Katolik

Luka Karena Cinta (Matius 10:37-42)

Ilustrasi

Ilustrasi

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Menjadi murid Yesus, tidak sekadar membaca dan merenungkan sabda-Nya. Menjadi murid Yesus berarti bersedia memanggul salib penderitaan. Memikul salib menjadi warna khas yang menjiwai seseorang untuk menjadi pengikut-Nya.

Tak ada jalan mulus bagi kita yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus. Bagi para pengikut Kristus, kehidupannya hanya mencari rasa aman, maka bentuk kehidupan seperti ini perlu direfleksikan kembali. Sebab, hidup yang hanya mencari rasa nyaman, akan kehilangan hidup sejati dan kekal.

“Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (Matius 10:37).

Membaca penggalan teks di atas, mengantar kita untuk masuk dalam situasi paradoks tentang makna terdalam dari pemuridan Yesus. Mengikuti-Nya berarti berani melepaskan orang-orang yang kita cintai. Keberanian ini memperlihatkan upaya memisahkan kelekatan duniawi agar bisa dengan leluasa memaknai jalan kehidupan yang dirintis Yesus. Memang berat untuk menjadi pengikut-Nya karena harus menanggalkan kenikmatan duniawi agar perlahan kita memaknai esensi permuridan Yesus.

Tekanan utama teks Injil hari ini, “ia tidak layak bagi-Ku,” memberikan pesan penting akan kealpaan seorang murid untuk menjalani jalan yang ditawarkan Yesus. Kelayakan hidup seorang pengikut Yesus saat ia menjalani dan mengalami salib Yesus sebagai titik puncak pengorbanan Sang Putera dan bangkit kembali sebagai manusia baru yang telah ditempa oleh jalan derita yang penuh liku. Memandang salib yang dipikul Yesus pada masa lampu ke tempat eksekusi, menggambarkan aib dari hukuman Romawi. Memikul salib menjadi kiasan terhormat untuk hidup murid yang bersama-sama dengan Yesus menanggung beban misinya setiap hari dan juga risiko menjadi martir.

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Menjadi martir di zaman ini tidak harus mengorbankan nyawa di hadapan mereka yang mencemooh karena berbeda iman. Menjadi martir zaman ini adalah berani berkorban untuk orang lain. Siapa saja yang menjadi sasaran pengorbanan kita dialamatkan? Pengorbanan kita mestinya melampaui aspek primordial, menjebol batas-batas agama yang terkadang mempersempit ruang gerak relasi. Seperti Kristus yang berkorban dan mati demi keselamatan manusia, demikian juga bagi kita sebagai pengikut-Nya, berani menembus batas dalam berkorban untuk orang lain.

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Salib Kristus telah mengajarkan banyak hal: tentang kasih, pengampunan, dan pengorbanan. Bagi para penganiaya Kristus, salib dilihat sebagai puncak ketakberdayaan Yesus dan mengubur cerita tragis tanpa makna. Namun bagi kita yang percaya akan Yesus, salib memperlihatkan ketaatan dan kesetiaan Yesus yang memanggul derita sampai puncak Golgota. Salib Yesus juga memperlihatkan kecintaan Yesus pada manusia.

Pendakian jalan terjal menuju Golgota memperlihatkan perjalanan rohani untuk memurnikan hidup manusia yang penuh dengan dosa. Puncak kesempurnaan pengorbanan Kristiani, dilambangkan dengan puncak Golgota. Hanya dari puncak Golgota, kita mengalami kematian Yesus dan dengannya diberi harapan baru untuk bangkit kembali bersama DIA. Memaknai salib Kristus tak lebih memaknai luka karena cinta pada manusia. Ia membalut luka dan pengorbanan kita dengan luka-Nya yang suci.


Osner Purba (Pembimbing Masyarakat Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Banten)


Fotografer: Istimewa

Katolik Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua