Opini

UU Cipta Kerja dan Kemudahan bagi Penyelenggara Umrah

Abdul Basir (Analis Kebijakan pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah)

Abdul Basir (Analis Kebijakan pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah memberikan harapan baru dalam penyelenggaraan umrah. Regulasi ini diterbitkan untuk menggantikan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Baru pada UU tersebut kata “umrah” disebut menjadi judul sebuah Undang-Undang. Penyebutan tersebut menyiratkan bahwa penyelenggaraan ibadah umrah secara hukum memiliki kedudukan yang “setara” dengan penyelenggaraan ibadah haji.

Penyelenggaraan ibadah umrah kini seakan telah menjadi sebuah subjek utama. Benar saja, di dalam batang tubuh UU Nomor 8 Tahun 2019 terdapat banyak ketentuan yang mengatur penyelenggaraan ibadah umrah. Bukan hanya ketentuan teknis dari perizinan, pelayanan, akreditasi, serta hak dan kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) saja, berbagai ketentuan pidana dalam penyelenggaraan ibadah umrah juga diatur.

Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau biasa disebut UU CK. Sejumlah ketentuan dalam UU No 8 Tahun 2019 diubah oleh UU CK ini. Perubahan tersebut bukan berarti mengurangi peran negara di dalam penyelenggaraan ibadah umrah, tetapi justru mempetegas kehadiran negara di dalamnya yang merupakan pelayanan hajat hidup publik dalam sektor keagamaan.

UU 11 Tahun 2020 pada bagian yang mengatur sektor keagamaan menyebutkan bahwa tujuan pembentukannya untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan izin berusaha dari sektor keagamaan. Perizinan berusaha sektor keagamaan tersebut antara lain usaha di bidang perjalanan ibadah umrah dan penyelenggaraan ibadah haji khusus. Sehingga, beberapa ketentuan dalam UU No 8 Tahun 2019 diubah untuk memberikan kemudahan berusaha.

Dalam konteks penyelenggaraan ibadah umrah, kemudahan yang diatur dalam UU CK antara lain dalam proses perizinan, akreditasi, kewajiban Bank Garansi, dan pelaporan. Semua itu diatur dalam regulasi turunan dari UU CK, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2021, Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2021, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2021.

Kemudahan perizinan PPIU misalnya, diatur dalam Pasal 146 PP Nomor 5 Tahun 2021. Di situ dijelaskan bahwa Biro Perjalanan Wisata (BPW) yang telah menjalankan usaha minimal satu tahun dapat mengajukan izin sebagai PPIU. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang syaratnya minimal dua tahun. Proses pengurusan izinnya juga lebih mudah yaitu secara online melalui Online Single Submission (OSS) di bawah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Perizinan melalui OSS BKPM ini telah launching dan resmi digunakan mulai 17 Agustus 2021.

Kemudahan juga bisa dilihat pada ketentuan tentang Akreditasi PPIU. Sebelumnya, PPIU memiliki dua kewajiban akreditasi yang dianggap cukup “memberatkan”. Ketentuan lama, PPIU harus memenuhi akreditasi sebagai BPW dan akreditasi sebagai PPIU bila tidak ingin izin usahanya dicabut. Berdasarkan regulasi terbaru, PPIU cukup melaksanakan kewajiban akreditasi sebagai PPIU saja tanpa wajib melakukan akreditasi sebagai BPW. Demikian juga, bila PPIU telah memiliki izin sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), maka pelaksanaan akreditasi dapat dilakukan satu paket. Maksudnya, pelaksanaan akreditasi PPIU sekaligus PIHK. Ketentuan akreditasi PPIU ini di dalam Pasal 148 PP Nomor 5 Tahun 2021 dan Lampiran PMA Nomor 5 Tahun 2021. Adapun pedoman teknis pelaksanaan akreditasi PPIU dan PIHK akan diatur secara khusus di dalam Keputusan Menteri Agama tentang Skema Akreditasi PPIU/PIHK.

PMA 5 Tahun 2021 juga mengatur persyaratan khusus PPIU dan PIHK, berupa jaminan bank dalam bentuk deposito atau Bank Garansi (BG). Besaran jaminan bank diatur di dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 539 Tahun 2021. PPIU wajib menyerahkan BG sebesar seratus juta rupiah, sedangkan kewajiban BG bagi PIHK dua ratus lima puluh juta rupiah. Bila dilihat nilai jaminan bank berbeda dengan ketentuan sebelumnya, yaitu dua ratus juta rupiah bagi PPIU dan lima ratus juta rupiah bagi PIHK. Artinya PPIU/PIHK juga menikmati kemudahan lain berupa penurunan nilai jaminan bank yang jelas sangat menguntungkan bagi pelaku usaha.

PPIU juga memiliki kewajiban melaporkan beberapa hal seperti tertuang dalam Pasal 7 PMA Nomor 6 Tahun 2021. Hal yang wajib dilaporkan adalah rekening penampungan jemaah umrah yang telah menyetorkan biaya dan jemaah yang telah diasuransikan. Kemudahan yang diberikan pemerintah dalam pelaporan PPIU adalah pelaporannya dilakukan secara daring melalui SISKOPATUH yang merupakan singkatan dari Sistem Komputerisasi Pengelolaan Umrah dan Haji Khusus.

Berbagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah bertujuan agar pelaku usaha dapat berbisnis dengan lebih mudah tanpa dibebani dengan berbagai persyaratan yang memberatkan. Namun demikian, PPIU juga memiliki kewajiban agar jemaah umrah dapat beribadah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Bagi PPIU yang tidak melaksanakan kewajiban (wanprestasi), pemerintah juga akan tegas memberikan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Abdul Basir (Analis Kebijakan pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah)


Editor: Moh Khoeron

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat