Wawancara

Menjunjung Nilai Moderasi Beragama dalam Pemilu 

Kepala Pusat Litbang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Dr. Mohamad Isom, M.Ag

Kepala Pusat Litbang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Dr. Mohamad Isom, M.Ag

Pemilu 2024 merupakan momen signifikan yang menguji keseimbangan relasi antara agama dan negara. Momentum ini pada akhirnya menuntut pendekatan moderat untuk menjaga keberagaman dan menciptakan ruang inklusif dalam dinamika politik. Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi landasan yang esensial untuk memastikan bahwa pemilu mencerminkan nilai-nilai keadilan, toleransi, dan persatuan.

Bagaimana sejauh ini peran moderasi beragama di pemilu 2024, terutama pada 14 Februari mendatang? Dapatkah moderasi beragama membuka pemahaman masyarakat tentang perlunya menjaga sikap toleran dalam pemilu?

Beberapa pertanyaan yang relevan dapat diajukan, terutama bagaimana memilih pemimpin dalam pemilu yang akan segera digelar. Upaya ini, dalam beberapa hal, serupa menimbang dan memilih mana panggung depan dan belakang. Dalam relasi tersebut, moderasi beragama diharapkan mampu menjadi nilai yang memayungi masyarakat dalam menentukan pilihannya.

Kepala Pusat Litbang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Dr. Mohamad Isom, M.Ag memberikan pandangan-pandangannya tentang tema tersebut dalam sebuah sesi wawancara dengan Bheri Hamzah (Radio Elshinta dalam acara Talk Highlight) pada Rabu (24/1/2023).

Wawancara ditulis dan diedit oleh Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag/Kasubtim Bina Akademik pada Subdit PTU Direktorat PAI).

Pemilu dan moderasi beragama, ini merupakan tema yang sangat menggelitik dan memancing keingintahuan kita rasanya. Kalau kita tarik dan mungkin bisa dijelaskan, seperti apa konteksnya, Prof?

Terima kasih. Ini gayung bersambut sebenarnya. Pada tahun 2023 itu ada Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Di dalamnya pemerintah memberikan amar, memberikan amanah, agar supaya kita bangsa Indonesia bisa menerapkan nilai-nilai modernasi beragama. Adapun kaitannya dengan pemilu, pemilu ini merupakan pesta demokrasi yang harus disambut dengan gembira. Kita sebagai umat beragama, mayoritas di Indonesia adalah umat beragama, harus (mampu) mengembangkan nilai-nilai yang seimbang.

Kita harus mengembangkan nilai-nilai yang seimbang dalam menciptakan dan melandasi kegiatan pemilu yang mungkin akhir-akhir ini intensi dinamika politiknya sangat luar biasa. Kita perlu membuat dan menciptakan ruang-ruang moderat, ruang-ruang inklusif, agar supaya kita bisa toleran dengan pilihan-pilihan yang berbeda, preferensi-preferensi yang berbeda, supaya kita tetap menuju kepada tujuan yang sejati. Tujuan sejati itu adalah kita ingin menciptakan Indonesia negara yang aman, yang adil, dan sejahtera di mana kemudian kita semua sebagai bangsa Indonesia dan sebagai umat beragama bisa hidup nyaman, tentram, dalam bingkai negara kesatuan yang berbeda.

Moderasi beragama bisa menjadi landasan esensial untuk toleransi dalam proses pemilihan umum, bisa menjadi landasan esensial untuk persatuan, dan juga menjadi landasan untuk pemilu yang berkeadilan. Dengan moderasi beragama kita tidak saling menciptakan hoaks dan tidak saling menyandera. Kita tidak boleh serta-merta kemudian membabi buta membela pilihan kita dalam konteks memilih pemimpin, entah itu legislatif, partai politik, atau misalnya terkait dengan pilpres.

Dengan moderasi beragama itu, kita ingin menciptakan kerukunan antarumat beragama dan kerukunan intern umat beragama. Yang seagama itu pun banyak faham, banyak aliran, banyak perbedaan pandangan. Kita juga harus rukun dan yang ketiga ini yang mungkin menjadi momentum yang signifikan untuk menguji relasi agama dan negara, yaitu kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Artinya, umat beragama yang ada di Indonesia harus men-support program-program pemerintah utamanya pemilu yang merupakan wahana untuk demokrasi, wahana untuk menciptakan kekuasaan rakyat untuk menjadi panglima di negara kita.

Pemilu merupakan pesta untuk rakyat dimana kita harus mampu bersikap seimbang, toleran, dan menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika.

(Melalui sarana online dan tanggapan via medsos, pewawancara mempersilakan jika ada pertanyaan dari pemirsa. Berikut adalah beberapa pertanyaan yang disarikan dari yang disampaikan di sesi pertanyaan terbuka tersebut)

Apakah ada kerentanan yang terjadi jika moderasi beragama ini tidak kita jalankan nantinya?

Tentu. Kalau nanti misalkan kita terlalu fanatik buta dalam pilihan-pilihan politik tanpa dilandasi dengan nilai-nilai toleransi dan nilai-nilai kebhinekaan tentu kita tidak ingin terulang pada peristiwa-peristiwa tahun lalu yang (penuh dengan nuansa) segregatif yang sangat mengkhawatirkan. Saat ini, menurut penelitian dari BRIN, politik identitas dalam masa-masa pemilu ini sedang tidur.

Tidak ditemukan lagi penggunaan secara nyaring idiom-idiom politik semisal kadrun, cebong, buzzerp, dan lainnya. Namun demikian, bukan berarti mereka tidak mampu bangkit lagi. Politik identitas merupakan bagian dari social cleave atau sebagai social foodlines, seperti etnis, agama, wilayah, dan sebagainya yang bisa membuat retak masyarakat.

Tidak ada istilahnya gejolak yang memunculkan politik identitas dan sentimen-sentimen keagamaan. Kalau ada pasti akan dicubit sama masyarakat karena masyarakat sudah punya kesadaran akan perlunya nilai-nilai moderasi beragama, toleransi, saling menghargai, saling menghormati, saling asih dan saling asuh antarsesama anak bangsa.

Walaupun preferensi politiknya berbeda, akhirnya kita bareng (sebagai) bersaudara. Jangan sampai kemudian yang di atas ngopi-ngopi bareng, duduk-duduk bareng, tertawa, salaman tetapi yang di bawah tidak bisa rukun, kagetan, dan lain sebagainya. Hal ini tentu tidak kita harapkan. Oleh karena itu, nilai-nilai moderasi beragama yang mengandaikan kita harus toleran, kita harus saling menghormati, menghargai, saling asli, saling asih antarsesama perlu menjadi elan vital dalam proses pemilu yang sedang kita jalani ini.

Pilihan-pilihan itu seperti di pesta pernikahan. Mau memilih makan apa kan itu menjadi kegembiraan kita, semua jadi pilihan-pilihan itu tentu harus dilandasi dengan nilai moderasi beragama biar seimbang.

Sikap fanatisme buta itu harus diseimbangkan dengan rasionalitas. Dalam memilih, tentu kita harus melihat jangan hanya fanatik saja --istilahnya bahasa Jawanya pokoe-- tetapi harus dilihat program dan misinya apa. Kita sudah mulai harus berdewasa dalam berdemokrasi dan berpolitik. Saya kira ini bagus untuk menjadikan landasan pokok dalam proses pemilu yang sedang kita lalui

Memang harus selayaknya begitu adanya bangsa Indonesia. Kita ini sudah ditakdirkan bahwa bukan pilihan kita untuk menjadi berbeda-beda suku, berbeda-beda agama, berbeda bahasa, berbeda daerah, dan juga mungkin berbeda partai. Berbeda pilihan itu hal yang biasa. Yang terpenting kita harus mengingat pada tujuan yang sebenarnya, bahwa kita sudah berkomitmen dalam berbangsa dan bernegara dengan dasar Pancasila, Kita ingin menciptakan bangsa yang adil, makmur, Indonesia Emas, Indonesia yang bermartabat, Indonesia yang maju, dan Indonesia yang berkeadilan.

Saya kira itu yang harus menjadi pedoman kita dalam proses pemilu. Itu hal yang harus kita lalui tetapi harus mengingat kepada tujuan akhirnya, tujuan yang utama. Memang kadang-kadang hal ini melibatkan perasaan. Ketika ada propaganda, yang kemudian berubah menjadi fanatisme buta, akhirnya terjadi perselisihan. Kalau kita mau jujur, sebagaimana yang saya sebutkan, sebenarnya berbeda itu hal yang biasa saja.

Coba kita lihat para capres-cawapres, setiap debat seterusnya salaman, senyum-senyum, dan berangkulan. Itu asik sih sebenarnya kalau di masyarakat juga bertindak sama, namun harus dilandasi dengan kejujuran dan keadilan. Jangan berbeda antara panggung depan dengan panggung belakang.

Kita bisa melihat rekam jejak calon pemimpin kita di semua media yang ada tentang bagaimana rekam jejaknya, riwayat hidupnya, bagaimana prestasi ketika memimpin atau berada di satu jabatan, dan bagaimana juga program-program yang akan dijalankan visi-visinya.

Kalau hanya visi-visi yang tertuang dalam kertas, tapi kita belum tahu apakah nanti bisa menjalankan atau tidak, maka kita harus berkaca kepada rekan-rekannya selama dia memimpin, bagaimana, apakah berprestasi, apakah tidak ada masalah, dan seterusnya, dan seterusnya.

Saya kira bangsa Indonesia mulai menjadi bangsa yang sudah bisa memilah dan memilih mana yang baik, mana yang benar, mana yang antara panggung belakang dan panggung depan itu berbeda.

Maksudnya, misalnya anak-anak millennial gen Z, generasi Z dan anak-anak millennial itu sekarang sangat luar biasa. Mereka sudah bisa mengeksplor bagaimana pemimpin-pimpin kita. Sesungguhnya anak-anak sekarang itu sudah cerdas, sudah bisa memilah dan memilih dan bisa merasionalkan pilihan-pilihannya. Hanya saja, jangan sampai anak-anak gen Z dan generasi milenial itu teracuni dengan politik uang, misalnya. Kita harus muncul di berbagai media untuk menolak politik uang, tolak apapun yang berbau mempengaruhi pilihan kita yang tidak berdasarkan rasionalitas.

Sikap moderat itu mengandaikan kita harus mampu menjadi wasit yang bagus, menjadi pemilih yang bijak, yang menggunakan rasionalitas yang terukur. Itulah yang menjadi landasan kita.

Bagaimana ciri-ciri pemimpin yang jujur dan amanah sekarang ini?

Saya sangat bersyukur sekali dan mengucapkan alhamdulillah di masyarakat kita sekarang sudah sangat cerdas, sangat bijak, dan sangat bisa memilih dan menikmati sesuatu dengan rasional. Tadi sudah disampaikan bahwa moderasi beragama untuk sesama umat beragama dan di dalam umat beragama atau internumat beragama itu sudah selesai, sudah tidak ada riak-riak yang muncul di permukaan. Sekarang tugas kita adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai moderasi beragama yaitu komitmen kebangsaan, kemaslahatan umum, menciptakan toleransi dan menghargai tradisi dan budaya serta kearifan lokal yang sudah ini kita bawa ke dalam pesta demokrasi yang akan kita hadapi. Silakan masyarakat memilih untuk menciptakan keadilan, untuk menciptakan toleransi dan persatuan kita dalam berbangsa dengan negara dengan dilandasi dengan nilai-nilai moderasi beragama. Di dalam pemilu nantinya kita harus menyeimbangkan relasi antarumat beragama atau warga negara Indonesia dengan negara dalam proses demokrasi ini dengan rasionalitas, dengan kewarasan berfikir, dengan kebijaksanaan, dan dengan hati nurani.

Jadi ini untuk menepis orang-orang yang fanatik buta, menepis pemimpin-pemimpin yang mempolitisasi agama dengan isu-isu yang tidak benar, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang adiluhung.

Saya kira seluruh bangsa Indonesia sudah punya kewarasan berfikir untuk memilih mana yang merupakan panggung depan, mana panggung belakang. Generasi-generasi sekarang itu sudah bisa mencermati nilai-nilai pemilu yang nantinya harus menjunjung kejujuran, keadilan, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Nanti kita akan berbondong-bondong ke tempat pemilihan untuk menggunakan hati dan rakyat kita, untuk menggunakan rasionalitas kita, demi toleransi, demi persatuan, dan demi Indonesia yang berkeadilan.

Pemilu tinggal beberapa hari. Apa dan bagaimana sikap yang patut ditumbuhkan bersama?

Sikap-sikap yang sudah bagus harus diteruskan, harus dilekatkan dalam proses-proses berdemokrasi yang akan kita jalani. Perlu disampaikan kepada para generasi milenial, dengan generasi Gen Z, ayo ikuti dan saksikan debat-debat yang ada. Kita masih memiliki akses rekaman-rekaman di youtube yang dapat dilihat rekam jejaknya, diperhatikan antara omong-omongannya dengan perbuatannya. Saya kira dengan kewarasan berpikir, denganrasionalitas yang tinggi dan hati nurani yang dipakai, Insya Allah masyarakat kita yang sudah cerdas ini bisa akan memilih pemimpin yang benar-benar menjadi harapan kita.

Ke depannya nanti orang-orang yang berbeda itu disikapi dengan bijak, dengan toleransi yang tinggi, toleransinya harus toleransi aktif, bukan toleransi pasif. Kalau toleransi pasif, kita diamin aja, yang tidak benar kita diamin kita nggak punya pendapat. Jadi toleransi aktif kita harus memperjuangkan nilai-nilai yang mulia demi terciptanya tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara sesuai dengan amanah konstitusi yang ada.

Yang penting jangan cepat terpengaruh dengan politik uang, dengan politik-politik yang kemudian yang sifatnya materialistis, tetapi kemudian menghilangkan idealitas yang kita miliki. Kekuasaan berpikir kita menjadi hilang karena pengaruh-pengaruh materialistis yang diciptakan. Ini harus kita lawan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai moderasi beragama.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Wawancara Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua