu dalam kegiatan pasar. Hanya sektor-sektor produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai negara, selebihnya perseorangan dan korporasi diperbolehkan menguasainya. Namun ancaman ketahanan Ideologi Pancasia bukan di situ. Ada hal lain yang belum tuntas. Masih ada kerikil tajam yang tersebar di sepanjang jalan. Hari ini mungkin bisa dihindari siapa yang tahu dengan esok?

Meski tidak ada ideologi yang sempurna, elit tetap terobsesi padanya. Bagaimana tidak? kebijakan dan program pemerintah memerlukan dukungan penuh rakyat, bukan hanya rakyat sebagai elemen paling terdampak melainkan kondusivitas negara adalah karpet merah bagi investasi. Selain meringankan kerja

pemerintah dalam menggerakkan ekonomi, investasi dapat memberi kemakmuran bagi sebanyak-banyaknya rakyat. Maka demi kondusivitas dan persatuan perlu ada semacam nilai yang diyakini bersama serta diterima semua orang. Suatu nilai utama yang menyatukan nilai satu dengan lainnya. Nilai yang mengakomodir semua kepentingan, namun memberi arahan dan aturan main yang jelas bagi mereka. Sejauh peradaban intelektual manusia nilai dimaksud paling layak disematkan kepada Ideologi.

Krisis Ideologi
Mungkin kita perlu menggunakan kata krisis agar lebih peduli terhadap keadaan. Krisis ideologi diambang nyata. Sayangnya tidak semua orang menyadari sampai hal buruk terjadi dan kita terlambat mengatasinya. Gangguan terhadap eksistensi Pancasila meski sudah terlihat jelas disederhanakan sebagai percakapan publik biasa. Mereka berpikir mengganti ideologi membutuhkan mekanisme amandemen UUD 1945 di MPR yang rumit. Sementara belum ada seorang legislator pun di parlemen yang secara terbuka mengusulkan pergantian nama ideologi secara konstitusional. Maka nyaris tidak ada jalan bagi siapapun menghilangkan Pancasila dari konstitusi. Gerakan-gerakan menggerogoti ideologi dianggap riak-riak demokrasi semata. Begitulah cara kita meremehkan pergerakan anti-Pancasila.

Jika Pancasila sudah final dalam teks konstitusi, apakah kita sudah seragam memahaminya? Tampak jelas di hadapan kita berbagai tafisran Pancasila yang bertujuan mencerabut Pancasila dari kontekstualitasnya. Kita tahu Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sering dipakai untuk meyeret negara ke dalam polarisasi tajam. Ketuhanan dirujuk kepada agama tertentu. Sila pertama dipakai untuk “menggebuk” dan merundung kearifan lokal, akulturasi budaya, serta pluralitas bangsa. Makna Ketuhanan yang seharusnya universal dipersempit ke dalam dogma agamanya saja.

Ada lagi pandangan yang mengatakan Pancasila sebagai kompromi politik yang berisi sila-sila yang tercerai berai. Yaitu upaya Bung Karno menyatukan tiga dalil paham besar Nasionalis, Agama dan Komunis. Bung Karno dianggap memaksakan diri demi ambisi pribadinya mempersatukan Nusantara. Oleh karenannya sila-sila tersebut terkesan berdiri sendiri, bukan satu kesatuan yang berpegangan erat dan saling mengunci.

Penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama dianggap bukti bahwa sebenarnya Indonesia adalah negara agama. Sila pertama dianggap menempati strata tertinggi sehingga sila lainnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengannya. Kita masih belum tuntas memahami sila-sila dalam Pancasila berlaku setara atau strata? Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna pernah menjelaskan bahwa urutan-urutan Pancasila bukan urutan prioritas melainkan urutan sekuensial. Kelima sila tersebut berdiri pada posisi sejajar. Tidak ada derajat lebih tinggi atau rendah diantara sila tersebut.

Pancasila sebagai Pencerah Bangsa
Memahami Sila-sila Pancasila secara setara adalah cara ampuh menghentikan kebisingan ideologis. Saat membicarakan sila ketiga, kita perlu memahami bahwa Persatuan Indonesia dikehendaki karena bangsa Indonesia sangat menghormati kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan tetap menjunjung tinggi Keesaan Tuhan. Bangsa Indonesia menghendaki persatuan karena kita memiliki mimpi sama tentang keadilan sosial serta menjunjung tinggi hikmat kebijakan dalam menjalankan giat demokrasi. Begitu pula saat hendak membangun perspektif sila keadilan sosial, maka kita harus menjabarkannya bersamaan dengan sila-sila lain.

Pancasila merupakan hasil peleburan lima gagasan besar yang menjadi identitas bangsa. Mungkin anda menyukai gula, telur, mentega, tepung terigu, keju yang dikonsumsi secara terpisah, tapi jika seseorang mempersatukannya menjadi sepotong pancake anda akan menikmati cita rasa baru.

Tidak seperti Liberalisme atau Sosalisme yang digagas para pakar. Pancasila digali dari perut bumi pertiwi. Anda boleh saja membuat narasi berbeda misalkan Pancasila turun dari atmosfer bumi pertiwi, sama saja. Ungkapan Friedrich Hayek diawal mungkin benar jika suatu kebenaran lama ingin bertahan maka perlu penuturan ulang yang related dengan zamannya. Dalam sejarah peradaban belum ada ide yang berlaku di setiap zaman. Bisa saja para founding father Pancasila tidak menyadari akan ada teknologi informasi yang berkembang pesat setelahnya. Sehingga orang dapat dengan mudah mengalami distorsi atau sengaja mendistorsi informasi. Yang terpenting adalah bagaimana mencari makna Pancasila sebagai jalan menuju pencerahan di tengah krisis Ideologi melanda.

Martin Hasiholan Siagian (Penulis adalah Senior GMKI Cab Medan dan ASN Ditjen Bimas Kristen Kemenag RI)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua