Feature

MIN 1 Bintan, Cermin Madrasah Moderat di Wilayah Perbatasan

Siswa MIN 1 Bintan

Siswa MIN 1 Bintan

Bintan (Kemenag) --- Mata gadis cilik itu berbinar saat mengisahkan kekagumannya kepada sosok Nabi Muhammad SAW. "Saya kagum dengan Nabi Muhammad, karena beliau tabah, bisa dipercaya, dan ramah," tutur gadis cilik bernama Celsi Olivia, Kamis (15/2/2024).

Siswa kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Bintan, Kepulauan Riau itu mengenak sosok Nabi Muhammad melalui pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). “Saya suka pelajaran SKI, karena senang mendengar sejarah-sejarah Islam,” tuturnya.

Menariknya, tidak seperti kebanyakan murid madrasah yang beragama muslim, Celsi adalah pemeluk agama Kristen. Ya, Celsi adalah salah satu dari delapan siswa MIN 1 Bintan yang beragama non-muslim.

Berbeda dengan kebanyakan madrasah, MIN 1 Bintan yang terletak di Desa Berakit Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau ini memang kerap menerima siswa non muslim.

Menurut Kepala MIN 1 Bintan Ridwan, kondisi unik ini sudah ada sejak berdirinya madrasah.

“Menurut informasi dari para tokoh masyarakat dan guru senior, sejak berdirinya memang sudah ada murid nonmuslim karena dulu di sini tidak ada SD, hanya MIN saja," ungkap Ridwan.

"Saat ini ada delapan siswa yang nonmuslim, kelas 1 ada 1 orang, kelas 2 ada 2 murid (laki-laki dan perempuan), kelas 4 ada 2 murid perempuan, kelas 5 ada 2 murid laki-laki, dan kelas 6 ada 1 orang laki-laki. Mereka beragama Kristen dan Katolik,” imbuhnya.

Berdasarkan catatan sejarah, MIN 1 Bintan didirikan pada tahun 3 Januari 1951 dengan nama SRP (Sekolah Rakyat Partikelir). Madrasah ini merupakan madrasah tertua se- Provinsi Riau kala itu, saat belum memisahkan diri menjadi Provinsi Kepulauan Riau.

Seiring berjalan waktu, SRP sempat mengalami pergantian nama beberapa kali. Pada tahun 1958 SRP berubah menjadi SRI (Sekolah Rakyat Islam), tahun 1959 berubah menjadi Sekolah Rakyat (SR) di bawah Yayasan Madrasah Wajib Belajar (YMWB), dan tahun 1967 berubah nama menjadi MIS (Madrasah Ibtidaiyah Swasta). Madrasah ini kemudian dinegerikan pada tahun 1968 dengan nama MIN Berakit.

Pada tahun 2016 MIN Berakit berganti menjadi MIN 2 Bintan sebelum kemudian berganti nama kembali menjadi MIN 1 Bintan hingga saat ini. Sedangkan MIN 2 Bintan menjadi nama madrasah yang berada di Desa Pangkil Kecamatan Teluk Bintan.

Menyadari madrasahnya menjadi salah satu harapan pendidikan masyarakat Desa Berakit, membuat Ridwan membuka diri. "Pendidikan ini hak seluruh anak bangsa. Begitu juga di MIN 1 Bintan. Itu mengapa kami juga bersedia menerima siswa non-muslim. Ini juga bentuk kepercayaan masyarakat pada madrasah," tutur Ridwan.

Ridwan mengisahkan, murid nonmuslim yang bersekolah di MIN 1 Bintan rata-rata sudah turun temurun dari orang tuanya yang dulu juga bersekolah di sini. Ini membuktikan kepercayaan mereka terhadap MIN 1 Bintan terbilang tinggi. Meski sudah disarankan untuk memilih sekolah yang lain, keinginan mereka tidak goyah.

“Mereka turun temurun di sini, sampai saat ini juga menyekolahkan anaknya di MIN 1 Bintan. Kami pernah menyarankan untuk (daftar) ke SD tapi mereka tidak mau. Saat mendaftarkan anaknya kita sudah menyampaikan bahwa MIN 1 Bintan sekolah berbasis agama, mereka tetap mau mendaftar,” ucap Ridwan mengenang.

Ridwan menceritakan interaksi para murid dengan adanya perbedaan agama di MIN 1 Bintan. Menurutnya, mereka tetap bermain bersama layaknya anak-anak tanpa ada diskriminasi atas perbedaan agama.

“Alhamdulillah dari saya bertugas tidak ada permasalahan, mereka sama saja tidak ada saling mengejek dan menganggap mereka satu keluarga. Kadang-kadang mereka (murid nonmuslim) ikut membersihkan Musala, saat muslim salat mereka tetap menunggu, pulangnya sama-sama,” kisahnya.

Meski demikian, Ridwan mengutarakan harapannya agar kebutuhan pendidikan agama bagi murid nonmuslim di MIN 1 Bintan juga terpenuhi. “Karena sudah ada moderasi beragama, kita mengharapkan kalau diperbolehkan didatangkan guru agama Kristen dan Katolik, karena sampai saat ini unsur madrasah dari hasil rapor tidak ada penilaian bidang studi nonmuslim,” ujarnya.

Sementara salah seorang guru, Anton Sunyoto, mengatakan, meski tidak memiliki keyakinan yang sama murid nonmuslim di MIN 1 Bintan tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar di setiap pelajaran keagamaan, termasuk Pelajaran Agama Islam. Penilaian dari mata pelajaran agama ini menjadi dasar penilaian akademis.

“Meski (jumlah murid nonmuslim) sedikit dalam kuantitas, untuk pembelajaran (agama Islam) di kelas karena bersifat akademis maka mutlak diikuti. Tidak ada doktrinasi mengikuti syariat Islam, hanya untuk memenuhi kebutuhan akademis agar pada waktu penilaian di rapor ada nilainya,” kata Anton di sela-sela waktu istirahatnya.

Dalam kunjungan tersebut, tim Humas dikenalkan dengan murid perempuan nonmuslim yang mengenakan jilbab. Saat ditanyakan alasannya, Guru Agama Kelas 4-6 ini menjawab mereka tidak dipaksa untuk mengenakan jilbab meski menuntut ilmu di sekolah berbasis agama Islam ini.

“Memang sejak madrasah berdiri sudah ada murid yang nonmuslim. Murid nonmuslim yang mengenakan jilbab pada awal daftar masuk itu permintaan dari wali murid sendiri, kita sudah umumkan bahwa ini sekolah madrasah ciri khasnya pakai jilbab, kita tidak mengharuskan (murid perempuan nonmuslim pakai jilbab),” terangnya.

Senada dengan Kepala MIN 1 Bintan, Anton juga mengatakan kepercayaan wali murid nonmuslim menyekolahkan putra-putrinya di MIN 1 Bintan sudah tumbuh sejak lama meski ada pilihan sekolah umum yang tidak berbasis agama di sana.

“Mereka memilih MIN 1 Bintan menjadi sekolah tujuan mereka padahal sekitar sini ada sekolah umum juga, berarti apresiasi mereka terhadap madrasah bagus. Output murid nonmuslim dari MIN 1 Bintan juga banyak yang menjad tokoh agama nonmuslim di sosial masyarakat di lingkungannya,” cerita Anton yang sudah mengabdi di MIN 1 Bintan sebagai guru sejak tahun 2011.

Anton menyebutkan keunikan di MIN 1 Bintan tersebut menjadi ruang bagi peserta didik untuk mempraktikan sikap toleransi dalam interaksi sehari-hari. “Kita membiasakan pada anak-anak heterogen ini agar tidak mendiskriminasi kawannya, bermain dengan berbaur, doa bersama dengan keyakinan masing-masing,” sebutnya.

Terkait penerapan muatan moderasi beragama dalam mata pelajaran, Anton mengatakan para murid mendapatkannya dari nilai-nilai kebaikan yang diajarkan melalui muatan-muatan pelajaran berbasis agama Islam.

“Untuk muatan seperti Al-Quran Hadist dan Akidah Akhlak yang mengajarkan kebaikan, di situ lah nilai-nilai generalisasi moderasi beragama ditancapkan agar saling menghormati, saling toleransi, mencegah bullying. Intinya moderasi beragama masuk ke kurikulum yang formal maupun hidden (tersembunyi) dalam perilaku sehari-hari,” ujarnya.

Dia menambahkan, wujud toleransi murid muslim dan nonmuslim juga nampak saat waktu ibadah salat. “Saat waktu salat zuhur dan dhuha, murid nonmuslim mengingatkan untuk wudhu, mereka berada di kelas saat waktu salat, berdoa sesuai keyakinan mereka, sedang yang Islam digerakkan di Musala,” ungkapnya.

Sejalan dengan harapan Ridwan selaku Kepala MIN 1 Bintan, Meski tidak ada kendala dalam penyampaian mata pelajaran agama, Anton tetap berharap kedepannya pemerintah bisa mendatangkan guru rohani bagi murid nonmuslim.

“Sekarang ini interaksi sosial sudah dikembangkan moderasi beragama untuk menumbuhkan sikap toleransi, sejak tahun 1950-an juga tidak ada yang kami ajak untuk masuk Islam. Meski demikian diharapkan bantuan guru rohani, mungkin dari Penyuluh di Bimas Kristen dan Bimas Katolik agar kita bisa membina bersama-sama,” harapnya.

Meski demikian, murid nonmuslim di MIN 1 Bintan masih mendapatkan pelajaran agama melalui Sekolah Minggu. Sebab, setiap anak harus mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya.

Salah satu murid muslim, Nazwa Bintani kelas 6 juga mengisahkan pengalaman interaksinya dengan siswa non muslim. Kebetulan, Nazwa memiliki teman sekelas yang beragama Katolik. Elvinsius Alvin, nama temannya tersebut.

Menurut Nazwa, dalam kesehariannya, Alvin merupakan sosok teman yang cukup ramah, baik, dan perhatian meski dikenal pendiam.

“Dia tidak membeda-bedakan teman walaupun agamanya tidak sama, kalau temannya kesusahan dibantu, dia juga tidak hanya bermain dengan sesama nonmuslim saja, kalau ada pelajaran agama juga dia ingin tahu walau ya dia pendiem,” kata Nazwa tentang sosok temannya yang beragama Katolik itu.

Dengan kondisi keyakinan yang heterogen ini, diharapkan para murid MIN 1 Bintan dapat terus saling menghargai dan bertoleransi meski memeluk agama yang berbeda. Seiring berjalannya waktu, para generasi muda ini tidak hanya menerapkan sikap toleransi, tetapi juga memiliki komitmen kebangsaan, anti kekerasan, dan menerima tradisi lokal dengan berbagai keragaman latar belakang bangsa untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Hebat. Semoga! (AP)


Editor: Indah
Fotografer: Istimewa

Feature Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua